Sukses

Nusakambangan dan Standar Ganda Hukuman Mati

Dalam hitungan hari, duo Bali Nine akan dibawa ke Nusakambangan. Berpotensi memanaskan hubungan Indonesia dan Australia.

Liputan6.com, Jakarta - Teng...teng...Lonceng Gereja St Ignatius, Richmond, Melbourne, Australia, berdentang 25 kali pagi itu, Jumat 2 Desember 2005. Masing-masing mewakili 1 tahun usia pemuda bernama Nguyen Tuong Van.

Suara genta bertalu-talu memecah suasana hening yang tak nyaman. Orang-orang yang berkumpul di halaman rumah ibadah itu paham benar, saat yang tidak mereka nantikan akhirnya justru tiba. Tak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali berdoa, menangis, mengeluarkan segala himpitan emosi yang menyeruak dari dalam dada. Termasuk amarah.

Sebelumnya, informasi yang bocor dari balik tebalnya tembok Changi Prison, Singapura, sampai ke telinga wartawan yang telah menanti semalam suntuk. Kabar itu menyebut bahwa pada pukul 06.07 waktu setempat, kala mentari belum lagi menampakkan diri, Nguyen Tuong Van telah dieksekusi mati. Dengan cara digantung.

Nguyen, warga Australia keturunan Vietnam tersebut dieksekusi mati setelah dinyatakan bersalah membawa 396 gram heroin di Bandara Changi pada Desember 2002, saat transit dalam perjalanan dari Kamboja ke Australia.

Barang haram itu diikat ke tubuhnya dan disembuyikan dalam tas jinjing. Sungguh tindakan nekat, padahal di Negeri Singa, kedapatan membawa 15 gram heroin saja bisa membawa seseorang ke tiang gantungan.

 

 

Singapura mengaku punya alasan menghukum mati Nguyen: melindungi orang-orang yang hidupnya bisa saja hancur oleh heroin yang diselundupkan terpidana.  “Jumlah heroin itu cukup untuk 26.000 dosis," tambah pihak Singapura seperti Liputan6.com kutip dari BBC.  

Segala upaya hukum telah ditempuh pihak Australia, termasuk mengajukan grasi kepada Presiden Singapura saat itu, SR Nathan. Semua sia-sia.

Kasus Nguyen -- yang ibunya, Kim Nguyen lari dari Vietnam sebagai manusia perahu pada tahun 1980-an -- menimbulkan simpati meluas warga Australia. Media Negeri Kanguru mengangkat kisah hidupnya, termasuk klaim bahwa di balik aksi nekatnya, pemuda yang lahir di Thailand itu berniat  membantu sang kakak yang terjerat utang judi.

Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard, bereaksi keras. Ia mengatakan, eksekusi akan  memperburuk hubungan Australia dan Singapura.
“Saya telah menyampaikan pada PM Singapura bahwa saya yakin bahwa ini akan berakibat pada hubungan antarwarga negara dan antarmasyarakat,” kata dia.

PM Howard juga menyayangkan penolakan Singapura atas permintaan Kim Nguyen memeluk putranya itu untuk kali terakhirnya. Ibu dan anak itu hanya dibolehkan saling berpegangan tangan.

Namun Howard menolak seruan melakukan boikot perdagangan dan militer terhadap Singapura -- salah satu sekutu terkuat Australia di Asia. Dia menambahkan eksekusi harus menjadi peringatan bagi pemuda Australia lainnya. “Jangan pernah berpikir sekejap pun bahwa kalian bisa lolos dari risiko membawa obat terlarang ke mana pun di Asia tanpa menanggung konsekuensi berat.”

Apapun, sejumlah insiden nyata terjadi. Di sejumlah bandara, petugas menolak memproses bagasi dari Singapore Airlines, maskapai Singapura.
Pada 23 Februari 2006, Pemerintah Australia menolak tawaran Singapore Airlines untuk menerbangkan pesawatnya rute Sydney dan AS secara permanen. Meski pihak Canberra membantah itu ada kaitan dengan eksekusi Nguyen.

Nguyen adalah WN Australia pertama yang dieksekusi di luar negeri dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.   

Sebelumnya, 3 WN Australia dieksekusi gantung di Malaysia. Michael McAuliffe pada Juni 1993; Kevin Barlow dan Brian Chambers pada 7 Juli 1986. Semua dalam kasus penyelundupan heroin.

Andrew Chan dan Myuran Sukumaran bukan warga Australia pertama yang dieksekusi di negeri orang...

Sleanjutnya: Nusakambangan, Bom Bali, Bali Nine...

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Nusakambangan, Bom Bali, Bali Nine

Nusakambangan, Bom Bali, Bali Nine

Sabtu malam yang pekat dan basah, 8 November 2008 sekitar pukul 23.15 WIB. Iring-iringan mobil berangkat dari Lembaga Pemasyarakatan Batu, melintasi jalanan becek dan rusak, menuju sebuah titik berjarak 6 km ke selatan.

Di lokasi itu, 3 tiang eksekusi ditegakkan di tanah lapang seluas 3.500 meter. Minggu 00.15 WIB, nasib trio Bom Bali -- Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas tamat di Bukit Nirbaya.  

Bukit 'keramat' yang terletak di tengah Lapas Terbuka dan Lapas Batu itu beberapa kali menjadi lokasi eksekusi mati.  Menjadi saksi bisu puncak rasa takut, kegelisahan, tangis penyesalan, kata-kata terakhir, hembusan nafas paripurna -- detik-detik terakhir terpidana di hadapan regu tembak.

Nama Nirbaya sama mengerikannya dengan Nusakambangan 'Alcatraz of Indonesia' -- yang angker dalam hal mistis juga reputasinya sebagai pulau penjara sejak zaman Belanda menjajah Nusantara. Apalagi, belakangan, daratan yang masuk wilayah Cilacap, Jawa Tengah itu makin mendunia menjadi lokasi eksekusi mati.

Amrozi Cs dieksekusi atas peran mereka dalam tragedi Bom Bali I pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang -- 88 di antaranya adalah warga Negeri Kanguru.

Sikap Australia tak sepakat hukuman mati, namun tak ada sikap penolakan kala itu...

Meski PM Australia saat itu, Kevin Rudd menegaskan kembali sikap pemerintah Australia yang menentang hukuman mati. Namun, baginya, saat eksekusi dilaksanakan pada trio Bom Bali. Maka, maka keadilan telah ditegakkan.

“Mereka pantas menjalani hukuman yang dijatuhkan,” kata Rudd, seperti Liputan6.com kutip dari The Australian, 3 Oktober 2008, menanggapi pernyataan Amrozi bahwa akan ada yang balas dendam jika mereka dieksekusi. “Mereka adalah pembunuh, pelaku pembunuhan massal, juga pengecut.”

Namun, Rudd kemudian mengoreksi pernyataannya. “Arti perkataan saya waktu itu bahwa mereka layak mendapatkan hukuman yang adil, maksud saya, yang sesuai dengan sistem hukum di Indonesia,” ujarnya. Justice has been done.

Pasca-eksekusi mati, sejumlah keluarga korban mengaku lega. lainnya, justru menentang. Georgia Lysaght, yang saudara kandungnya Scott tewas dalam tragedi Bom Bali mengatakan, “Fakta bahwa mereka dieksekusi tak mengubah keadaanku…Cara itu tak bakal bisa mengembalikan saudaraku.”

Warga Perth, Peter Hughes yang mengalami luka bakar parah dalam tragedi Bom Bali 2002 bukan pendukung hukuman mati. Namun baginya, eksekusi bagi Amrozi Cs adalah hukuman yang pantas.

“Mereka membunuh banyak orang dan melukai banyak lainnya. Ada banyak keluarga di Australia yang menanti orang-orang terkasih yang tak bakal pulang, mereka lah yang paling menderita. Saya pikir, itu hukuman yang pantas bagi mereka.”

Nusakambangan yang pernah menghukum pelaku teror yang membunuh puluhan warga Australia akan menjadi lokasi eksekusi dua warga Negeri Kanguru. Pemindahan duo Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, dijadwalkan akan dilaksanakan pekan ini.

Sebelumnya, pada 17 Februari 2015, 6 mantan perdana menteri Australia: Malcolm Fraser, Bob Hawke, Paul Keating, John Howard, Kevin Rudd, dan Julia Gillard bersatu untuk menyampaikan permohonan pada Indonesia. Untuk memberi kesempatan kedua bagi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, terpidana mati yang tinggal menghitung hari. Demi kemanusiaan.

Namun, Indonesia bersikukuh tetap melaksanakan eksekusi. Alasannya, demi melindungi lebih dari 200 juta orang, sebab, negara sudah dalam kondisi darurat narkoba.

Seperti dikutip dari situs Deutsche Welle, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia saat ini menjadi salah satu jalur utama perdagangan obat bius. Hal itu disampaikan Troels Vester, koordinator lembaga PBB untuk kejahatan narkoba, UNODC (United Nations Office on Drugs dan Crime).

Troels Vester memperkirakan, ada sekitar 3,7 juta sampai 4,7 juta pengguna narkoba di Indonesia. Narkoba yang paling banyak digunakan adalah jenis Amphetamine Type Stimulants (ATS), yang di Indonesia sering disebut "sabu-sabu".

Banyak obat bius diperdagangkan dan diselundupkan oleh sindikat internasional yang terorganisasi, terutama karena ada permintaan cukup tinggi. Indonesia punya populasi muda yang besar dan sekarang menjadi pasar narkoba yang besar juga.

Apakah tindakan terorisme dan kejahatan narkoba sama mengerikannya, itu masih jadi perdebatan. Yang satu membunuh seketika dengan mempertontonkan adegan mengerikan, sementara lainnya, mematikan secara pelan-pelan para pecandu dan menghancurkan keluarganya.

Bagi Beverly Neal, narkoba adalah tindakan luar biasa jahat. Para bandar telah merayu dan kemudian merenggut nyawa putrinya Jeniffer Neal -- yang tewas dalam usia sangat muda: 17 tahun.

Berbeda dengan warga Australia lain, ia berdoa duo Bali Nine jadi dieksekusi. Mereka adalah penjahat yang seolah-olah dijadikan pahlawan,” ujar Neal, seperti dimuat News.com.au, Sabtu 21 Februari 2015.

“Siapa yang tahu, ada berapa banyak nyawa yang akan terenggut jika mereka gembong narkoba Bali Nine) tidak tertangkap di Bali,” imbuh dia.

Menurut Neal, orangtua Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, bagaimanapun, lebih beruntung darinya. Mereka masih bisa mengucapkan ucapan selamat tinggal, sedangkan aku, tidak."

Selanjutnya: Siapa Menerapkan Standar Ganda?...

3 dari 5 halaman

Siapa Menerapkan Standar Ganda?

Siapa Menerapkan Standar Ganda?

 Australia mengerahkan segala upaya untuk membebaskan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Termasuk dengan menuding Indonesia menerapkan standar ganda terkait hukuman mati. Menyelamatkan nyawa WNI dari eksekusi mati di luar negeri, di satu sisi, memang menjadi prioritas Pemerintah Indonesia.

"Jika Indonesia menentang eksekusi mati bagi warga negaranya di Timur Tengah...Saya berharap Pemerintah Indonesia juga menunjukkan pengampunan yang sama kepada WN Australia, seperti halnya yang mereka minta ke negara lain untuk warga negaranya," kata Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop kepada Radio ABC.

Ancaman boikot pun disampaikan Bu Menlu. Terutama terarah ke Bali. "Saya pikir rakyat Australia akan menunjukkan kekecewaan mereka yang terdalam atas tindakan tersebut (eksekusi mati), dengan memutuskan di mana mereka akan berlibur." Gerakan boikot Bali lalu ramai di media sosial dengan hashtag #boycottBali.

Soal tuduhan 'standar ganda' Profesor Tim Lindsey dari Centre for Indonesian Law, Islam, and Society, Melbourne University berpendapat, Presiden Jokowi saat ini berada dalam posisi dilematis 'posisi populis bertentangan'.

"Di satu sisi, adalah persepsi  -- yang dipertanyakan -- tentang krisis narkoba di indonesia. Responsnya adalah 'tak ada ampun untuk para pelaku kejahatan narkoba," kata dia seperti dimuat ABC Australia. “ Di sisi lain, ada posisi yang populis bahwa Indonesia akan menyelamatkan warga negaranya yang menghadapi eksekusi di luar negeri.”

Namun, Lindsey menambahkan, Australia juga memperlihatkan 'standar ganda' terkait sikapnya yang menentang hukuman mati. “Baik John Howard maupun Kevin Rudd, pada saat berbeda mengindikasikan dukungannya pada eksekusi pelaku Bom Bali," kata dia. “Kita (warga Australia) tidak keberatan Indonesia mengeksekusi pelaku bom Bali, tapi kita keberatan jika eksekusi menimpa warga kita. Dan sekarang Indonesia berada dalam posisi yang sama.”

Sementara, Liam Bartlett, kolumnis The Sunday Times mengingatkan Baik Andrew Chan maupun Myuran Sukumaran tertangkap saat menyelundupkan 8,3 kilogram heorin dari Bali. Tujuannya ke Australia. "Kita tak perlu menebak berapa banyak orang Australia yang mungkin tewas di ujung jarum," tulis dia dalam artikel yang dimuat Perth Now. Dan saat mereka tertangkap, bisa jadi bukan kali pertama Chan dan Sukumaran melakukan aksinya.

PM Australia Tony Abbott juga berupaya meloloskan warganya dari berondongan regu tembak. Ia pun mengingatkan 'utang budi' Indonesia atas bantuan yang diberikan Negeri Kanguru dalam tragedi Tsunami Aceh 2004. Yang nilainya mencapai 1 miliar dolar Australia.

“Jangan lupa beberapa waktu lalu ketika Indonesia dilanda tsunami, Australia mengirimkan bantuan 1 miliar dolar Australia, kami juga mengirimkan pasukan untuk bantuan kemanusiaan. Ya, mereka (Bali Nine) melakukan hal yang mengerikan, mereka juga harus mendekam lama di penjara, tapi mereka tak pantas mati,” kata dia 18 Februari 2015. Ucapan itu justru memicu reaksi negatif dan gerakan 'Koin Untuk Australia’ yang sampai Senin ini jumlahnya mencapai 3 karung.

Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana menilai, Australialah yang kini melakukan standar ganda. "Karena ketika trio Bom Bali dieksekusi, mereka justru menganggap, justice has been done," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.

Hikmahanto menambahkan, Indonesia tak punya kewajiban untuk meyakinkan negara asing soal hukuman mati. "Karena ini merupakan masalah kedaulatan di dalam negeri. Hal tersebut tidak bisa diintervensi."

Selanjutnya: PM Abbott di Ujung Tanduk...

4 dari 5 halaman

PM Abbott di Ujung Tanduk

PM Abbott di Ujung Tanduk

Dua hal bikin mumet Tony Abbott. Pertama, upayanya untuk membebaskan dua warganya dari eksekusi mati di Indonesia makin mepet. Belum lagi, pria kelahiran London, Inggris tersebut sedang menghadapi gonjang ganjing politik di dalam negeri yang bisa jadi melengserkannya dari kursi Perdana Menteri Australia.

Gejolak politik berawal dari sikap sejumlah koleganya di Partai Liberal yang mulai menginginkan adanya pergantian kepemimpinan parpol. Hal serupa terjadi Februari 2015 lalu, kali itu Abbott lolos.

Asisten Bendahara Partai Liberal, Josh Frydenberg mengaku, tak dipungkiri memang ada sebagian orang di Partai Liberal yang menginginkan adanya pergantian kepemimpinan.

"Saya tidak yakin apapun yang dilakukan PM akan mampu meyakinkan mereka kalau dia layak dipertahankan sebagai PM," kata dia. "Meskipun misalnya saja Abbott berhasil memenangkan Nobel Perdamaian mereka tetap akan bersikap sama: menginginkan perubahan kepemimpinan," kata dia seperti dikutip dari ABC Australia.

Ketika menghadiri acara Clean Up Australia Day di Shell Cove, Abbott menyatakan tidak mungkin dirinya bisa memuaskan semua orang sekaligus. Namun, ia balas menyebut, spekulasi mengenai voting kepemimpinan di partainya hanya sebagai 'obsesi kalangan dalam' saja.

“Ini hanya daur ulang omong kosong sampah pada saat kita merayakan hari Clean Up Australia Day, mari kita masukan omong kosong sampah itu ke kantong sampah dan melenyapkannya,” kata Abbott "Setiap hari Anda akan melihat bukti yang makin kuat kalau pemerintahan saat ini tengah memfokuskan upaya untuk memerintah atas dasar kepentingan terbaik dari seluruh warga negara Australia."



Dua anggota kabinet Abbott yakni Menteri Komunikasi Malcolm Turnbull dan Menteri Luar Negeri Julie Bishop didorong untuk maju dalam kontes kepemimpinan di Partai Liberal, jika mosi tak percaya kembali dilancarkan ke arah Abbott, yang menyebabkan kosongnya kursi perdana menteri.

Pendukung Bishop mengatakan, Bu Menlu  telah menunjukan dirinya sebagai, "Pemulih suasana bukan sebagai orang yang memicu perbedaan. Ia uga telah menjalankan tugas di kabinet Abbott dengan baik dan menunjukan dirinya sebagai wakil yang setia.”

Dalam survei yang  dirilis Fairfax Ipsos, Senin (2/3/2015). Pemerintahan koalisi pimpinan PM Tony Abbott masih unggul di sejumlah survei dibandingkan Partai Buruh Australia -- sebagai pihak oposisi. Dengan prosentase 42 persen melawan 36 persen.

Hasil itu melegakan para pendukung Abbott.

"Mereka yang menginginkan Tony Abbott diganti sebagai perdana menteri harus berpikir kembali," kata Menteri Perdagangan Andrew Robb. "Saya merasa bahwa hasil survei ini juga menunjukkan bahwa pemilih tidak ingin perdana menteri diganti," tambahnya.

Apakah hasil survei bukti bahwa posisi Abbott aman? Masih harus dibuktikan.

Selanjutnya: Harga Diri Bangsa yang Terluka...

5 dari 5 halaman

Harga Diri Bangsa yang Terluka

Harga Diri Bangsa yang Terluka

Palacio do Planalto. Bangunan putih berdesain kotak yang unik di Ibukota Brasil, Brasilia itu difungsikan menjadi Kantor Kepresidenan bagi Dilma Rousseff. Pada Jumat 20 Februari 2015, Bu Presiden dijadwalkan menerima penyerahan surat kepercayaan diplomati (credential). Salah satunya dari Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto.

Sehari sebelumnya, Pak Dubes menerima undangan berupa nota diplomatik dari Kemlu Brasil. Pada hari-H, "Pukul 08.15, protokol dari pemerintah Brasil datang ke Wisma Indonesia dengan mobil berbendera Indonesia, untuk menjemput saya dan mengantar saya ke Istana,” kata dia.

Setibanya di Istana Kepresidenan, Dubes Toto mendapatkan pengarahan soal tata cara pelaksanaan upacara penyerahan surat kepercayaan diplomatik.

Beberapa saat sebelum acara dimulai, Menlu Brasil memanggilnya ke sebuah ruangan khusus, menyampaikan bahwa penyerahan credential dari Indonesia ditunda. Presiden Rousseff akhirnya hanya menerima surat kepercayaan dari Dubes El Salvador, Panama, Venezuela, Senegal dan Yunani.

Meski demikian, Rousseff menegaskan bahwa pihaknya bukan menolak penempatan Dubes Indonesia di negaranya. "Yang kami lakukan adalah sedikit memperlambat penerimaan surat kepercayaan, tidak lebih dari itu."

Bu Presiden marah gara-gara warganya telah dan akan dieksekusi mati Indonesia? Dugaan memang mengarah ke sana.

Pada Minggu dini hari 18 Januari 2015, warga Brasil bernama Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi mati setelah dihukum bersalah melakukan perdagangan narkoba. Akibat tindakan ini, Dubes Brasil di Indonesia ditarik Presiden Rousseff sebagai protes atas kematiannya. Dan warga Brasil lainnya, Rodrigo Gularte dalam waktu dekat dijadwalkan juga dieksekusi di Indonesia atas dasar pelanggaran hukum serupa.

Tindakan Brasil balas diprotes. "Saat saya mendengar kabar kalau penyerahan surat kepercayaan mengalami penundaan, saat itu juga saya langsung panggil Dubes Brasil di Jakarta, pukul 22.00 WIB," ujar Direktur Jenderal Amerika Eropa Kemlu, Dian Triansyah Djani, saat dihubungi Liputan6.com. "Kami sampaikan nota keberatan terkait masalah ini."

"Saya sampaikan tindakan itu tak dapat diterima, tak memenuhi kaidah diplomatik. Kita mencatat apa yang dilakukan oleh Brasil karena dalam hubungan diplomatik kita dipenuhi oleh sinyal-sinyal. Dan sinyal ini sangat mengecewakan," ucap Dian. "Kita selalu mengedepankan bahwa Indonesia selalu bersahabat dengan semua negara. Kita selalu menghormati kedaulatan negara lain dan kita harap negara lain akan berbuat seperti itu."

Dari Istana, Presiden Jokowi memerintahan penarikan Dubes Toto. "Pada Hari Jumat malam saya dikabari mengenai kejadian credential dari Bu Menlu, dan ‎Jumat malam itu juga saya perintahkan Pak Dubes kita di Brasil ditarik ke Tanah Air," ujar Jokowi usai menerima Menlu dan Dubes RI untuk Brasil di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa 24 Januari 2015.

Alasannya: demi kehormatan bangsa. "Masalah Brasil kenapa saya tarik, karena ini adalah masalah kehormatan negara, kehormatan bangsa. Kenapa saya tarik? Karena itu masalah. Buat saya itu masalah besar," ‎ucap Presiden.

Di tempat terpisah, Dubes Prancis Corrine Brueze, yang warganya juga terancam dieksekusi mati mengaku negaranya tetap menghormati sepenuhnya kedaulatan dan hukum Indonesia.

Apakah Prancis akan menempuh langkah ekstrem seperti Brasil dan Australia? "Masih terlalu dini membicarakan hal tersebut," jawab dia.

Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menerangkan, pihaknya akan terus memberi pemahaman pada negara lain tentang hukum yang berlaku di Indonesia. Ia berharap, hukum positif yang berlaku di Indonesia tidak diintervensi oleh negara manapun.

"Hukuman mati masih menjadi bagian dari hukum positif yang ada di Indonesia. Jadi kita tidak akan lelah untuk menjelaskan kepada dunia," kata Retno di Jakarta.

Sebelumnya, Indonesia pernah menarik Dubes dari negara lain. Pada 2013 pasca-terkuak aksi penyadapan Australia terhadap sejumlah pejabat Tanah Air.

Namun, menurut penelusuran Liputan6.com, sikap serupa tak pernah dilakukan saat sejumlah WNI dieksekusi di luar negeri, termasuk tatkala ada warga bangsa dihukum pancung di Arab Saudi. (Ein/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.