Sukses

Gebrakan Jokowi Memotong Rantai Mafia Migas

Selain menaikkan harga BBM, Jokowi membuat gebrakan dengan cara membeli minyak langsung dari produsen. Tanpa perantara.

Liputan6.com, Jakarta - Selain menaikkan harga BBM Subsidi, satu lagi gebrakan yang dilakukan Jokowi untuk memperbaiki sektor minyak dan gas (migas) di Indonesia. Gebrakan pertama dengan menjalin kerja sama migas dengan Angola, sebuah negara di Afrika.

Kerja sama tersebut dilakukan antara PT Pertamina (Persero) dengan‎ perusahaan nasional Angola, Sonangol EP.

Menurut Jokowi, kerja sama tersebut akan menciptakan efisiensi dalam impor BBM. "Bisa efisien karena minyak langsung ambil dari produksi, dan produsennya yaitu perusahaan nasional di Angola," papar Jokowi.

Dalam hitungan Kementerian ESDM dan Pertamina, penghematan yang bisa didapat sekitar Rp 11 triliun per tahun (asumsi kurs Rp 12.082 per dolar Amerika Serikat). "Hitungan kami kalau dapat 100 ribu barel sehari bisa menghemat sekitar US$ 2,5 juta dolar," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said di Istana Kepresidenan, minggu lalu.

Menurut sumber liputan6.com, upaya impor langsung BBM dari Angola merupakan gerakan cepat Jokowi memotong mafia migas. "Jokowi langsung kontak Presiden Angola dan ternyata direspons baik oleh Angola. Indonesia bisa impor langsung tanpa melalui broker," ujar sumber tersebut.
 
Selain Angola, Jokowi juga sedang mencoba menjalin kerja sama migas dengan Rusia. Menurut Sudirman, sebenarnya perusahaan migas asal Rusia telah menawarkan untuk memasok minyak ke Indonesia. "Jokowi juga langsung hubungi Rusia untuk impor BBM langsung," ujar sumber liputan6.com.

Nantinya, tutur sumber tersebut, BBM yang dari Rusia untuk keperluan jangka panjang. "Jadi yang impor dari Singapura kita tidak akan tutup. Tapi akan kita pakai sebagai strategi untuk keperluan jangka pendek. Untuk fleksibilitas".

Sedangkan untuk aspek security atau pengamanan pasokan energi nasional akan dipakai stok BBM dari Angola dan Rusia. "Bagaimanapun untuk kedaulatan energi, tidak mungkin selalu tergantung pada pemasok atau trader tertentu. Kita harus punya pasokan alternatif yang lebih murah.   
 
Untuk pembicaraan lebih lanjut antara Indonesia dengan Rusia tersebut kemungkinan besar akan dilakukan pada pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)  pada 7 hingga 11 November mendatang di China. "Jokowi akan bertemu PM Rusia Vladimir Putin [Foto di bawah] untuk membahas soal ini," ungkap sumber tersebut.

 


 
Sebenarnya banyak produsen minyak dan BBM global berkeinginan memasok secara langsung ke Indonesia. "Kita adalah market yang luar biasa," katanya. Hanya, selama ini, kegiatan perdagangan minyak tersebut sering disalahgunakan. "Kalau kita punya security of supply yang besar, maka akan baik ke depannya," ujarnya.
 
Tawaran tersebut sesuai rencana pemerintah ke depan yang akan lebih mencari minyak mentah dan BBM secara langsung dari sumbernya atau tanpa melalui perantara (trader dan broker) sehingga lebih efisien dan terhindar dari mafia migas.

Pengamat migas dari ReforMiner Institute, Komaidi menambahkan, perbaikan sektor migas juga harus dilakukan dengan menambah kilang minyak. Sejak jaman Presiden Soeharto, jumlah kilang minyak di Tanah Air tidak bertambah. Bahkan beberapa kilang merupakan warisan zaman Belanda.

Saat ini jumlah kilang minyak yang ada di Indonesia hanya ada enam yaitu Kilang Dumai, Kilang plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong. Semua kilang tersebut dimiliki oleh Pertamina. terakhir, perusahaan pelat merah tersebut membangun kilang Balongan.

Semua kilang tersebut hanya mampu memproduksi minyak sebanyak 700 ribu bph hingga 800 ribu bph. Sementara, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia saat ini mencapai 1,5 juta bph hingga 1,6 juta bph dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kenapa Kilang di Indonesia Tak Bertambah?

kilang Balongan diresmikan pada 1994 lalu. Jika dihitung, sudah 20 tahun Indonesia tidak menambah jumlah kilang minyak.  Sedangkan kebutuhan energi di Indonesia terus bertambah. Menurut sumber liputan6.com, pembangunan kilang mandek sejak zaman Soeharto karena biaya investasi yang dibutuhkan untuk membangunnya besar namun Internal rate of return (IRR) kecil yaitu hanya sekitar 6 persen saja.

Bayangkan, untuk membangun sebuah kilang minyak dengan kapasitas 300 ribu barel per hari, dibutuhkan dana kurang lebih Rp 90 triliun. Dengan dana yang cukup tinggi, keuntungan yang didapat hanya sekitar 6 persen hingga 8 persen saja. Oleh sebab itu, tak banyak pihak yang mau membangun sebuah kilang.

Komaidi menambahkan, karena nilai keuntungan yang kecil tersebut, seharusnya pemerintah harus langsung turun tangan. Pemerintah harus mempunyai inisiatif untuk membangun kilang minyak. "Tetapi karena kebutuhan di bidang lainnya dinilai lebih mendasak dibanding dengan membangun sebuah kilang, maka tak ada dana yang dialokasikan," ungkapnya.

Dalam anggaran pemerintah, jika ada dana berlebih kebanyakan dialokasikan ke bidang lain seperti kesehatan dan pendidikan. Bahkan, pemerintah lebih rela untuk memberikan subsidi energi dibanding dengan membangun kilang. Karena sudah terlalu keenakan, maka banyak yang lupa bahwa ada kewajiban untuk membangun kilang.

Selain itu, pemerintah sebenarnya juga bisa menggandeng pihak swasta untuk membangun sebuah kilang minyak. "Hal tersebut pernah dicoba tetapi selalu gagal mencapai kesepakatan," jelas komaidi.

Gagalnya kesepakatan tersebut karena biasanya pihak swasta selalu meminta embel-embel yang tidak bisa diterima oleh pemerintah. Karena keuntungan dari berbisnis kilang sangat kecil, maka pihak swasta meminta berbagai keringanan seperti pembebasan pajak, pemberian cost recovery, pasokan minyak dari pihak swasta tersebut dan berbagai hal lainnya.

Nasib Petral?

Sementara itu, Sudirman Said [Foto di atas] menyatakan, PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) tidak harus dibubarkan dalam masa pemeirntahan Presiden Joko Widodo karena pemerintah lebih akan meningkatkan pengawasan ‎terhadap anak usaha Pertamina itu.

Petral sering dituding sebagai sarang mafia migas sehingga berbagai kalangan minta agar anak usaha PT Pertamina (Persero) itu dibubarkan.

"Petral itu tidak harus dibubarkan, tapi kontrolnya harus dapat yang berpihak ke nasional," kata Sudirman di Kafe Pisa, Jakarta, Sabtu 1 November 2014.

Sudirman menjelaskan, 100 persen saham Petral adalah milik Pertamina. Pemerintah akan melakukan pengkajian kepada Pertamina dalam hal manajemen pengawasan Petral.

‎"Jadi kalau manajemen Pertamina baik, Komisaris Pertamina baik, Petral juga baik. Petral ini suatu industri strategis bagi Indonesia," jelasnya.

Sebagai perusahaan yang memiliki kantor di Singapura, Sudirman mengaku tidak masalah mengingat negara tetangga itu memiliki lokasi yang strategis dalam membangun bisnis‎. (Gdn/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.