Sukses

Isyarat 'Lambaian' dari Selat Karimata

Jasad yang terapung dan serpihan pesawat di Selat Karimata menjadi petunjuk nasib tragis yang menimpa AirAsia QZ8501.

Liputan6.com, Jakarta - Sinar matahari memantulkan kemilaunya di permukaan laut sepanjang Selat Karimata siang itu, Selasa 30 Desember 2014, ketika pesawat Hercules A-1319 terbang di ketinggian 700 kaki. Sepanjang mata memandang hanya ada hamparan air laut bergelombang.

Sudah hampir 5 jam pesawat bercorak loreng-loreng gelap itu menyisir perairan yang memisahkan daratan Sumatera dan Kalimantan tersebut. Di balik jendela pesawat, orang-orang mengintai dengan sabar, berusaha ‘menyisir’ lautan. Tak ada yang berbeda, hingga pukul 11.20 Wita, sepasang mata dari balik jendela menangkap sosok  yang bergerak-gerak di tengah perairan sisi kiri kabin pesawat, seolah melambaikan tangan.

Seketika perasaan haru langsung menyergapi dada kopilot Lettu Erwin Tri Prabowo. Ia yang menyaksikan lambaian tangan itu pun bergegas meminta salah satu fotografer yang ikut dalam penerbangan untuk memotretnya.  Saat jepretan pertama, sosok itu masih melambaikan tangan.

“Saya lihat ada orang seperti mengenakan pelampung kuning dan melambaikan tangan seakan meminta pertolongan,” tutur Erwin menceritakan kesaksian matanya saat 30 Desember 2014 lalu kepada Liputan6.com, 2 Januari 2015.

Kala itu, Erwin terbang bersama 4 rekannya, instruktur penerbang Mayor Pnb Akal Juang, kopilot II Lettu Pnb Aris Febriyanto, Navigator I Kapten Nav Feisal Rachman, dan Navigator II Lettu Nav Sigid Kurniawan.

Sementara itu, di ruang kokpit, Pilot Akal Juang yang mendengar kabar tersebut pun meminta Erwin untuk meyakinkan lagi temuannya, sebelum informasi itu dilaporkan ke Panglima Komando Operasi I yang kala itu juga melakukan pencarian dengan pesawat CN 295.

Setelah itu, Pilot Akal Juang mendapatkan perintah untuk mendaratkan Hercules yang dikemudikannya di Lanud Iskandar, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Daratan terdekat dari Selat Karimata itulah yang kelak dijadikan pusat evakuasi penumpang dan puing-puing dari AirAsia QZ8501.

Sesampainya di sana, mereka kembali mengamati hasil jepretan foto di laut. Ketika itulah, Erwin tahu, ia salah lihat.

Sosok yang dikira masih hidup ternyata sudah meninggal. Warna kuning pada tubuh sosok tersebut ternyata bukan pelampung, melainkan jenazah yang sudah membengkak. Lambaian tangan yang dilihatnya juga berasal dari ayunan ombak besar.

“Saat itu perasaan saya sudah campur aduk. Senang juga karena bisa menemukan jenazah, merinding juga, dan terharu juga yang tadinya saya kira masih hidup ternyata sudah meninggal,” ujar Erwin.

Setelah briefing, Pangkoops Marsekal Muda Dwi Putranto berencana untuk melihat langsung keberadaan jenazah dengan helikopter. Maka pesawat Hercules yang membawa Erwin dan kawan-kawan pun diminta kembali ke Jakarta.

Tepat pukul 14.00 WIB, pesawat terbang menuju ke Halim Perdanakusuma, Jakarta. Di tengah perjalanan, pilot diminta kembali ke Sektor V untuk kembali melakukan pencarian. Namun saat bergerak ke titik yang sama, sosok yang sebelumnya dilihat Erwin sudah tak nampak lagi. Maka diputuskan, pesawat mengitari Sektor V.

Saat itu, semua tercengang. Tak cuma 1, sedikitnya ada 7 jenazah yang berhasil ditangkap mata para awak pesawat.

“Di situ lebih banyak. Termasuk ada 3 jenazah yang terlihat seperti berpegangan tangan. Saya mengiranya itu bisa bersatu karena terbawa ombak. Itu juga saya laporkan ke KRI Bung Tomo yang posisinya paling dekat,” jelas Erwin.

Lalu mereka pulang ke Jakarta. Setibanya di Ibukota, Erwin mengaku tidak bisa tidur. Dia terus teringat dengan temuannya tadi siang.

“Saya nggak bisa tidur. Saya sampai tahajud. Tadinya harapan saya masih hidup, kalau hidup kita bisa segera diselamatkan dan bisa tahu kronologi jelas musibah itu. Saya merasa sangat dekat dengan peristiwa ini, karena profesi saya juga. Saya membayangkan bahwa saya keluarga korban. Tapi saya tetap bertekad menemukannya, meskipun kenyataannya memang tidak seindah yang diharapkan nantinya, “ ujar pria kelahiran Tangerang, 31 Januari 1988 itu.

Video: Tim SAR Gabungan Evakuasi 8 Jenazah AirAsia QZ8501

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penantian Berakhir Pahit

Penantian Berakhir Pahit

Ribuan kilometer dari Selat Karimata, duka menyelimuti salah satu sudut Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa, 30 Desember 2014. Mata-mata penuh dengan kecemasan mengawasi dengan teliti jejeran televisi ruang 15x7 meter itu. Mereka seakan menahan napas.

Sudah  beberapa hari mereka menunggu dengan harap kabar dari orang-orang tercinta yang ikut dalam pesawat AirAsia QZ8501. Namun siaran berita di televisi saat itu meluluhlantakkan harapan mereka saat Kepala Basarnas, Marsekal Madya FH Bambang Soelistyo menyatakan, 95 persen keyakinannya bahwa AirAsia berakhir di Selat Karimata.

Di layar lain, salah satu stasiun televisi menyiarkan proses evakuasi 1 jenazah di lautan dengan  kondisi mengenaskan. Tayangan itu disiarkan polos tanpa blur. Padahal di ruang itu, sejumlah anak-anak juga hadir. Entah bocah-bocah itu mengerti atau tidak.
Saat itulah tangis bergemuruh. Teriakan dan  luapan kemarahan sekaligus kesedihan menjadi satu.

Di detik itu, seorang pria paruh baya bangkit dari tempat duduknya. Dengan salah satu  tangan menutupi kepalanya, dia terus menyaksikan adegan-adegan di televisi.

Sementara yang lain ramai memaki-maki stasiun televisi yang dinilai telah melukai hati mereka itu. Bahkan salah satu reporternya yang tengah meliput suasana di crisis center Bandara Juanda itu menjadi sasaran luapan kemarahan.

Sejurus kemudian, TV-TV itu dimatikan oleh pihak bandara. Sekitar 1 menit, kotak-kotak yang tergantung di dinding itu tak bersuara. Hanya  ada gambar bandara di sana.

Namun begitu menit berganti, televisi dinyalakan kembali. Saat itu mereka yang di dalam ruangan itu kembali histeris.  Para jurnalis hanya bisa melihat pemandangan itu dari balik kaca ruangan. Tak diperbolehkan masuk demi menjaga perasaan keluarga.

Di tengah-tengah luapan duka tersebut, Walikota Surabaya Tri Rismaharini mendatangi satu persatu keluarga. Dia sibuk mondar-mandir dan bergantian memeluk keluarga korban. “Semua hanya titipan, Pak. Semua titipan, Bapak yang sabar.”

Hingga tiba-tiba perempuan berjilbab itu mendekat pada kaca. Dengan bahasa isyarat dia memerintahkan kamera-kamera berhenti merekam suasana penuh duka tersebut.

Pintu posko akhirnya dibuka. Dari dalam ruangan itu keluar tandu-tandu berisi sejumlah kerabat yang lemas tak kuasa mendengar kabar pahit itu.

Di antara hiruk-pikuk tersebut, seorang pria berusia 60 tahun mengangkat tangannya menunjuk ke arah televisi. Detik itu, Witjaksono, nama pria tersebut, menyadari putranya Bhima Ali Wicaksono tak akan pulang ke rumah.

 “Saat aku melihat kepingan benda merah dan putih itu aku tahu, hidup anakku  telah berakhir,’’ ujar dia, seperti dikutip dari laman Telegraph.co.uk. “Saya membayangkan putraku berada di air seperti jasad itu.”

Meski pahit, Witjaksono masih bisa bersyukur. Setidaknya dia mendapatkan kepastian nasib putranya. Tak harus gamang antara harus berduka atau terus berharap.

Video: TNI Ajak Keluarga Korban ke Selat Karimata

3 dari 4 halaman

Petunjuk dan Sinyal HP

Petunjuk dan Sinyal HP

Minggu siang, 28 Desember 2014, beberapa jam setelah pesawat AirAsia QZ8501 resmi dinyatakan hilang pada pukul 07.55 WIB, pencarian burung besi jenis Airbus 320 itu dimulai. Badan SAR Nasional (Basarnas) mengirim 7 kapal pencari ke posisi untuk menyisir perairan antara Tanjung Pandan, Belitung, dan Pontianak, Kalimantan Barat.

TNI juga ikut mengerahkan 5 pesawat dan 3 KRI. Ditambah lagi dengan tambahan pesawat Hercules  dan helikopter Superduma. Sementara Polri tak diam saja. Lembaga pimpinan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman itu juga menerjunkan Regu Ditpolair Kalbar.

Hari berganti hari, pencarian terus berlanjut. Jumlah armada yang diturunkan, baik di laut dan udara juga bertambah banyak. Indonesia tak sendirian, sejumlah negara ikut turun tangan.

Hingga pada 29 Desember 2014 pagi, Basarnas memutuskan untuk memperluas lokasi pencarian. Salah satu  kapal Basarnas, kapal KN 224 yang berangkat dari Tanjung Priok, Jakarta Utara mengitari Selat Karimata yang diduga lokasi awal matinya sinyal pesawat dari maskapai milik Malaysia itu.

Kapal yang dipimpin Kapten Ahmad itu mulai menyisiri kawasan itu untuk mencari jejak avtur. Sementara pesawat intai TNI juga diminta untuk menyusuri lokasi tersebut.

Hari berikutnya, 30 Desember 2014, Kepala Basarnas Marsdya TNI Bambang Sulistyo mengaku mendapat informasi adanya 2 nelayan yang mengaku melihat dan mendengar dentuman di sekitar lokasi hilangnya AirAsia. Basarnas langsung menindaklanjuti informasi itu pada pencarian hari ketiga ini.

Beranjak siang, sekitar pukul 12.30 WIB, Kepolisian Perairan Polda Kepulauan Bangka Belitung menerima laporan penemuan serpihan benda berbentuk segi empat berwarna merah. Laporan itu disampaikan seorang nelayan asal Kecamatan Belinyu.

Hingga pada pukul 13.28 WIB, 10 serpihan di lokasi pencarian AirAsia QZ8501 di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah terlacak.  Pukul 14.48 WIB, pesawat AirAsia QZ8501 dipastikan telah ditemukan.

“Saya pastikan benda-benda itu adalah bagian dari pesawat yang kita cari (AirAsia QZ8501),” kata Kepala Basarnas Bambang Sulistyo di Kantor Basarnas, Kemayoran, Jakarta, Selasa 30 Desember 2015.

Dari Mabes Polri, Kapolri Jenderal Polisi Sutarman mengatakan, pelacakan lokasi AirAsia juga ikut dilakukan Polri. Mereka melacak jejak pesawat tersebut dengan mengaplikasikan strategi yang biasa digunakan untuk mengungkap kasus-kasus pidana. Caranya, dengan melacak sinyal handphone (HP) penumpang.

Di antara 162 orang yang ikut menumpang pesawat nahas tersebut, ada beberapa yang tak mematikan ponselnya. Sutarman mengatakan tim Informasi Teknologi (IT) Polri berhasil menangkap sinyal ponsel milik penumpang AirAsia QZ8501 melalui base transciever station (BTS).

“Kadang penumpang ada yang lupa (nonaktifkan). Kita minta penumpang yang megang HP siapa (untuk nonaktifkan). Kemudian saat dia bawa HP, mungkin lupa dimatikan. Kita ada beberapa nomor HP di antaranya itu ada di sini,” kata Sutarman 30 Desember 2014.

Namun lewat mulut Kadiv Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie, Polri menolak untuk membeberkan lebih jauh mekanisme pelacakan sinyal dari ponsel korban.

“Ini penyelidikan, kalau dijelaskan secara terbuka ketika mengungkap kasus-kasus pidana nanti diketahui orang banyak,” kata Sompie kepada Liputan6.com.

Sompie menyatakan, hasil analisa Polri tersebut langsung diserahkan kepada Basarnas saat itu juga. Cara ini, kata dia, juga bisa diterapkan pada kasus kecelakaan lain asalkan nomor ponsel masih hidup.

“Kalau HP-nya ada batasannya, mungkin ketika pesawat sudah masuk ke dalam air, apakah dalam keadaan masih bisa terlacak itu saya belum tahu,” aku dia.

Kini sepekan lebih sudah sejak AirAsia menghilang. Basarnas telah memastikan titik tempat badan pesawat nahas berada di kedalaman 30 meter Selat Karimata. Hingga detik ini sudah ada 5 objek besar pesawat yang terdeteksi.

Pesawat yang dipiloti Kapten Iriyanto itu diduga hilang usai melakukan kontak terakhir dengan Air Traffic Controller (ATC) Bandara Internasional Soekarno-Hatta di titik koordinat 03,22.46 Lintang Selatan (LS) dan 108,50.07 Bujur Timur (BT) atau di sekitar perairan Laut Jawa bagian utara dekat Selat Karimata.

Namun belum ada satu pun objek yang berhasil diangkat dari kedalaman laut. Bukan hal mudah untuk mengevakuasi bangkai pesawat yang berada di dasar laut. Para penyelam akan mengalami kesulitan dalam melakukan pencarian lantaran kondisi penglihatan yang minim. Meski ada alat yang mampu melacak sinyal sonar di dasar laut.

Karena itu, Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI FH Bambang Soelistyo mengungkapkan, pihaknya membutuhkan kapsul selam berawak. Alat berbentuk kapal selam mini seperti kapsul ini, kata dia, hanya dibawa oleh Rusia. Namun kapsul milik Rusia tak bisa diawaki manusia, hanya mampu digerakkan dari jarak jauh. Sementara, Basarnas ingin kapsul yang bisa dikendarai.

"Ada yang manned (berawak) ada yang unmanned (tidak berawak). Saya butuh yang manned, supaya rescuer (penyelamat) kita itu nyetir kapal selam kecil di dalam," jelas Bambang, 5 Januari 2014.

Untuk mengevakuasi  bangkai pesawat ini, tim SAR gabungan unsur udara diperintahkan melakukan penyisiran dari atas permukaan air di 4 area operasi. Komandan Pangkalan Udara (Lanud) TNI Angktan Udara Letnan Kolonel Penerbang Johnson Simatupang mengatakan, pesawat dan helikopter akan terbang rendah di bawah 5 ribu kaki.

"Kita sudah dapatkan perintah operasi dari Basarnas. Seluruh penerbangan akan berada di bawah 5.000 feet," kata Johnson di Lanud Iskandar, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Senin (5/1/2015).

Area I, kata Johnson, akan disisir oleh Boeing 737 yang kemungkinan akan membawa Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan rombongan. Kemudian area II, menjadi sasaran pesawat pengintai P-RC Orion KN-0 milik Korea Selatan.

Area III, jadi wilayah pencarian Pesawat BE-200-CS milik Rusia. Sedangkan area IV, menjadi daerah pencarian Helikopter Sea Hawk milik Amerika Serikat.

Johnson menjelaskan, Pesawat CN 295 milik TNI AU juga ikut ambil bagian. Pesawat yang akan terbang dari Jakarta ini akan mengintai area I dan IV.

Sementara itu jumlah jenazah yang ditemukan tim Basarnas hingga hari ke-9 ini mencapai 37. Semua jenazah telah diberangkatkan ke Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur.

Video: Basarnas Kerahkan Kekuatan Penuh

4 dari 4 halaman

Pujian Dunia

Pujian Dunia

Dalam 3 hari, jenazah sekaligus lokasi kepingan-kepingan AirAsia sudah berhasil terlacak. Ini merupakan salah satu proses pencarian tercepat. Para tim SAR juga terus berupaya meski harus bertaruh nyawa menghadapi cuaca buruk serta gelombang tinggi laut di Selat Karimata.

Kisah hebatnya tim SAR kita pun sampai ke telinga internasional. Maka tak heran jika Indonesia diacungi jempol oleh dunia.

"Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi bencana. Mereka sangat andal dalam investigasi kecelakaan," kata pengamat dan ahli penerbangan internasional Greg Waldron dalam Wall Street Journal pada Rabu 31 Desember 2014.

Menurut dia, Basarnas telah melancarkan aksi pencarian yang ekstra cepat hingga berhasil menemukan puing pesawat AirAsia dan jenazah penumpang dalam waktu yang terbilang singkat. Kendati, cuaca buruk menghambat langkah mereka.

Analis penerbangan, Will Ripley juga ikut bersuara. Dia menilai, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah yang tepat dalam menangani keluarga penumpang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.