Sukses

Batu Akik Australia Incar Pengakuan Dunia

Kota Coober Pedy didirikan setelah penemuan batu opal oleh Willie Hutchinson 100 tahun lalu.

Liputan6.com, Canberra - Alkisah 100 tahun lalu, seorang remaja bernama Willie Hutchinson secara tidak sengaja menemukan beberapa bongkah batu akik jenis opal, saat berjalan di kawasan pedalaman Australia selatan.

Bersama ayahnya, seperti dilansir BBC, Minggu (10/5/2015), Hutchinson sejatinya mencari tambang emas. Namun, temuan batu tersebut membuka gairah penambangan opal secara massal yang berujung pendirian Coober Pedy, sebuah kota sejauh 846 kilometer arah utara Adelaide.

Kota Coober Pedy didirikan setelah penemuan batu opal oleh Willie Hutchinson sekitar 100 tahun lalu. Saat ini, warga Coober Pedy dengan bangga menyebut tempat tinggal mereka sebagai ‘ibu kota opal dunia’. Maklum, kontribusi opal dari Australia disebut-sebut mencapai lebih dari 80% produksi opal di seluruh dunia.

Batu opal khas Coober Pedy memang khas. Warnanya yang putih kemilau, bahkan ada yang warna-warni seperti pelangi, membuat batu produksi kota itu mendapat predikat ‘Batu Mulia Nasional’.

Kendati, warga ‘Negeri Kanguru’ itu tidak puas dengan predikat tersebut. Mereka ingin agar batu opal Coober Pedy diakui dunia, sebagai Sumber Batu Warisan Dunia (GHSR).

Status itu diciptakan sekelompok pakar geologi dunia, yang berniat mengategorikan dan mendefinisikan batu-batu tertentu di dunia, yang memiliki makna khusus dalam budaya manusia.

Dengan status tersebut, profesi seperti arsitek dan perawat bangunan tua akan terbantu, karena mereka bisa memakai materi yang sudah diketahui kekuatan dan karakteristiknya.

Contoh batu yang sedang diteliti kelayakannya untuk status GHSR ialah batu Portland, batu bangunan yang ditambang khusus di Dorset, pesisir selatan Inggris.

Batu mulia lainnya adalah batu marmer yang berasal dari daerah Tuscany di Italia. Marmer dari Tuscany, Italia, memiliki ciri khas tertentu yang dapat dikenali para pakar geologi.

Kritik

Dalam kasus batu opal dari Coober Pedy, sejumlah ahli menilai batu tersebut terlalu banyak ‘diolah’ dan tidak alamiah. Batu opal dari kota tersebut memiliki beragam bentuk dan warna, sehingga sangat sulit menempatkan ke dalam kategori yang sangat spesifik.

Sedangkan pakar geologi dari Australia menepis kritik tersebut. Salah satunya ialah Barry Cooper, yang menjabat sebagai sekretaris Kelompok Kerja Batu Pusaka dari Persatuan Ilmuwan Geologi Internasional.

"Di mana batasannya (batu yang terlalu banyak diolah dan yang tidak)? Saya berpendapat justru batu seperti permata dan safir terlalu banyak mendapat olahan. Namun, batu seperti opal tidak hanya bisa menjadi batu perhiasan, tapi juga seni mosaik dan pahatan. Itu yang membuat batu opal memiliki makna budaya yang lebih dalam," kata Cooper.

Cooper kemudian merujuk proses alam yang menciptakan kekhasan di batu opal dari Coober Pedy. Tidak seperti batu opal lainnya di dunia, batu opal dari kota ini terbentuk ketika Samudera Fromanga, yang mencakup Australia bagian tengah 100 juta tahun lalu, mulai mengering.

Pengeringan itu menyebabkan cairan asam berkadar tinggi mengeras menjadi batu mulia yang kaya dengan mineral. Proses pembentukan itu berbeda, jika dibandingkan dengan batu opal di kawasan lain di dunia yang tercipta karena imbas keberadaan gunung berapi. (Rmn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini