Sukses

Jejak Mesum Mahasiswa di Cakram Padat

Dua mahasiswa dari perguruan tinggi berbeda di Bandung, Jawa Barat, merekam adegan layaknya suami istri. Film itu kini beredar di Bandung dan Jakarta.

Liputan6.com, Bandung: Di sebuah kamar hotel, sepasang kekasih berhubungan layaknya suami istri. Hampir semua adegan syur, mereka ciptakan. Keesokan harinya, keduanya mengulangi kembali adegan tersebut. Kali ini, tak di ranjang. Tapi, di closet kamar mandi hotel. Tak lama berselang, pasangan yang belum diikat tali perkawinan itu pindah ke bak mandi yang jaraknya dua meter dari tempat semula. Cukup. Adegan selanjutnya bisa disaksikan di internet. Bahkan, belakangan ini, piringan padat film itu dapat dibeli pada pedagang kaset kaki lima di Bandung dan Jakarta. Harganya, mencapai Rp 50 ribu per keping. Tapi, awas. Anda akan berurusan dengan polisi jika membawa dan mengedarkannya. Buktinya, polisi kini tengah memeriksa tiga pengedar yang satu di antaranya adalah Yayan, orang pertama yang menggandakan film itu.

Kepada polisi, Yayan mengaku film itu bersumber dari Adi. Menurut Yayan, di suatu malam, Adi mendatangi tempat transfer cakram padat alias video compact disk miliknya di Jalan Dipatiukur, Bandung, Jawa Barat. Kala itu, mahasiswa Institut Teknologi Nasional (Itenas) Kota Kembang itu meminta Yayan memindahkan alias mentransfer adegan dalam handycam ke cakram padat. Setelah sejam ditransfer, Adi meminta Yayan menghapus semua adegan-adegan yang ada komputer--alat transfer. "Karena penasaran ingin melihat isinya, saya ngga hapus," kata Yayan, enteng. Selanjutnya, Yayan bersama temannya, Dede film yang diperankan Adi dan pacarnya Nanda--mahasiswi Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, di sebuah hotel itu.

Pengakuan serupa juga disampaikan Bornfri, tersangka lain pengganda film berdurasi satu jam itu. Tapi, ia membantah jika dituduh mencari keuntungan dari memperbanyak film itu. Menurut Bornfri, hanya keisengan yang mendorongnya melakukan hal itu. Dari keterangan itu, polisi memeriksa Adi dan Nanda. Menurut Atilla Grazini, penasihat hukum Adi dan Nanda, kliennya tak bersalah dalam perkara ini. "Setiap orang bebas melakukan itu (merekam adegan panas) sepanjang untuk konsumsi pribadi," kata Atilla, menegaskan. Kendati demikian, ia mengaku belum berencana menggugat para pengganda, meski hak pribadi kliennya dilanggar.

Perkara ini ternyata tak berhenti lewat jalur hukum. Buktinya, Nanda diskors selama beberapa semester dari Unpad. Menurut Dekan Fakultas Komunikasi Unpad Suganda, bisa saja, Nanda mengundurkan diri dari kampus. Tapi, mahasiswi semester tiga itu tak mau mengundurkan diri. Karena itu, lanjut Suganda, Komisi Etika Fikom Unpad memutuskan menskorsing Nanda. Alasannya, setiap mahasiswa masih diberi kesempatan memperbaki diri. Tapi, tak begitu bagi Adi. Mahasiswa angkatan 1999 ini dipecat dengan tidak hormat dari Itenas. Alasannya, Adi dinilai telah mencemarkan nama baik kampus. Termasuk di antaranya melanggar norma susila yang telah ditetapkan kampus. Apalagi, dalam film itu, Adi menggunakan kaos basket Itenas.

Peristiwa ini, tentu saja membuat ibu Adi sangat sedih. "Keluarga dihujat seperti dimana-mana," kata wanita yang telah ditinggal suami itu, menangis. Tapi, ia masih membela anaknya, meski mengaku keluarga besarnya merasa malu. "Adi itu bukan anak bandel, bukan anak narkoba," katanya. Itulah sebabnya, ia merasa keluarganya telah dihukum masyarakat. Padahal, menurut dia, Adi dan Nanda tak sengaja merekam perbuatan layaknya suami istri mereka. "Itu di luar rencana mereka," tutur wanita setengah baya itu.

Di kalangan mahasiswa pun masih terjadi pro dan kontra soal itu. Ada yang menghujat, tetapi ada pula yang bersimpati terhadap perilaku tersebut. Menurut Agus Setiawan, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung, Nanda dan Adi harus dikeluarkan dari kampus. Sebab, mereka telah melanggar semua norma, baik agama, hukum, dan sosial. Tapi, bagi Febi, mahasiswi sebuah perguruan tinggi, adalah hak Nanda dan Adi merekam perbuatannya. Apalagi, mereka telah dewasa. Sebaliknya, ia berpendapat, kesalahan ada pada pengganda dan pengedar film itu. Sebab, mereka telah melanggar hak pribadi dua manusia. Karena itu, Febi meminta masyarakat jangan menghakimi Adi dan Nanda. Tapi, justru memberikan solusi terbaik bagi mereka.

Dari segi hukum negara, baik Nanda dan Adi tak bisa diajukan ke meja hijau. Hal itu dibenarkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Irianto Subiyakto. Menurut Irianto, hanya pengganda dan penyebar piringan padat itu yang dapat dijerat pasal pidana kesusilaan. Bahkan, ia menegaskan hukuman terhadap pengganda dan pengedar akan lebih berat jika perbuatan itu dilakukan untuk mencari keuntungan. "Jadi, polisi tak usah lagi menunggu pengaduan dari korban (Adi dan Nanda," kata Irianto, menjelaskan. Benar saja. Menurut Kepala Satuan Reserse Kepolisian Kota Besar Bandung Ajun Komisaris Besar Polisi Siswandi, hingga kini polisi masih menyelidiki kasus ini. Buktinya, polisi hampir merampungkan berkas acara pemeriksaan ketiga tersangka. Polisi juga baru saja menjaring delapan pengedar lain. Tapi, satu yang pasti, polisi tak bisa menghapus beban moral dan sanksi dari kampus yang diterima Nanda dan Adi. Begitu pula keluarga mereka.(AWD)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.