Sukses

'Kutukan' Harga Minyak Dunia

Tepatnya pada 13 Juni 2014, harga minyak di West Texas intermediate sempat menyentuh level US$ 107,52 per barel. Kini, merosot tajam.

Liputan6.com, Jakarta - Pertengahan tahun lalu, sebagian besar negara-negara produsen minyak mentah tersenyum manis. Pasalnya, harga minyak mentah terus berada di atas US$ 100 per barel. Sepanjang tahun lalu, rekor tertinggi harga minyak ditorehkan pada bulan Juni.

Tepatnya pada 13 Juni 2014, harga minyak di West Texas intermediate menyentuh level  US$ 107,52 per barel. Sedangkan patokan harga minyak Eropa (Brent Spot Price) menyentuh level tertinggi pada 17 Juni 2014 dengan level US$ 115,19 per barel.

Banyak sentimen yang memicu harga minyak terus-menerus berada di atas US$ 100 per barel. Di awal tahun, konflik di Ukraina menjadi pendongkrak melambungnya harga minyak. Saat itu, salah satu daerah di negara itu yaitu Crimea mencoba untuk memisahkan diri. Rencana tersebut didukung oleh Rusia.

Pecah perang antara  tentara Ukraina dengan milisi Crimea yang didukung oleh Rusia membuat harga minyak secara perlahan namun pasti merangkak naik. Alasannya, negara pecahan Uni Soviet itu merupakan salah satu produsen minyak terbesar. Untuk menyalurkan minyak ke wilayah lain di Eropa, negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin tersebut harus melalui Ukraina.



Tentu saja, dengan adanya konflik tersebut, banyak pelaku pasar khawatir pasokan minyak bakal terganggu. Alhasil, secara perlahan harga minyak yang semula stabil di level US$ 90 per barel naik ke level US$ 97 per barel.

Tak berhenti sampai di situ, krisis di Irak juga menambah sentimen negatif kepada harga minyak. Belum reda krisis di Ukraina, muncul krisis di Irak dan Suriah dengan munculnya aksi serangan kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Sama dengan Rusia, kedua negara tersebut juga merupakan salah satu produsen minyak yang cukup besar di dunia. Dalam konflik tersebut, milisi ISIS menguasai beberapa  sumur minyak yang dimiliki oleh Suriah dan Irak.

Akibatnya, kekhawatiran dari pelaku pasar pun bertambah. Pasokan minyak dikhawatirkan bakal terganggu. Dua konflik yang berlangsung sejak awal tahun 2014 tersebut membuat harga minyak terus berada di level US$ 100 per barel sejak Mei 2014.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Berbalik Arah

Berbalik Arah

Sayangnya, keperkasaan harga minyak tersebut tak bertahan lama. Mendadak di akhir tahun lalu tepatnya dikuartal IV 2014, harga minyak merosot tajam.

Beberapa sentimen yang mempengaruhi merosotnya harga minyak tersebut masih sama yaitu konflik Ukraina dan juga ISIS. Bedanya, perkiraan para analis minyak soal konflik Ukraina dan juga konflik ISIS ternyata tak terbukti. Pasokan minyak mentah tak terganggu, bahkan justru melimpah.

Selain itu, sentimen yang membuat harga minyak turun adalah  melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia. Di semester II 2014, beberapa lembaga keuangan internasional mengeluarkan data-data mengenai estimasi pertumbuhan ekonomi pada 2015. Hampir semua lembaga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia bakal turun.



Contohnya Bank Dunia. Pada perengahan 2014, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia di tahun ini bakal mencapai level 3,4 persen. Namun, di akhir tahun lalu, proyeksi tersebut diubah. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya tumbuh 3 persen saja.

Dengan penurunan proyeksi pertumbuhan dunia, harga minyak langsung tertekan. Pasalnya, kebutuhan akan energi di dunia juga menurun karena penurunan pertumbuhan ekonomi dunia tersebut.

Sebenarnya, Amerika bisa menjadi penyelamat untuk harga minyak. Pasalnya perekonomian negara tersebut di akhir tahun lalu cukup baik. Data-data ekonomi yang keluar menunjukkan pertumbuhan positif, mulai dari data pengangguran, penjualan rumah hingga penjualan ritel. Namun sayangnya, produksi minyak di Negeri Paman Sam juga cukup tinggi sehingga tidak bisa menutupi tingginya pasokan dunia.

3 dari 3 halaman

OPEC Tak Mau Pangkas Produksi

OPEC Tak Mau Pangkas Produksi

Sentimen yang paling besar membuat harga minyak dunia turun justru berasal dari negara-negara yang tergabung dalam organisasi pengekspor minyak. Dalam sidang yang diadakan pada November 2014 lalu, Arab Saudi dan anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) tidak ingin pemangkasan produksi guna mendorong naik harga minyak.

Menteri Energi Arab Saudi Ali al-Naimi mengatakan, OPEC perlu mempertahankan pangsa pasar guna bersaing dengan AS dan sumber minyak lain. Kekhawatiran produsen minyak tersebut telah memangkas harga minyak hingga menyentuh level US$ 49,66 per barel, level terendah sejak April 2009.



Negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah beranggapan, harga minyak yang lebih rendah dapat memperlambat persaingan pasokan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan.

"Tak ada alasan untuk memangkas produksi meskipun mendapat tentangan dari produsen minyak non-OPEC. OPEC tak akan memangkas produksi minyak sendirian," kata Naimi.

Kuwait juga tidak setuju dengan opsi pengurangan produksi. Sementara itu produsen lain seperti Iran dan Rusia mendesak pengurangan produksi agar harga minyak naik.

Video: Business Talk: Harga Minyak Turun, RI Untung atau Buntung?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.