Sukses

5 Kejanggalan Kasus Anas Urbaningrum Versi Pengacara

Satu di antaranya menurut kuasa hukum, penyidik yang memeriksa Anas Urbaningrum berjumlah 25 orang.

Liputan6.com, Jakarta - Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) menggelar diskusi terhadap putusan pidana Anas Urbaningrum. Pengacara Anas, Firman Wijaya yang hadir sebagai narasumber, membeberkan kejanggalan-kejanggalan yang dialami kliennya.

Berikut 5 Kejanggalan Kasus Anas Urbaningrum yang dikemukakan kuasa hukumnya, Firman Wijayadi, di KAHMI Center, Jakarta, Selasa (30/9/2014).

1. Sprindik Bocor

"Pertama itu soal sprindik. Hukum yang baik nggak berlaku pada orang lain tapi pada dirinya sendiri. Ketika ada persoalan kredibilitas ditemukan, saya minta Ketua KPK dibuka alat komunikasinya. Lalu dilemparkan pada personel yang tidak berotoritas dan seolah hal itu selesai," terang Firman.

2. Penggeledahan dan Perampasan Paspor

Setelah sprindik bocor, imbuh Firman, kejanggalan lain yang diterima mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu adalah penggeledahan dan perampasan paspor. Menurut Firman, kliennya telah dicekal sehingga paspor dipegang Anas pun tidak dapat digunakan.

>>Next>>

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

3. 25 Penyidik


3. 25 Penyidik

Selanjutnya, jumlah penyidik yang berbeda dengan tersangka korupsi lainnya. Firman mengungkapkan penyidik yang memeriksa Anas berjumlah puluhan orang.

"Saya rasakan betul penyidik pada tersangka lain, hanya 5-6. Mas Anas diurus 25 penyidik. Saya sempat tanya buat apa penyidik sebanyak itu," tutur dia.

4. Dijerat Banyak Kasus

Berlanjut di masa persidangan, Firman menuturkan Anas kurang diberi ruang untuk membela diri.  Bahkan terkesan Jaksa KPK memindahkan kasus-kasus untuk menjerat Anas.

Bahan yang digunakan untuk mendakwa Anas bermula dari proyek Hambalang. Namun, Firman menjelaskan hal itu langsung terbantahkan karena tidak ada satu pun dokumen yang secara eksplisit menyebut keterlibatan Anas.

"Tiba-tiba Mas Anas kena kasus Hambalang. Secara dokumen dan proses tidak terlibat. Tidak ada dokumen satu pun tertulis nama Anas Urbaningrum. Pasti ada catatan di dokumen sedikit apa pun kalau terlibat," ungkap dia.

"Setelah konstruksi Hambalang goyah, lari ke Kongres (Kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010). Saya minta dihadirkan struktur kelembagaan, karena kongres bukan personal. Untuk pemenangan, apakah calon lain tidak mau menang atau hanya Anas seorang yang mau menang. Menyasar Pasal 11 dan Pasal 12, itu kena ke penyelenggara negara. Satu menteri dan satu Ketua DPR," terang Firman.

>>Next>>

 

3 dari 3 halaman

5. Dianggap Ambisius Jadi Capres

5. Dianggap Ambisius Jadi Capres

Kemudian, Anas juga sempat didakwa mau jadi calon presiden. Firman membenarkan hal itu tapi substansinya adalah hal itu merupakan doa keluarga bagi Anas.

"Lalu dakwaan jadi calon presiden, awalnya kami nggak tahu SMS (pesan singkat) yang mana. Itu SMS salah satu keluarga, doa jadi presiden bisa jadi tindak pidana korupsi. Saya gali motifnya, kalau mau gunakan itu untuk cabut hak politiknya, itu pakai logika kesewenangan. Apakah selama Mas Anas didakwa apa, korupsi atau hal lain," ungkap Firman.

Dari kejanggalan-kejanggalan ini, Firman menuturkan mencari keadilan sejatinya tidak hanya di ruang pengadilan saja. "Mencari keadilan tidak hanya di ruang pengadilan. Pertemuan hari ini sangat tepat. Yang terbaik bicarakan kasus dengan segala kontroversinya," tandas Firman.

Vonis Anas

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta dalam kasus dugaan menerima gratifikasi terkait proyek Hambalang dan proyek-proyek lain, serta kasus pencucian uang.

Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta agar Anas dihukum 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan subsider 5 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut agar majelis hakim mencabut hak politik Anas namun yak dipenuhi hakim.

Dalam sidang vonis yang berlangsung di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu 24 September 2014, hakim juga menuntut mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu membayar ganti rugi kepada negara.

"Menghukum terdakwa Anas Urbaningrum untuk membayar uang biaya pergantian kerugian negara sebesar Rp 57.590.330.580 dan US$ 5.261.070 dengan ketentuan apabila terdakwa tak membayar uang tersebut dalam waktu 1 bulan, sesudah putusan pengadilan ini memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh JPU dan dilelang," ucap majelis hakim.

Disebutkan oleh hakim, jika Anas Urbaningrum tak memiliki harta untuk mengganti uang tersebut, maka mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum ini akan dikenai hukuman pidana penjara tambahan 2 tahun. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.