Sukses

Ketika Korban Tsunami Aceh Mendadak Jadi Insinyur Air

Dahlan berasal dari Lhoknga, Aceh Besar, daerah terparah dihantam gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.

Liputan6.com, Aceh Besar - Pantai Lampuuk terkenal dengan pesona pasir putih nan eksotis. Namun 10 tahun lalu bencana tsunami yang didahului gempa berkekuatan 9,1 skala Richter turut menghancurkan keindahan pantai di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar di provinsi paling ujung barat Indonesia tersebut. Pun demikian permukiman warga di sekitar pantai, hancur lebur diterjang gelombang tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.

Kala itu petaka dari laut menerjang pada Minggu tepat pukul 07.58 WIB. Keganasan tsunami menggulung pesisir sepanjang Banda Aceh hingga Meulaboh. Gelombang laut setinggi lebih dari 30 meter itu berdampak pula ke 14 negara, menewaskan 230.000 orang dengan lebih dari separuhnya korban asal Aceh atau Serambi Mekah.

Ketika tsunami mulai menghantam bibir pantai, seluruh warga Lhoknga langsung menyelamatkan diri. Sebagian menggunakan kendaraan bermotor, namun banyak pula warga hanya mengandalkan kaki mereka untuk berlari menghindari terjangan gelombang laut dahsyat tersebut. Mereka semua menuju bukit atau dataran yang lebih tinggi.

Istri dan Anak Digulung Tsunami



"Saya kehilangan istri dan 2 anak saat tsunami. Kami melarikan diri dengan menggunakan 2 sepeda motor. Saya berada di depan dengan 1 anak, sedangkan istri saya berada di belakang dengan 2 anak kami yang lain. Namun gulungan gelombang akhirnya menyapu istri dan kedua anak saya tersebut," tutur Dahlan kepada Oxfam, seperti Liputan6.com kutip, Selasa (23/12/2014).

Kehilangan istri dan kedua anak tercinta saat tsunami jelas menorehkan duka mendalam pada pria asal Lambaro, Lhoknga, tersebut. Namun Dahlan tak larut dalam kesedihan berkepanjangan.

"Saya bersama anak kemudian memilih tinggal di bukit selama 2 tahun, sembari menunggu wilayah Lampuuk kembali dibangun," ucap Dahlan.

"Semua daerah permukiman di Lampuuk hancur lebur," imbuh dia.

Lampuuk adalah daerah terparah dihantam gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Kehancuran terlihat di mana-mana. Seluruh rumah warga rata dengan tanah. Dan satu-satunya bangunan yang masih kokoh berdiri di Lampuuk setelah terjangan tsunami adalah Masjid Rahmatullah.

Membangun Kembali Lampuuk



Tak hanya rumah penduduk, seluruh prasarana umum dan infrastruktur di Lampuuk hancur lebur. Namun usai bencana, warga 5 desa di Kecamatan Lhoknga cepat bangkit.

Dengan dibantu kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal maupun organisasi nirlaba asing seperti Oxfam, mereka merekonstruksi atau membangun kembali Lampuuk.

Awalnya, menurut Dahlan, warga merelakan sebagian tanah mereka terpangkas proyek jalan baru.

"Warga memang kehilangan sebagian tanah karena adanya proyek jalan, tapi mereka kemudian diberi lebih banyak tanah di belakang rumah masing-masing," papar Dahlan.

Tak hanya pembangunan jalan dan rumah, warga 5 desa di Lhoknga juga harus memikirkan ketersediaan air bersih. Mereka kemudian sepakat membentuk Komite Air.

Insinyur Air



"Setiap desa memiliki Komite Air. Saya adalah insinyur air untuk Desa Lambaro. Selanjutnya, kami bekerja sama dengan Oxfam untuk mengatur sistemnya," jelas Dahlan.

Dahlan menuturkan, sistem pengaliran gravitasi untuk menyalurkan air ke setiap rumah yang memiliki kolam penampungan. Kini, ada 720 rumah baru yang telah dibangun di 5 desa di Lampuuk.

"Saya melakukan apa pun yang diperlukan untuk menjaga sistem penyaluran air tersebut. Saya bekerja dengan 4 insinyur lain untuk memastikan kolam penampungan air bersih dan pipa tidak tertimbun lumpur."

Namun ia mengatakan fungsi sebagai insinyur air tersebut bukan pekerjaan penuh waktu. "Saya seorang petani dan nelayan juga. Saya tidak dibayar dan bekerja sukarela. Hanya saja keberlangsungan sistem tersebut bergantung sumbangan dari masyarakat."

Menurut Dahlan, setiap keluarga membayar iuran air disesuaikan dengan kemampuan keuangan masing-masing. "Uang iuran itu untuk menutupi biaya operasional, bahan bakar, peralatan, dan menjalankan Komite Air."

Sistem pengaliran gravitasi bukan tanpa kendala, terutama saat musim kemarau. "(Namun) Kami memiliki banyak pelatihan dari Oxfam untuk belajar bagaimana mengelola dan memelihara seluruh sistem," pungkas Dahlan.

Peduli Korban Tsunami



Dahlan adalah salah satu korban tsunami Aceh yang dibantu Oxfam. Organisasi nirlaba dari Inggris ini bekerja sama dengan mitra lainnya turut membantu mengurangi penderitaan korban bencana tsunami pada 26 Desember 2004.

Secara global, Oxfam menerima donasi sebesar US$ 294 juta atau sekitar Rp 3,65 triliun yang 90% berasal dari pendonor swasta dalam bulan pertama. Dengan dana itu Oxfam mampu memberikan bantuan di Indonesia, Sri Lanka, India, Maladewa, Thailand, dan Somalia.

Oxfam International Executive Director, Winnie Byanyima, mengatakan apa yang dicapai dalam respons kemanusiaan atas bencana tsunami tidak akan mungkin dicapai tanpa solidaritas dan kemurahan hati para penduduk di dunia. "Ratusan ribu orang dapat membangun kembali kehidupan mereka dengan kebanggaan," kata Byanyima dalam keterangan tertulis, Kamis 18 Desember 2014.

Dalam rentang 2004-2009, Oxfam dan para mitranya telah menolong sekitar 2,5 juta orang. Oxfam membangun tempat perlindungan, menyediakan selimut, air bersih kepada lebih dari 40 ribu orang segera setelah bencana tsunami Aceh terjadi. Oxfam dan mitranya juga membangun sekitar 11.000 sumur dan sistem pengairan kota untuk 10 ribu penduduk di Aceh yang hingga kini masih berjalan dikelola oleh relawan setempat. (Oxfam/Suzi O Keefe/Kredit Foto: Jim Holmes/Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.