Sukses

Walk Out Demokrat Berujung Pilkada Tak Langsung

DPR menerima RUU Pilkada yang artinya pilkada dalam waktu ke depan akan dilaksanakan melalui DPRD atau tidak langsung.

Liputan6.com, Jakarta - Sidang paripurna pembahasan tingkat II Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di DPR telah berakhir dengan proses voting terbuka. Hasilnya, DPR menerima RUU Pilkada yang artinya pilkada dalam waktu ke depan akan dilaksanakan melalui DPRD atau tidak langsung.

"Rapat Paripurna memutuskan pilihan melalui DPRD," Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso selaku Pimpinan Sidang Paripurna di Gedung DPR, Jumat (26/9/2014) dini hari.

Dalam voting, ada 2 opsi yang ditetapkan pimpinan DPR, yakni tetap pilkada langsung oleh rakyat atau pilkada melalui DPRD. Hasilnya, dari 361 total anggota DPR yang masih bertahan, sebanyak 135 anggota DPR memilih untuk pilkada langsung, sedangkan 226 anggota DPR memilih pilkada oleh DPRD.

Secara rinci, pendukung pilkada langsung terdiri dari 88 anggota Fraksi PDIP, 20 anggota Fraksi PKB, 10 anggota Fraksi Hanura, dan 6 anggota Fraksi Demokrat. Sementara yang memilih pilkada oleh DPRD terdiri atas 22 anggota Fraksi Gerindra, 73 anggota Fraksi Golkar, 44 anggota Fraksi PAN, 55 anggota Fraksi PKS, dan 32 anggota Fraksi PPP.

Sidang Paripurna yang membahas RUU Pilkada berlangsung alot dan sulit ditebak. Penuh dengan hujan interupsi. Sebagian besar anggota fraksi Partai Demokrat tiba-tiba walk out keluar Gedung DPR lantaran 10 usulan yang disampaikan dinilai tak digubris pimpinan rapat yang diketuai Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.

Demokrat sebelumnya memutuskan untuk mendukung pilkada langsung dengan catatan harus ada 10 perbaikan pada pelaksanaan pesta demokrasi oleh rakyat tersebut. Yakni melakukan uji publik atas integritas dan kompetensi calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota; efisiensi biaya pilkada harus dan mutlak dilakukan; pengaturan kampanye dan pembatasan kampanye terbuka; akuntabilitas penggunaan dana kampanye.

Kemudian, larangan politik uang dan sewa kendaraan partai, seperti kalau seseorang ingin maju dari partai A, bisa disebut mahar. Itu harus dilarang; larangan melakukan fitnah dan kampanye hitam; larangan pelibatan aparat birokrasi; larangan pencopotan aparat birokrasi usai pilkada; penyelesaian sengketa pilkada: pencegahan kekerasan dan tanggung jawab calon atas kepatuhan pendukungnya.

Dengan aksi walk out tersebut, suara voting dari 148 anggota Demokrat kandas. Maka posisi kubu koalisi partai pendukung pilkada melalui DPRD di atas kertas dibanding koalisi pendukung pilkada langsung oleh rakyat.

PDIP ke MK?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kemunduran Demokrasi


Pihak PDIP mengaku kecewa atas aksi walk out oleh Demokrat. Anggota Fraksi PDIP Yasona Laoly menilai sikap Demokrat untuk memilih pilkada langsung hanya sebuah pencitraan karena pada akhirnya memilih angkat kaki ketimbang voting untuk mendukung pilkada langsung.

"Lama kelamaan saya mulai curiga bahwa skenario cantik ini akhirnya berantakan. Jadi partai Demokrat memilih pilkada langsung itu hanya untuk mengambil hati rakyat, pencitraan!" imbuh Laoly.

Namun hal itu dibantah oleh anggkta Fraksi PD yang bertahan, Gede Pasek Suardika. Pasek meminta PDIP untuk tak kecewa. "Wajar dong kalau PD walk out karena PDIP kan juga sering walk out. Jadi tahu kan rasanya kecewa," kata loyalis Anas itu.

Ketua DPP PDIP Eva Kusuma Sundari sebelumnya mengatakan partai banteng moncong putih itu tak akan tinggal diam atas hasil voting yang memutuskan pilkada tidak langsung.

Anggota Komisi III DPR tersebut mengatakan pihaknya akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas keputusan tersebut.

"(Pilkada tak langsung disahkan) Ya kita ke MK lah. Dan saya yakin sama seperti MD3, tidak hanya PDI-P, tapi juga kelompok masyarakat lain. Sekarang Apeksi, Apkasi semua kan protes. Terus kelompok antikorupsi hari ini kan demo di DPR. Itu pasti juga akan mengajukan judicial review," ujar Eva Kusuma Sundari.

Dia meyakini peluang menang di MK sekitar 55%. Angka itu terbilang tak besar karena cara pilkada tidak langsung maupun langsung sama-sama dianggap konstitusional.

"Karena kita tahu putusan di MK sebelumnya yang menyatakan dua-duanya konstitusional, tinggal kemudian saksi ahli yang menentukan. Kajian psikologis juga diperlukan dan kajian konstitusional," ujar Eva.

Pro dan kontra sempat bergulir antara pihak yang mendukung pilkada langsung oleh rakyat dengan yang mendukung pilkada melalui DPRD.

Presiden terpilih Jokowi menilai pilkada melalui DPRD merupakan sebagai kemunduran berdemokrasi. Ini karena sangat berseberangan dengan perkembangan demokrasi yang saat ini sudah berjalan dengan baik.

"Ya mundur dong," ujar Jokowi usai menghadiri Kongres Pembangunan Desa di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Sabtu 6 September 2014.

Gubernur DKI yang lahir dari hasil pilkada langsung ini menambahkan, banyak celah yang terbuka dari aturan itu. Jika kepala daerah dipilih DPRD, tokoh pilihan rakyat yang benar-benar ingin bekerja untuk rakyat bisa saja tidak terpilih.

"Ya mungkin. Kalau pilihan rakyat yang nggak punya duit, bisa menang," ungkap Jokowi.

Sekretaris Fraksi PKB Abdul Kadir Karding juga menyatakan hal yang sama. Dia mengatakan, jangan sampai Indonesia berjalan mundur dalam menjalankan sistem demokrasi dengan memilih pilkada dikembalikan melalui DPRD. Sebab, pilkada langsung adalah hasil dari reformasi.

"Kita tidak boleh berjalan mundur karena kepentingan politik-politik kita. Kita harus menghormati banyak pihak yang berjuang untuk reformasi," ujar dia.

Sementara itu Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok menilai pilkada melalui DPRD akan menghasilkan praktik penyuapan terhadap oknum anggota dewan. "Oknum DPRD kaya semua. Nyogok-nyogok terus," ucap dia.

Selain itu, DPRD dinilainya akan dapat mempengaruhi kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan. Dan itu merupakan bagian dari sistem penjajahan. "Ya matilah," cetus pria bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama tersebut.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto juga berpendapat sistem pilkada tak langsung atau melalui DPRD seperti yang diusulkan Koalisi Merah Putih justru akan lebih berpotensi terjadi tindak pidana korupsi.

"Partai justru akan menjadi kontributor potensi korupsi yang paling signifikan dalam sistem pilkada tidak langsung, bila dibanding dengan langsung," ujar Bambang Widjojanto.

Bambang menilai, hal ini karena titik permasalahan korupsi terdapat pada tubuh partai politik yang dianggap menjadi hulunya. Sementara dalam parlemen, lingkup ini hanya menjadi hilir potensi terjadinya tindak pidana korupsi. "Secara umum masalah di parlemen adalah problem hilir karena masalah utama di hulunya adalah persoalan partai," tutur Bambang.

Jadi, jika sistem partai politik yang ada selama ini tidak dibenahi, maka kendaraan yang digunakan untuk pencalonan kepala daerah ini pasti akan selalu memiliki karakter koruptif. "Partai dan anggota dipastikan akan punya karakter koruptif dan kolusif bila tidak bisa membangun sistem yang transparan dan akuntabel di dalam partai," pungkas Bambang Widjojanto.

Politik Uang

Suara Koalisi Merah Putih pendukung pilkada melalui DPRD berjumlah 273 Jumlah itu terdiri dari Fraksi Partai Golkar memiliki 106  anggota, Fraksi PKS 57 anggota, Fraksi PPP memiliki 38 anggota, Fraksi PAN memiliki 46 anggota, dan Fraksi Partai Gerindra 26 anggota.

Saat menyampaikan pandangan fraksinya, politisi Partai Gerindra Rindoko Dahono Wingit mengatakan, pilkada langsung banyak menimbulkan persoalan seperti maraknya politik uang. "Sampai adanya slogan wani piro itu karena pilkada langsung. Seorang rakyat biasa menerima satu amplop itu biasa," kata Rindoko.

Menurut dia, jika ingin melakukan revolusi mental hendaknya dimulai dari mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah. "Kalau mau revolusi mental, itu sekarang untuk memberikan pendidikan politik. Rakyat diberi kesempatan menghapus money politics," tutur dia.

Anggota Komisi II DPR itu menjelaskan, digelarnya pilkada secara langsung telah membuat rakyat menjadi korban. Dia mencontohkan, pilkada langsung telah memicu konflik horizontal, uang rakyat yang dikorupsi oleh kepala daerah maupun biaya penyelenggaraan pilkada yang sangat tinggi. "Fraksi Gerindra pun berpendapat pemilihan (kepala daerah) yang cocok adalah dipilih secara perwakilan melalui DPRD. DPRD yang dipilih rakyat saat pemilihan umum," tandas Rindoko.

Hal senada disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa. Ketua Komisi II DPR itu menyebut, akibat adanya Pilkada langsung menimbulkan terjadinya permusuhan. Permusuhan yang terjadi, bukan lagi antarsuku, melainkan perpecahan dalam sebuah keluarga. "Terjadi perpecahan antarsuku, ada juga perpecahan dalam keluarga. Seperti suami-istri dan kakak-adik," kata Agun.

Menurut Anggota Fraksi PKS Komisi II DPR Jazuli Juwaini, salah satu pertimbangannya yakni adanya penghematan anggaran yang mungkin bisa digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti pembangunan rumah sakit dan lain sebagainya. Selain itu, Pilkada melalui DPRD juga tidak serta-merta merusak demokrasi di Indonesia.

"Kita akan solid dan kompak tetap pada putusan bahwa dipilih oleh DPRD, karena Pilkada tidak langsung juga tentu tidak mencederai demokrasi karena ada suara rakyat juga di situ," ujar Jazuli.

Tapi pada akhirnya demokrasi itu dikembalikan kepada rakyat. Pemimpin dipilih langsung dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini