Sukses

Tak Punya Legal Standing, 2 Anggota DPRD NTT Gigit Jari di MK

Permohonan itu diajukan oleh 2 anggota DPRD NTT Jimmi Wilbadus dari Partai Hanura dan Yucundianus dari Partai Kebangkitan Bangsa.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 327 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal itu diajukan oleh 2 anggota DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) Jimmi Wilbadus dari Partai Hanura dan Yucundianus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

"Mengadili menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pasal a quo telah diputus sebelumnya. Yakni pada tanggal 18 Februari 2009. Putusan perkara itu terigester dengan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Mahkamah menyatakan dalam putusan perkara itu, bahwa Pemohon II, yakni Partai Bulan Bintang sudah ambil bagian dan turut serta dalam proses pembahasan UU Nomor 42 Tahun 2008 dan telah memberikan persetujuannya di DPR.

MK mempertimbangkan, bahwa untuk masa-masa akan datang, bagi partai politik dan atau anggota DPR yang sudah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional atas suatu undang-undang yang dimohonkan, akan dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.

Karena itu, MK mempertimbangkan, Partai Hanura dan PKB adalah partai-partai yang melalui fraksinya telah ambil bagian dan turut serta melakukan pembahasan dan pengambilan keputusan atas UU MD3.

"Berdasarkan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," ucap majelis hakim MK.

‎Jimmi Wilbadus dan Yucundianus mengajukan uji materi UU MD3 ke MK. Anggota DPRD NTT itu mempermasalahkan Pasal 327 ayat 2 dan 3 a quo. Jimmi dari Fraksi Partai Hanura dan Yucundianus asal Fraksi PKB itu merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya pasal a quo tersebut.

Pasal 327 ayat 2 UU MD3 itu mengatur mekanisme pimpinan atau Ketua DPRD berasal dari partai pemenang. Ketentuan tersebut menurut Para Pemohon menyebabkan partai dengan perolehan kursi terbanyak di DPRD secara otomatis akan menjadi pimpinan DPR.

Selain itu, ketentuan mengenai proses pengisian dan penempatan pimpinan DPRD‎ menurut para Pemohon juga tidak mengakomodasi kepentingan hukum mereka. Akibat ketentuan tersebut, para Pemohon menjadi kehilangan kesempatan untuk ikut dalam proses pemilihan alat kelengkapan DPR. Para Pemohon menilai hal itu dikarenakan Pasal 327 ayat 2 dengan tegas telah menghilangkan kesempatan Pemohon.

Para Pemohon juga menilai, ketentuan dalam Pasal 327 ayat 2 tidak sejalan dengan ketentuan pengisian alat kelengkapan di tingkat pusat, yaitu DPR. Di DPR menggunakan sistem paket untuk memberikan kewenangan kepada perorangan sebagai anggota DPR untuk dapat memilih dan dipilih.

Dengan perbedaan mekanisme pengisian alat kelengkapan DPRD dengan DPR tersebut, menurut para Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Para Pemohon menilai bahwa rumusan Pasal 327 ayat 2 dan 3 adalah rumusan pasal yang menerapkan standar ganda dalam hukum. Sehingga membuat ketidakselarasan hukum juga melahirkan diskriminasi kewenangan dan menciderai demokrasi. (Ado)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.