Sukses

Alasan MA Beri Sanksi Hakim Hamili Eks Karyawati Bank

Sebelumnya, komisioner Komisi Yudisial Imam Anshari Saleh menyebut MA mendahului KY soal pelanggaran kode etik hakim berinisial M.

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komisi Yudisial Imam Anshari Saleh mengatakan Mahkamah Agung mendahului KY soal dugaan pelanggaran kode etik hakim berinisial M. Hakim yang bertugas di pengadilan di Lampung itu dianggap membohongi dan menghamili mantan karyawati bank di Lampung, Mut.

Mut saat ini tengah berproses perkara uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Mut mengajukan uji materi Pasal 32A ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) dan Pasal 39 ayat 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, karena adanya 2 putusan berbeda terhadap hakim M.

Imam menjelaskan, KY menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan Mut pada 2014. Di saat bersamaan Mut mengajukan laporan yang sama ke Badan Pengawas (Bawas) MA.

"Mut yang sekarang ajukan JR (judicial review atau uji materi) ke MK itu dulu digauli oleh hakim (M), dijanjikan untuk dikawini, ternyata si hakim ingkar janji, akhirnya melapor ke KY dan MA," kata Imam kepada Liputan6.com, Rabu 8 April 2015.

Dalam prosesnya, hasil pemeriksaan Tim Panel KY yang terdiri dari 3 Komisioner KY, yakni Imam Anshari Saleh, Suparman Marzuki, dan Ibrahim lalu dikuatkan melalui pleno. Dalam rapat pleno diputuskan KY mengusulkan digelarnya sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dan merekomendasikan sanksi pemecatan terhadap M dengan hak pensiun.

Namun, lanjut Imam, saat KY tengah memprosesnya melalui panel dan pleno, Badan Pengawan (Bawas) MA turun tangan. Bahkan, Bawas MA sudah lebih dulu mengeluarkan putusan terhadap M dengan pemberian sanksi hakim nonpalu selama 2 tahun, sebelum pleno mengeluarkan keputusan MKH dan pemberian sanksi pemecatan.

"KY sedang memproses, Bawas MA turun tangan. Bawas MA duluan memutus non-palu 2 tahun. Akhirnya ada sanksi yang berbeda," ujar Imam.

Pada dasarnya, terang Imam, sekalipun ada 2 putusan sanksi berbeda, MA tetap wajib menjalankan rekomendasi KY. Yakni menggelar sidang MKH dan pemberian sanksi pemecatan terhadap MH. Hal itu sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.

"Sebenarnya kalau ada perbedaan sanksi harusnya tetap MKH. Entah kenapa MA tidak menaati UU Nomor 18 Tahun 2011 itu," ucap Imam.

Alasan MA

Sementara saat dihubungi terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, memang ada prosedur antara MA dan KY dalam melakukan pemeriksaan bersama jika ada dugaan pelanggaran kode etik hakim.

MA dan KY bisa menggelar sidang MKH jika ada rekomendasi dari KY. Namun, dalam prosesnya, Bawas MA bisa juga turun tangan ketika KY juga tengah melakukan proses dugaan pelanggaran kode etik itu.

"Kan sudah ada prosedur pemeriksaan bersama (MKH) kalau ada rekomendasi. Tapi Bawas bisa akan turun juga. Bawas kan cepat (memproses). Mencari dan mengumpulkan bahan-bahan. Kemudian inspektor wilayah diturunkan," beber Ridwan saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (9/4/2015).

Ridwan menjelaskan, hasilnya kemudian bisa saja juga terjadi 2 rekomendasi putusan yang berbeda antara Bawas MA dan KY.

"Rekomendasinya bisa sama, bisa jadi berbeda. Kalau pimpinan itu kan tergantung ada rekomendasi dari Bawas MA dan KY," urai Ridwan. (Ans/Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini