Sukses

Setahun untuk Rohingya

Indonesia memang tak bisa menutup mata.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia membuktikan kebesarannya. Di antara setumpuk masalah dan persoalan kemiskinan, negeri ini masih mampu mengulurkan tangan bagi etnis Rohingya, penduduk yang ditolak negaranya sendiri, Myanmar.

Semua diputuskan atas dasar kemanusiaan, atas dasar keadilan, dan pancasila. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, RI akan menampung pengungsi Rohingya dan juga dari Bangladesh selama 1 tahun.

"Kita setuju selama satu‎ tahun menanganinya. Maka aspek kemanusiaan kita harus menjamin kalau dia mendapatkan kesulitan, ya ditampung diberi makan," ucap lelaki yang karib disapa JK itu di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (20/5/2015).

"Tak usah bicara dana, negara ini tak miskin-miskin amat‎."

Jusuf Kalla (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Padahal sudah ada sejumlah negara yang menolak kehadiran mereka. Sebelum akhirnya ombak membawa perahu para pengungsi itu terdampar di Aceh dan Sumatera Utara.

Pengungsi Rohingya merupakan salah satu masalah kemanusian yang paling disorot dunia saat ini. Sebab Myanmar tempat penduduk Rohingya tinggal, menolak memberi kewarganegaraan bagi etnis tersebut. Pada Juni dan Oktober 2012, kerusuhan bernuansa etnis pecah di negara bagian Rakhine, Myanmar.

Puluhan ribu warga Rohingya kemudian meninggalkan wilayah mereka. Kekerasan etnis ini menewaskan ratusan orang dan membuat 140 ribu warga minoritas tersebut kehilangan tempat tinggal.

Rohingya tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar meski telah tinggal beberapa generasi di negara yang dulunya bernama Burma tersebut. Praktis, mereka sulit mendapatkan pekerjaan, sekolah ataupun jaminan kesehatan. Karena itulah mereka mengungsi.

Sementara Malaysia dan Thailand menolak kehadiran kaum Rohingya. Dari keterangan Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia Wan Junaidi Jafaar, negaranya bisa memberi makan dan berbuat baik pada pengungsi, tapi tidak bisa menerimanya di sana. ‎

Pemerintah Thailand bahkan mengeluarkan pernyataan cukup keras terkait rencana hadirnya pengungsi Rohingya di negaranya. Mereka mengatakan, warga Rohingya tidak diinginkan kehadirannya di negara itu.

Dua pemuda etnis Rohingya tidur di tempat penampungan di Lhoksukon, Aceh, Senin (11/5/2015). Sekitar 500 migran terdampar di pantai Aceh setelah terapung-apung di laut selama sebulan karena kehabisan bahan bakar. (REUTERS/Roni Bintang)

Terima Kasih…

Indonesia memang tak bisa menutup mata. JK mengatakan, alasan penerimaan pengungsi itu berlandaskan pada Pancasila. Terutama sila kedua yang berbunyi: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. ‎

Selain itu, sambung Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) itu, apa yang dilakukan Indonesia merupakan balas budi terhadap dunia internasional. Karena saat Aceh terkena bencana tsunami pada 2004 lalu, pihak internasional datang membantu.

Keputusan besar RI untuk menerima pengungsi Rohingya pun diapresiasi United Nation High Commissioner of Refugees atau Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Mereka berterima kasih atas tindakan pemerintah Indonesia yang sudah menampung para pengungsi Rohingya.

"Saya berterima kasih atas respons baik dari pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk membantu kebutuhan kemanusiaan dan setuju kebijakan pemerintah untuk saling bertanggung jawab," kata perwakilan UNHCR Thomas Vargas, di Kantor Wapres.

Vargas mengatakan, pemerintah manapun tidak bisa membiarkan begitu saja pengungsi Rohingya yang terkatung-katung tanpa nasib yang jelas. Sebab, masalah ini merupakan masalah kemanusiaan.

UNHCR juga paham, pemerintah Indonesia tidak bisa sendirian dalam menampung para pengungsi. UNCHR, kata dia, juga akan turun tangan membantu pemerintah yang menampung pengungsi Rohingya.

Tak jauh berbeda dengan pendapat Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (HI) Hikmahanto Juwana. Menurut dia, kepentingan kemanusian harus didahulukan.

"Negara-negara yang bersentuhan dengan kaum Rohingya di tengah laut harus mendahulukan prinsip kemanusian," sebut Hikmahanto kepada Liputan6.com.

Dia pun mengusulkan penyediaan tempat penampungan khusus bagi para pengungsi tersebut. Seperti yang dilakukan Indonesia kala menyediakan Pulau Galang di Batam, Kepulauan Riau sebagai lokasi pengungsian masyarakat dari Vietnam. "Indonesia pun bisa menawarkan salah satu pulau tidak berpenghuni, seperti Pulau Galang di masa lalu," tutur dia.

Namun, Indonesia tak bisa sendirian. Menurut dia, pembangunan infrastruktur dan suplai kebutuhan hidup pengungsi harus dibiayai oleh negara-negara lain, seperti Malaysia Thailand dan lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Petugas Tagana memberikan makanan kepada pengungsi etnis Rohingya di Lhoksukon, Aceh, Senin (11/5/2015). Sekitar 500 migran terdampar di pantai Aceh setelah terapung-apung di laut selama sebulan karena kehabisan bahan bakar. (REUTERS/Roni Bintang)

Sementara ‎Deputi Wapres bidang politik Dewi Fortuna Anwar mengatakan, Indonesia memiliki beban yang berat bila menanggung para pengungsi Rohingya sepenuhnya. Sebab, RI memiliki ratusan juta penduduk yang masih harus diurus.

Dewi menjelaskan, sebagian besar pengungsi itu ingin mencari lapangan kerja. ‎Akan sulit bagi Indonesia mencarikan lapangan kerja pada para pengungsi karena baru-baru saja diterapkan moratorium pengiriman TKI ke luar negeri.

Ia meminta agar Myanmar yang merupakan negara asa‎l dari pengungsi tersebut untuk bertanggung jawab.

"Bagi Indonesia itu dilema, kalau kita tolak nanti dituduh kejam dan tidak memberi perhatian kemanusiaan. Tapi kalau diterima nanti akan ribuan yang semakin datang," ucap Dewi.

"Hal ini kan bukan hanya tanggung jawab pemerintah Indonesia, terutama tanggung jawab pemerintah Myanmar sendiri yang seharusnya bisa memberi perlindungan kepada seluruh warganya, jadi tidak memaksa masyarakatnya sendiri untuk melarikan diri," tutur Dewi.

Dan karena itu, 3 menteri di kawasan Asia Tenggara, yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia bertemu muka. Pertemuan digelar di Kuala Lumpur, Malaysia pada Rabu 20 Mei 2015.

Dalam pertemuan itu, RI bakal menyampaikan 3 usulan atas kasus banyaknya manusia perahu yang bermigrasi secara ilegal ke 3 negara di Asia Tenggara tersebut.

Usulan pertama yaitu tiap negara harus ikut memikirkan bagaimana menyelesaikan akar yang menyebabkan begitu banyaknya pengungsi ke kawasan Asia Tenggara. Kedua, lanjut Retno, pemerintah tiap negara perlu bekerja sama, baik dengan UNHCR, IOM, dan pihak terkait, dalam bentuk country of sources (negara asal), negara transit, dan negara tujuan, mengenai percepatan proses verifikasinya dan resettlement-nya atau penempatan baru tetap terutama pengungsi terluka, ke negara ketiga yang mau menerima. ‎

Usulan ketiga, sambung Retno, adalah masalah human trafficking atau perdagangan manusia yang menjadi salah satu akibat dan dampak dari kemunculan pengungsi ilegal tersebut.

Dengan beralaskan terpal para pengungsi tidur di tempat penampungan, Lhoksukon, Aceh, Senin (11/5/2015). Sekitar 500 migran terdampar di pantai Aceh setelah terapung-apung di laut selama sebulan karena kehabisan bahan bakar. (REUTERS/Roni Bintang)

Lalu apa hasil pertemuan tersebut? Bagaimana nasib para pengungsi ke depannya? Setidaknya mereka memiliki tanah yang bisa dipijak untuk 1 tahun ke depan. (Ndy)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.