Sukses

Pukat UGM Sayangkan Setya Novanto Jadi Ketua DPR

Setya dikaitkan pada beberapa kasus di antaranya dugaan suap pembangunan arena Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau.

Liputan6.com, Yogyakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM menyayangkan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR periode 2014-2019. Direktur Advokasi Pukat Oce Madril mengatakan, terpilihnya kader Partai Golkar ini sangat berisiko lantaran rekam jejak Setya yang dihubungkan dengan kasus korupsi.

"Menyayangkan ya, pilihan dia jadi Ketua DPR karena ada kemungkinan risiko hukum. Kemungkinan ini bukan tanpa alasan, karena dalam beberapa kasus dirinya disebut termasuk master mind. Pukat menyayangkan hal itu," ujar Oce di Yogyakarta, Jumat (3/10/2014).

Oce mengatakan, Setya dikaitkan pada beberapa kasus di antaranya dugaan suap pembangunan arena Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau tahun 2012-2013. Selain itu juga, kasus dugaan korupsi, gratifikasi dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Akil Mochtar.

"Agak berisiko dengan rekam jejak dari berbagai kasus yang didugakan terlibat. Paling jelas kasus Riau dengan Gubernur Riau Rusli Zainal yang juga politisi Golkar ada dugaan permainan anggaran di DPR," ujar pria kelahiran Payakumbuh itu.

Oce pun mendorong kasus yang mengaitkan Setya dapat segera diselesaikan. Ia mendorong KPK menaikkan status hukum Setya bila sudah memperoleh bukti yang cukup mengenai keterlibatan Bendahara Umum Golkar itu.

"KPK kalau sudah punya bukti cukup tidak perlu ragu ke tahap penyidikan itu jika alat bukti sudah cukup. Jika sudah cukup mengarah ke Setya, maka KPK berhak menaikkan status hukumnya. Kita saat ini menunggu langkah KPK. Kita akan ingatkan KPK karena kasus yang ditangani KPK kan banyak, jadi harus diingatkan," ujar Oce.

Sebelumnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyatakan sangat prihatin dan menyesalkan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR.

"Yang bersangkutan (Setya) punya potensi mempunyai masalah hukum. Bisa merusak Citra DPR sebagai lembaga terhormat‎," kata Abraham.

Setya sendiri tak mempersoalkan pihak-pihak yang merasa keberatan tersebut. Bendahara Umum Partai Golkar itu menerima semua kritikan yang ditujukan untuknya.

"Ya, nggak masalah kan kalau dikritik-kritik begitu. Kita harus menerima segala kritikan baik dan buruk," kata Setya di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (3/10/2014).

Ia mengatakan, semua kritikan yang ia terima akan menjadi bahan pembelajaran untuk selalu mengevaluasi kinerjanya, baik secara pribadi maupun lembaga.

"Tentu semua kritikan ini akan menjadi suatu evaluasi untuk menjadikan suatu yang baik. Kalau memang ada suatu kelemahan-kelemahan terhadap pimpinan ya kita perbaiki untuk kinerja kita," ujar Setya.

Akrab Kasus Hukum

Setya Novanto kerap berurusan dengan hukum. Ia telah beberapa kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau oleh KPK. Kasus ini menjerat mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga kader Partai Golkar.

Sebelumnya, Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin juga menyebut Setya bersama mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP.‎ Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR.

Pada suatu kesempatan Setya membantah Nazaruddin. Dia mengaku tidak pernah tahu dan tidak pernah ikut campur dalam proyek e-KTP. "Dia (Nazaruddin) bohong," ujar Setya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis 24 April 2014.

Jauh sebelum itu, tepatnya pada tahun 1999, nama Setya disebut dalam kasus korupsi pengalihan tagihan (cessie) Bank Bali. Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian cessie ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Setya adalah Direktur Utama PT Era Giat Prima ketika itu.‎

Pengadilan pun menganggap ada tindak pidana korupsi dalam cessie Bank Bali. Gubernur Bank Indonesia saat itu, Syahrir Sabirin dan petinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pande Lubis menerima hukuman penjara karena dinilai Majelis Hakim terbukti bersalah atas kasus itu. Mereka dianggap menyalahgunakan wewenang dengan mencairkan klaim tagihan Bank Bali kepada BDNI. (Sss)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.