Sukses

Saksi Ahli: SK Menkumham Soal Golkar Tidak Tepat Dibawa ke PTUN

Dia menjelaskan, sekalipun keputusan Menkumham dibatalkan oleh PTUN, putusan Mahkamah Partai Golkar akan tetap sah.

Liputan6.com, Jakarta - Sidang lanjutan sengketa kepengurusan Partai Golkar kembali dilanjutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dalam sidang tersebut, giliran pihak Kementerian Hukum dan HAM selaku termohon menghadirkan saksi ahli.

Saksi ahli yang merupakan mantan hakim konstitusi, Maruarar Siahaan, dalam keterangannya menyiratkan bahwa langkah kubu Aburizal Bakrie atau Ical dengan mempersoalkan SK Menkumham ke PTUN tidak tepat.

"Sebenarnya tidak pas SK Menkumham dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena Menkumham sifatnya hanya melaksanakan undang-undang," ujar Maruarar seusai memberi keterangan di PTUN Jakarta, Senin (27/4/2015).

Dia menjelaskan, sekalipun keputusan Menkumham dibatalkan oleh PTUN, putusan Mahkamah Partai Golkar akan tetap sah. Menurut dia, seharusnya kubu Ical menggugat putusan Mahkamah Partai Golkar, bukan mempersoalkan langkah Menkumham melaksanakan ketentuan undang-undang.

"Harusnya yang dipersoalkan itu bahwa putusan Mahkamah Partai Golkar tidak berdasarkan hukum. Kalau seperti ini, mereka jadi ketinggalan zaman," jelas Maruarar.

Urgensi Putusan Sela

Sementara itu, mantan hakim konstitusi lainnya, Lintong Siahaan, menjelaskan ketidaktepatan SK Menkumham dibawa ke PTUN karena sifat dari SK tersebut adalah deklarator.

Dia menjelaskan, yang menjadi obyek PTUN adalah yang melahirkan hukum baru atau meniadakan hukum. Untuk diketahui, deklarator adalah ketetapan di mana mengakui hal yang telah ada.

"Saya mengatakan bahwa yang bersifat deklarator seperti SK Menkumham, sebaiknya tidak digugat PTUN. Yang melahirkan hukum baru atau meniadakan hukum baru itu objek sengketa di PTUN," jelas Lintong.

Dia juga menjelaskan, apa yang dilakukan majelis hakim PTUN dalam mengeluarkan putusan sela dinilai tidak tepat. Alasannya, putusan sela tersebut tidak punya nilai urgensi atau darurat untuk dikeluarkan.

"Literatur Prancis menjelaskan syarat-syarat tentang penundaan atau putusan sela. Di mana syarat mutlaknya ada agenda nasional yang sudah disiapkan dan mengancam kesejahteraan, baru bisa dikeluarkan putusan penundaan. Intinya putusan penundaan bisa jika memang untuk welfare masyarakat," tutur dia. (Ado/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini