Sukses

Anak di Bawah Umur Jadi Terpidana Mati di Lapas Nusakambangan

Kontras mengadukan kejanggalan dalam kasus terpidana mati anak di bawah umur Yusman Telaumbauna ke Komisi Yudisial (KY).

Liputan6.com, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan, seorang anak di bawah umur menjadi terpidana mati dan mendekam di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Terpidana mati anak tersebut bernama Yusman Telaumbauna.

"Kontras dapat laporan ini baru Januari kemarin, dari pendamping rohani di Nusakambangan. Jadi saat itu saya lagi menjenguk terpidana mati narkoba. Pendeta di sana menceritakan, ada anak di bawah umur yang juga dipidana mati," ujar Staf Advokasi Hak Sipil dan Politik Kontras Arif Nur Fikri kepada Liputan6.com di Gedung Komisi Yudisial Jakarta, Kamis (19/3/2015).

Arif mengungkapkan, dalam Surat Penetapan Majelis Hakim Nomor 02/Pen.Pid/2013/PN-GS, Yusman divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Sumatera Utara, karena membunuh 3 mantan majikannya yakni Kolimarinus Zega, Jimmy Trio Girsang, dan Rugun Br Hololo pada 2012.

Temuan ini langsung dilaporkan Kontras ke Komisi Yudisial (KY). "Kami menemui beberapa kejanggalan dalam proses hukum Yusman dan sekarang kami minta Komisi Yudisial ikut mengawasi," jelas Arif.

4 Kejanggalan

Dalam laporan ke KY, Arif memaparkan beberapa data yang dapat membuktikan adanya kesewenang-wenangan polisi dan Pengadilan Tinggi Gunung Sitoli terhadap Yusman.

Kejanggalan pertama, Yusman masih di bawah umur. Dalam akte baptis, Yusman yang berdarah Nias disebutkan berumur 16 tahun. Sehingga menurut hukum, ujar Arif, Yusman tidak dapat dijatuhi hukuman mati dan seharusnya diproses dengan kaidah Undang-Undang Perlindungan Anak.

"Kita sudah kumpulkan data Yusman dan berkas selama dia menjalani proses hukum. Dia belum punya KTP dan nggak punya akte kelahiran. Tapi kita dapat dari gereja akte baptis dia. Menurut pencatatan gereja, dia baru 16 tahun saat divonis, berarti pengadilan menyalahi undang-undang ketika menetapkan hukuman mati," jelas Arif.

Kedua, kata Arif, penyidik kepolisian yang menangani kasus ini diduga memalsukan umur Yusman menjadi 3 tahun lebih tua dari umur sebenarnya. Padahal dalam proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Gunung Sitoli mengetahui usia Yusman di bawah umur dari keterangan Yusman.

Majelis hakim yang diketuai Hakim Silvia, ucap Arif, pun sempat mengonfirmasi umur Yusman kepada penyidik. Namun tetap saja Yusman diperlakukan layaknya tersangka dewasa.

"Dalam BAP, umur Yusman 19 tahun. Dilebihin 3 tahun. Padahal Majelis Hakim sudah mengetahui dia umur 16 tahun dari keterangannya saat persidangan, dan sempat juga menanyai penyidik 'kok anak di bawah umur?'" papar Arif.

Ketiga, dari keterangan saksi tidak ada bukti kuat Yusman terlibat pembunuhan. "Keterangan keluarga korban, hanya Yusman ini orang terakhir yang dilihat pergi bersama korban. Namun menurut Yusman, dia dan kakak iparnya Rasula Hia tidak terlibat melakukan pembunuhan."

"Yang melakukan itu 4 tukang ojek yang mereka minta menjemput majikan Yusman saat tiba di Gunung Sitoli," sambung Arif.

Keempat, lanjut Arif, kasus ini dinilai direkayasa. Karena dalam proses persidangan, motif yang disangkakan kepada Yusman berubah. "Pertama, katanya karena motif ingin mengambil uang Rp 500 juta dari korban. Lalu di tengah proses persidangan diubah menjadi motif yang magis, menjual kepala korban sebagai jimat," kata Arif.

Dia menambahkan, keluarga Yusman menyatakan tak ada kuasa hukum yang ikut menemani Yusman saat pembuatan BAP. Yusman juga tak mengerti Bahasa Indonesia, sehingga dugaan rekayasa penetapan Yusman sebagai terdakwa pun semakin kuat.

Menanggapi laporan Kontras, Kepala Bagian Pengelola Laporan Masyarakat Komisi Yudisial Indra Syamsul mengatakan, pihaknya sudah memeriksa kasus ini sebelum ada laporan Kontras. Disebutkan, KY akan membentuk tim investigasi untuk mengusut dugaan kriminalisasi kasus Yusman.

"KY sudah minta data-datanya dari Kontras. Sebenarnya KY sendiri sudah turun untuk kasus ini, kami sedang memproses. Nanti kami akan bentuk tim investigasi," tutup Indra di Gedung Komisi Yudisial. (Rmn/Sun)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini