Sukses

Gelar Demo, Ribuan Mahasiswa Hong Kong Boikot Kuliah Seminggu

Demo prodemokrasi besar-besaran rencananya akan digelar di Hong Kong pada 1 Oktober 2014 mendatang. Gerakan para mahasiswa hanya awalan.

Liputan6.com, Hong Kong - Mulai Senin ini, ribuan mahasiswa Hong Kong menggelar gerakan boikot selama seminggu penuh. Mereka tak menghadiri perkuliahan demi ikut demo. Para aktivis prodemokrasi menyebut, aksi tersebut memperkuat kampanye pembangkangan sipil terhadap kebijakan Beijing.

Tiongkok sebelumnya mengubah cara pemilihan pemimpin Hong Kong yang bergelar kepala eksekutif (chief executive).  Aturan baru menyebut, hanya para kandidat yang disetujui oleh panitia yang bisa mencalonkan diri. Perubahan sistem pemilihan itu memicu protes di bekas wilayah koloni Inggris itu.

"Ini adalah titik balik," kata Alex Chow, Ketua Federasi Mahasiswa Hong Kong, seperti dimuat Bangkok Post, Senin (22/9/2014). "Pemerintah harus menanggapi apa yang dianggap banyak orang Hong Kong sebagai sistem pemilu yang tidak adil."

Para mahasiswa menilai, keputusan China mendirikan komite atau panitia pemilihan untuk menyaring para kandidat tak sesuai dengan alam demokrasi yang dijanjikan pada Hong Kong, saat wilayah itu diserahkan kembali dari Inggris ke China pada 1997.

Ribuan mahasiswa dari sedikitnya 25 universitas dan perguruan tinggi akan ambil bagian dalam pemogokan selama seminggu. Untuk menyuarakan kemarahan mereka.

Tak hanya memboikot perkuliahan, para aktivis mahasiswa juga menyelenggarakan serangkaian demonstrasi dan kuliah umum di sebuah taman dekat kantor-kantor pemerintah.

Pada tahun 2012, mahasiswa ada di garis depan protes terhadap rencana pemerintah Hong Kong untuk melembagakan kurikulum "pendidikan nasional" yang dipandang  pro-China. Kala itu mereka berhasil. Entah kali ini.

Apapun, protes para anak kampus tersebut hanya awal dari demo prodemokrasi besar-besaran yang rencananya akan digelar 1 Oktober 2014 mendatang, oleh organisasi Occupy Central.

Inggris mengembalikan Hong Kong ke China pada 1997 di bawah skema "satu negara, dua sistem" -- kesepakatan yang memungkinkan rakyat Hong Kong menikmati kebebasan sipil yang tidak berlaku di daratan, termasuk kebebasan berbicara dan hak untuk protes.

Keputusan untuk mengubah cara Hong Kong memilih pemimpinnya, dikeluarkan di tengah kekhawatiran yang meningkat bahwa otonomi tersebut akan segera dihapus sama sekali. (Yus)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini