Sukses

Vonis Mati Massal untuk 183 Orang di Mesir

Tak semua terdakwa dihadirkan dalam sidang pembacaan putusan, 34 dari 183 terdakwa diadili secara in absentia.

Liputan6.com, Kairo - Pengadilan Mesir mengeluarkan keputusan yang menggegerkan dunia dengan menjatuhkan vonis mati massal pada 183 terdakwa. Semuanya pendukung Ikhwanul Muslimin.

Para terdakwa dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan 11 polisi dan 2 penduduk sipil pada Agustus 2013, dalam penyerangan di sebuah kantor polisi. Demikian dilaporkan kantor berita pemerintah Mesir MENA.

Serangan terjadi setelah pasukan keamanan melakukan aksi pembersihan terhadap kamp protes pendukung Presiden yang digulingkan Mohammed Morsi, yang menewaskan ratusan orang.

Hukuman mati massal itu menuai kecaman. "Penjatuhan vonis mati adalah contoh lain dari bias dalam sistem peradilan pidana Mesir," kata Hassiba Hadj Sahraoui dari Amnesty International, seperti Liputan6.com kutip dari CNN, Selasa (3/2/2015).

"Vonis tersebut harus dibatalkan. Dan semua terdakwa harus disidang ulang dalam proses peradilan yang memenuhi standar internasional." Tanpa hukuman mati.

Sahraoui menambahkan, mengeluarkan vonis mati secara massal dalam kasus pembunuhan polisi seakan telah menjadi kebijakan yang rutin di Mesir.

"Sejauh ini ada 415 orang yang divonis mati dalam 4 persidangan kasus pembunuhan anggota polisi. Sementara, kasus mantan Presiden Hosni Mubarak terkait pembunuhan ratusan demonstran, justru dibatalkan. Bahkan tak ada pejabat keamanan yang ditahan atas pembunuhan 1.000 pengunjuk rasa pada Agustus 2013," demikian pernyataan Amnesty International.

Tak semua terdakwa dihadirkan dalam sidang pembacaan putusan, 34 dari 183 terdakwa diadili secara in absentia. Pengadilan juga menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun kepada seorang anak di bawah umur. Semuanya masih punya hak untuk mengajukan banding.

4 Tahun Pergolakan

Pada Juli dan Agustus 2013, ratusan demonstran -- bahkan ada yang menyebut kebih dari 1.000 --tewas dalam penyerbuan aparat keamanan. Demikian ujar organisasi HAM, Human Rights Watch.

"Aparat gagal menangkap satu pun polisi tingkat rendah, perwira pelaksana, apalagi pejabat yang bertanggung jawab yang memerintahkan serangan terhadap pendemo tersebut," ujar Human Rights Watch dalam laporan 188 halaman yang berjudul "All According to Plan: The Rab'a Massacre and Mass Killings of Protesters in Egypt."

Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan, sejak Agustus 2013, 343 personel polisi meninggal dunia.

Sudah 4 tahun kekerasan yang menyertai perebutan kekuasaan melanda Mesir. Diawali Februari 2011, saat Hosni Mubarak dilengserkan paksa dari kekuasaannya.

Lalu,  Mohammed Morsi dari Ikhwanul Muslimin menjadi presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis pada 2012. Namun ia digulingkan dalam kudeta militer yang menyusul protes massal yang menentang pemerintahannya.

Pada 2013, aparat keamanan Mesir mengincar pendukung Morsi. Pada Desember tahun itu, pemerintahan sementara bahkan melabeli Ikhwanul Muslimin sebagai 'organisasi teroris'.

Pemerintah Mesir saat ini, yang dipimpin Abdel Fattah el-Sisi telah menyerukan "revolusi agama" dan meminta para ulama untuk membantu memerangi ekstremisme. Perang lawan teror pun digelorakan, terutama di Sinai -- dengan kelompok ekstremis baru-baru ini berjanji setia kepada ISIS. (Ein/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini