Sukses

Mendagri: Soal Pembubaran FPI Harus Hati-Hati

Menurut Mendagri Tjahjo, permintaan seseorang tak bisa menjadi alasan pembubaran FPI.

Liputan6.com, Jakarta - Wacana pembubaran ormas Front Pembela Islam (FPI) semakin mengemuka setelah Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengirimkan surat permintaan dibubarkannya ormas pimpinan Habib Rizieq itu.

Meski demikian, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan akan hati-hati dalam menangani masalah tersebut. Ia menilai perlu kecermatan.

"Masalah FPI itu kan kita harus hati-hati melihat kejadiannya. Kita minta waktu untuk menelusuri dulu," ujar Tjahjo di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (12/11/2014).

Menurut Tjahjo, permintaan seorang bukan menjadi alasan pembubaran FPI. Karena bisa jadi, ada ribuan lainnya yang tak menghendaki FPI dibubarkan.

"Kan ini ibarat satu orang tak suka, tapi ada seribu orang yang suka. Nah di situ kita harus berhati-hati. Dalam arti, dipelajari dulu masalahnya," jelas dia.

Ahok sebelumnya mengirimkan surat permohonan pembubaran Front Pembela Islam (FPI) kepada Kementerian Hukum dan HAM Selasa 11 November 2014. Surat tersebut dikirimkan petugas pemerintah Pemprov DKI Jakarta.

Dalam surat bernomor 2513/-072.25 tersebut, Pemprov DKI Jakarta meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menindaklanjuti permohonan pembubaran FPI. Jika, FPI sudah berbadan hukum.

Pasalnya, berdasarkan pasal 70 ayat 1 UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, pembubaran ormas bisa diajukan ke Pengadilan Negeri oleh Kejaksaan. Hanya atas permintaan tertulis dari Menkum HAM.

Dalam surat tersebut, Ahok mengatakan FPI sering melakukan tindakan demonstrasi anarkis, menyebarkan kebencian dan menghalangi pelantikan gubernur, menimbulkan kemacetan lalu lintas, serta melanggar konstitusi.

Padahal, dalam Pasal 59 dalam UU tersebut, aktivitas Ormas diatur untuk tidak: (a) melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; (b)  melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.

Serta, tidak (c) melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI; (d) melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau (e) melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini