Sukses

Catatan Sinta Gus Dur Terkait Kekerasan Terhadap Perempuan

Selama 86 tahun Hari Ibu diperingati, kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan masih berlangsung.

Liputan6.com, Jakarta - Hari Ibu memasuki tahun ke-86. Namun Ketua Pelapor Khusus Komisi Nasional Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi dalam konteks Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama, Sinta Nuriyah Wahid membeberkan hasil temuannya terkait diskriminasi dan kekerasan yang dialami kaum perempuan.

Istri mendiang Presiden ke-4 RI Gus Dur itu mengungkap, kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan khususnya pada konflik antaragama hingga kini masih berlangsung. Sedikitnya ada sekitar 301 korban dari perempuan yang mengalami kekerasan dan diskriminasi.

"Kekerasan yang dialami perempuan bukan saja kekerasan psikis, tetapi fisik, ekomoni, dan kekerasan seksual," kata Sinta di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (22/12/2014).

Dia menambahkan, konflik-konflik bernuansa agama kerap kali menimbulkan trauma yang panjang bagi korban termasuk bagi kalangan ibu dan anak-anak. Dijelaskannya, kaum perempuan dari kelompok Ahmadiyah tercatat paling banyak menjadi korban kekerasan yakni sekitar 46 orang, kelompok Gereja tercatat diurutan kedua dengan korban mencapai 33 orang, sementara untuk kalangan Syiah 15 orang, Baha'i 6 orang dan kaum minoritas lain sebanyak 2 orang.

"Faktor kekerasan yang paling mengalami, paling merasakan adalah kaum perempuan, dari yang kebanyakan orang bayangkan selama ini," tutur Sinta.

Pemantauan yang dilakukan Pelapor khusus ini dilaksanakan pada Juni 2012 hingga Juni 2013 di 12 provinsi dan 40 kabupaten atau kota di Indonesia. Untuk penggalian data dan informasi sendiri, dilakukan menggunakan metode kualitatif dan wawancara mendalam kepada 326 perempuan yang menjadi korban dan anggota komunitas korban. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini