Sukses

Penurunan Harga Minyak Kapan Berakhir?

Pendiri B.K Asset Management, Boris Schlossberg, mengatakan, sepanjang tahun ini harga minyak dijual di level US$ 50 per barel.

Liputan6.com, Jakarta - Sepertinya, pelemahan harga minyak dunia tidak akan berhenti sampai di level US$ 50 per barel. Para analis, pelaku pasar dan juga pengusaha minyak bertaruh harga minyak mentah dunia dapat terus merosot hingga menyentuh level US$ 20 per barel pada Juni 2015.

Pada awal Desember tahun lalu, dengan peningkatan produksi minyak di Amerika, banyak analis yang memprediksi harga minyak akan merosot hingga US$ 40 per barel pada Desember 2015. Saat itu, AS diprediksi menjual sekitar 880 ribu barel minyak.

Ternyata, angka US$ 40 per barel bukan merupakan titik paling bawah. Harga minyak dunia terus merosot hingga ke level terendah dalam lebih dari lima tahun terakhir. Kemerosotan harga minyak dunia bahkan membingungkan para ahli di industri tersebut.

"Harga minyak berada di level yang tidak masuk akal. Kami tidak tahu seberapa jauh harga minyak dapat terus merosot," ungkap pendiri Schork Report, Stephen Schork, seperti dikutip dari CNBC di akhir tahun lalu.

Dia menjelaskan, situasi ketidakpastian harga minyak ini sama dengan kenaikan terus-menerus yang terjadi pada 2008. Mengenai cadangan, Schork juga melihat situasi yang sama.

"Sama dengan pada 2008 saat harga minyak terus naik secara tak masuk akal dari US$ 120, US$ 130, US$ 140 per barel. Tapi harga yang naik menjadi alasan untuk harga yang lebih tinggi," tuturnya.

Dia mengatakan, penurunan harga minyak kini cukup menarik banyak investor. Beberapa di antaranya bertaruh harga minyak berada di bawah US$ 30 pada Juni 2015 nanti.

Pendiri B.K Asset Management, Boris Schlossberg, mengatakan, sepanjang tahun ini harga minyak dijual di level US$ 50 per barel.

Namun, tak semua analis pesimis. Ada juga beberapa analis yang cukup optimis ambruknya harga minyak dunia ini tidak akan berlangsung terus-menerus. CEO Breitling Energy Chris Faulkner mengatakan, bahkan eksportir minyak terbesar di dunia itu juga punya batasan dalam menghadapi kemerosotan harga seperti sekarang.

"Saya rasa, kepanikan baru akan muncul saat harga minyak menyentuh level US$ 40 per barel. Mereka bisa mengatakan apapun yang diinginkan, tapi pada akhirnya tak ada yang mau terus mengalami kerugian," ungkapnya seperti dilansir dari CNBC pada minggu terakhir tahun lalu.

Faulkner memprediksi harga minyak akan menguat kembali, sedikitnya ke level US$ 70 per barel hingga akhir 2015.

Tapi itu akan terjadi setelah harga minyak merosot hingga ke level terendah di kisaran US$ 50 per barel dan kemungkinan menguat di kuartal II tahun depan.



Founder dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan, jika melihat perkembangan 6 bulan terakhir, harga minyak akan bergerak di tingkat US$ 40 per barel hingga US$ 60 per barel.

“Tetapi level terbawah sampai sekarang masih belum bisa ditentukan karena di dalam konteks global sepertinya produsen minyak dunia sepertinya membiarkan hal tersebut terjadi,” jelasnya.

Oleh karena itu, meskipun Pri Agung memperkirakan harga minyak akan berada di kisaran US$ 40 per barel, namun harga tersebut bukan merupakan titik terendah. Ada saat-saat dimana ahrga minyak akan berada di level lebih rendah tetapi hal tersebut tidak akan berlangsung lama.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harga minyak Turun, Negara ini Terjerumus

Harga minyak Turun, Negara ini Terjerumus

Penurunan harga minyak dunia tersebut membuat beberapa negara penghasil minyak ketar-ketir. Pasalnya, harga minyak yang terus turun diprediksi dapat menghantam perekonomian sejumlan negara.

Sebagai eksportir minyak terbesar di dunia, Arab Saudi berpotensi terkena hantaman terbesar dari anjloknya harga minyak global belakangan ini.

Mengacu pada data Economist Intelligence Unit, sejauh ini, Arab Saudi memiliki kekayaan cadangan sebesar US$ 750 miliar. Tetangga Arab Saudi yaitu Kuwait dan Uni Emirat Arab juga memiliki cadangan kekayaan US$ 100 miliar.

Cadangan kekayakan tersebut memang kebanyakan dalam bentuk minyak mentah yang disimpan di dalam kilang-kilang yang mereka miliki. Namun selain itu, negara-negara produsen minyak tersebut juga menyimpan cadangan kekayaannya dalam bentuk dana yang disimpan atau diinvestasikan ke negara lain.

Namun kemungkinan, kekayaan cadangan tersebut bakal tergerus habis jika harga minyak terus-menerus berada di level rendah. Pasalnya, untuk membiayai jalannya pemerintahan dan juga membangun infrastruktur, ketiga negara tersebut bergantung pada produksi minyak.

Dana untuk menjalankan pemerintahan dan juga membangun infrasrtuktur tersebut jauh lebih tinggi dari dana tunai yang dihasilnya dari berdagang minyak mentah yang saat ini berada di kisaran US$ 45 per barel.

Jadi era penurunan harga minyak dapat membuat ketiga negara penghasil minyak tersebut menanggung kerugian besar.

Negara penghasil minyak yang juga terkena hantaman penurunan harga minyak dunia adalah Rusia dan Venezuela. Bahkan kedua negara tersebut memiliki cadangan finansial yang lebih sedikit untuk mengatasi dampak penurunan harga minyak dunia. Rusia dan Venezuela telah mengurangi banyak cadangan finasial untuk mempertahankan pelemahan mata uangnya.

"Tapi penurunan harga minyak telah menghantam mata uang kedua negara tersebut dengan sangat keras," ungkap ekonom Capital Economist Andrew Kenningham.

Rubel Rusia anjlok sekitar 30 persen tahun ini dan Venezuela sekitar 15 persen. Itu akan membuat barang impor di kedua negara tersebut menjadi jauh lebih mahal, mendorong inflasi dan pemangkasan pengeluaran dan kebutuhan belanja.

3 dari 3 halaman

Ada yang Untung Saat yang Lain Buntung

Ada yang Untung Saat yang Lain Buntung

Merosotnya harga minyak dunia ternyata bisa menjadi ladang untung bagi negara-negara pengimpor minyak. Negara-negara yang tersenyum dengan penurunan harga minyak adalah China, Jepang dan India yang mengimpor sebagian besar pasokan minyaknya.

Sementara Indonesia dan Malaysia juga mendapat untung lebih besar karena pada saat bersamaan menaikkan harga bahan bakar minyak guna memangkas subsidi energi.

"Harga minyak yang rendah tentu saja menguntungkan kami. Kami benar-benar berada dalam posisi yang menyenangkan," ungkap K.V. Rao, Direktur Keuangan Hindustan Petroleum, kilang minyak terbesar ketiga di India.

Harga minyak dunia yang lebih rendah telah membantu Perdana Menteri India Narendra Modi memangkas subsisi BBM dan mengurangi defisit fiskalnya. Biaya impor minyak India berkurang drastis dari US$ 169 miliar pada Juli menjadi US$ 164 miliar pada Oktober. Harga minyak yang lebih rendah juga membantunya mengendalikan inflasi.

Sementara itu, China yang merupakan importir minyak terbesar di dunia juga mendulang untung. Bagaimana tidak, total impornya mencapai 60 persen dari  pasokan domestiknya. Alhasil, harga minyak yang rendah semakin menguntungkan pertumbuhan ekonomi China.
 
Menurut Bank of America Merrill Lynch, setiap penurunan 10 persen harga minyak, PDB China naik 0,15 persen sementara inflasi turun 0,2 persen.
 
Untuk Jepang, importir minyak ketiga terbesar di dunia, harga minyak yang lebih rendah mampu mendorong tingkat perekonomiannya yang belakangan mengalami resesi. Meski begitu, turunnya harga minyak masih menantang upaya pemerintah mengakhiri deflasi.
 
Gubernur Bank Sentral Jepang Haruhiko Kuroda mengatakan, jatuhnya harga minyak merupakan pendorong upaya bank tersebut untuk mencapai target inflasi 2 persen.

Video: Business Talk: Harga Minyak Turun, RI Untung atau Buntung?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.