Sukses

Mendagri Khawatir Revisi UU Pilkada Timbulkan Masalah Baru

Mendagri Tjahjo Kumolo mengaku khawatir dengan rencana DPR yang hendak kembali merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku khawatir dengan rencana DPR yang hendak kembali merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada). Selain UU Pilkada, DPR juga akan merevisi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol).

Tjahjo khawatir jika revisi terhadap UU Pilkada itu benar dilakukan justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

"Itu kan dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi semua pihak. Khususnya KPU terkait padatnya tahapan pilkada serentak yang harus tepat waktu," kata Tjahjo di Jakarta, Rabu (6/5/2015).

Apalagi, lanjut Tjahjo, DPR pada awal 2015 sudah mengesahkan revisi UU yang sama. Di mana saat pengesahan ada 15 poin yag direvisi. Kata Tjahjo, pemerintah sudah mengikuti keinginan DPR terhadap 15 poin yang direvisi tersebut. Salah satunya tentang penguatan KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu.

Pun demikian dengan Peraturan KPU (PKPU) mengenai penyelenggaraan ‎pilkada serentak yang dimulai akhir tahun ini. Menurut Tjaho, PKPU itu harus dijaga kemandiriannya. Sebab, PKPU yang disusun itu berdasarkan UU.

"Peraturan KPU harus dijaga kemandiriannya. Apapun peraturan yang disusun KPU, pada dasar pokoknya adalah undang-undang, dan KPU saya kira paham tidak akan menyusun peraturan yang bertentangan dengan undang-undang," ujar dia.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, pihaknya akan merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Revisi tersebut menyusul tak diakomodirnya keinginan panitia kerja Komisi II oleh KPU terkait parpol yang sedang bersengketa, dalam hal ini Partai Golkar dan PPP.

‎UU Pilkada yang akan direvisi dalam hal ini Pasal 42 ayat 4,5, dan 6 yang mengatakan pendaftaran calon kepala daerah oleh parpol dan atau gabungan parpol harus mendapat rekomendasi pengurus parpol di provinsi dan kabupaten kota, serta harus disertai surat putusan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Sedangkan UU Parpol yang akan direvisi adalah Pasal 32 terkait pengurus parpol harus terdaftar di Menkumham.

DPR berencana merevisi kedua UU tersebut pada masa sidang keempat, 18 Mei mendatang sebagai revisi UU terbatas. Revisi UU Parpol dan UU Pilkada itu diklaim DPR sebagai kompromi sistem ketatanegaraan Indonesia yang belum sempurna.

Kacaukan Hukum

Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Malik pada Minggu 3 April 2015 sudah menyatakan sikap terkait verifikasi kepengurusan partai politik dalam pencalonan kepala daerah, khususnya kepada 2 parpol yang tengah mengalami dualisme kepemimpinan yaitu Golkar dan PPP. Dalam verifikasi pencalonan kepala daerah, KPU berpedoman pada SK kepengurusan partai politik yang dikelurakan oleh Kemenkumham.

Bila SK itu disengketakan di pengadilan, maka KPU akan menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Namun, pihak DPR memanggil KPU pada 4 Mei 2015. Mereka mempertanyakan rekomendasi DPR terkait pecalonan tidak dimasukan KPU. Dimana rekomendasi Komisi II DPR yaitu pencalonan mengikuti putusan pengadilan terakhir.

Terkait hal itu, Wasekjen PDIP Ahmad Basarah mengatakan hal tersebut akan menimbulkan kekacauan hukum. "Imbasnya akan menimbulkan kekacauan hukum dalam sistem ketatanegaraan kita," ujar Basarah kepada Liputan6.com.

Anggota Komisi III DPR itu juga mengatakan alasan direvisinya sebuah peraturan perundang-undangan harus didasarkan atas kepentingan dan kebutuhan bangsa atau masyarakat yang bersifat umum.

"Revisi itu bukan untuk melayani kepentingan kelompok tertentu saja. Oleh karena itu, jika alasan dilakukannya revisi undang-undang Pilkada yang baru saja disahkan dan hanya untuk melayani kepengtingan elit parpol yang sedang berkelahi maka unsur alasan itu tidak terpenuhi," jelas dia.

Basarah pun dengan nada menyindir mengatakan PDIP akan mendukung revisi tersebut jika ada unsur untuk kepentingan masyarakat.

"Posisi politik PDIP akan mendukung jika kami temukan adanya alasan kepentingan masyarakat umum dalam revisi UU tersebut. Pasalnya, hingga hari ini kita belum melihat adanya unsur kepentingan masyarakat tersebut," jelas Basarah. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini