Sukses

Indonesia Darurat BBM

Jakarta dan Jawa akhirnya merasakan bagaimana susahnya membeli BBM bersubsidi seperti yang sudah lama dirasakan warga di luar Jawa.

Liputan6.com, Jakarta - Laporan: Arthur Gideon, Pebrianto Eko Wicaksono, Fiki Ariyanti, Septian Denny, Ilyas Istianur P, Achmad Dwi Afriyadi

 

Kelangkaan BBM sudah lama terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan hingga Papua. Masyarakat wilayah itu hampir setiap hari harus bersaing dalam antrean demi bisa membeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Sementara untuk wilayah Jakarta dan Pulau Jawa konsumen relatif gampang untuk mendapatkan BBM bersubsidi baik premium maupun solar.

Namun dalam minggu-minggu terakhir di bulan Agustus yakni 18-25 Agustus 2014, warga di Jakarta dan sebagian besar wilayah di Pulau Jawa akhirnya merasakan bagaimana susahnya membeli BBM bersubsidi dengan harus mengantre panjang dan lama. Kondisi yang sudah lama terjadi sebenarnya di wilayah luar Jawa dan Jakarta.

Seperti ada efek Jakarta Sentris, ribut-ribut soal kelangkaan BBM baru meledak setelah ibukota negara akhirnya mengalami kelangkaan bahan bakar minyak.

Begitulah yang terjadi saat ini. Demi mempertahankan batas kuota 46 juta kiloliter untuk stok selama setahun di 2014, pemerintah pusat rela membuat warganya se-Indonesia kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi ketimbang harus kembali ke stok semula 48 juta kiloliter. Stok 48 juta kiloliter adalah stok sebelum dilakukan pemangkasan kuota 2 juta kiloliter menjadi 46 juta kl yang telah disahkan dalam APBNP 2014.

Memang terlihat tidak rasional menetapkan kuota 46 juta kiloliter, sehingga muncul dugaan ada kepentingan politik bermain di sini. Bayangkan di tahun 2013 saja konsumsi BBM mencapai 46,34 juta kiloliter. Tentu dengan adanya pertumbuhan ekonomi, berat rasanya menyamakan kuota di tahun 2014 harus sama seperti kuota 2013.

Sebagai gambaran di 2013, kuota BBM semula ditetapkan sebesar 47,89 juta kl namun realitas konsumsinya sebesar 46,34 juta kiloliter. Lebih rendahnya konsumsi BBM di 2013 karena imbas kenaikan BBM pada Juni 2014.

Pemerintah pernah membuat hitung-hitungan bahwa dengan pertumbuhan 6 persen per tahun berarti akan ada pertumbuhan penggunaan BBM sebesar 9 persen. Itu artinya angka pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan besarnya konsumsi BBM.

Dalam kasus kelangkaan BBM ini, tentu saja pihak yang paling mendapat sorotan adalah Pertamina. Sebagai BUMN, Pertamina memang diharuskan menjadi perusahaan profit, tapi di sisi lain Pertamina juga mendapat amanah untuk tetap menyalurkan BBM bersubsidi.

Untungnya kelangkaan BBM di Jakarta dan Pulau Jawa tak perlu lama-lama, sejak terjadi kelangkaan yang puncaknya pada tanggal 23-25 Agustus, pada 26 Agustus Pertamina menormalkan kembali pasokan BBM atas perintah dari pemerintah.

Pertamina akhirnya menormalkan kembali pasokan BBM dengan risiko solar habis 5 Desember dan premium habis 20 Desember 2014. Setelah waktu itu maka Pertamina akan nombok memasok BBM dengan menalangi dulu dananya.

Di saat kondisi genting seperti ini, Pertamina justru harus kehilangan pemimpinnya. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan sudah resmi mengajukan pengunduran diri yang akan efektif berlaku per 1 Oktober 2014.

Sebenarnya apa yang membuat kelangkaan BBM ini meledak di semua wilayah Indonesia? Benarkah ada kepentingan politik dalam setiap kebijakan subsidi BBM? Kenapa pula Karen Agustiawan mundur saat negara terbelit kelangkaan BBM? Benarkah pemerintah incumbent sengaja membiarkan kelangkaan di masa transisi ini.

Berikut ulasan khusus kelangkaan BBM se-Indonesia yang sedang terjadi saat ini:   

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Akibat Kebijakan Pembatasan BBM

Akibat Kebijakan Pembatasan BBM

Seperti mata uang, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu memiliki dua sisi. Begitu pula yang terjadi dengan aturan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi yang dilakukan oleh pemerintah yang dieksekusi oleh PT Pertamina (Persero).

Di satu sisi, pembatasan penyaluran BBM bersubsidi baik untuk jenis solar maupun premium bisa mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menteri Keuangan Chatib Basri, mengaku penghematan anggaran dari pengurangan kuota BBM bersubsidi menjadi 46 juta kiloliter dari 48 juta kiloliter cukup besar. "Dari pengurangan volume 2 juta kiloliter dihitung akan menghemat sekitar Rp 7 triliun," ucapnya.

Namun di sisi lain, pengurangan kuota tersebut membuat kelangkaan BBM jenis premium dan solar di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Ibukota. Antrean pun mengular di SPBU yang masih menyediakan premium dan solar.

Hadi (28) salah satu pengendara motor mengatakan, bahwa dirinya mengaku sengaja ikut antre di salah satu SPBU di daerah Kemang, Jakarta Selatan, untuk mendapatkan premium.

"Pas pulang kantor memang bensin saya tinggal sedikit, saya sudah lewat dua SPBU, mereka antre juga, tapi memang tidak separah di sini. Kalau saya lewatkan di sini takutnya bensin di motor habis, karena kan jalan macet juga," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (25/8/2014).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Arif (31), pengendara motor lain yang juga ikut dalam antrean. Dia mengaku kaget dengan antrean panjang pada SPBU ini, padahal menurutnya jarang terjadi antrean pada SPBU tersebut.

"Kaget juga bisa antre sepanjang ini, biasanya di sini jarang antre. Saya juga tidak tahu kenapa. Mungkin yang lain takut kehabisan premium," jelasnya.

Tak hanya konsumen premium dan solar yang mendapat masalah akibat pengurangan kuota tersebut, pengusaha SPBU pun juga terkena dampaknya. [Baca Juga: [INFOGRAFIS] Kronologi Kelangkaan BBM]

Supervisor SPBU Bungur 3410604, Zahri kepada Liputan6.com, menjelaskan, SPBU yang berlokasi di Jakarta Pusat tersebut terkena peniadaan BBM jenis solar bersubsidi sejak awal Agustus 2014.

Dengan peniadaan jenis solar tersebut, SPBU yang ia kelola mengalami penurunan omzet. "Karena ditiadakan, makanya penjualan turun sampai 90 persennya," ujar dia seperti ditulis Selasa (26/8/2014).
 
Padahal, lokasi SPBU yang dikelola oleh Zahri sangat strategis karena berdekatan dengan Stasiun Kereta Api dan terminal Senen. Banyak trayek angkutan umum dari dan menuju ke arah tersebut sehingga SPBU-nya selalu ramai oleh kendaraan roda empat, roda tiga maupun roda dua.

3 dari 7 halaman

Di Majalengka, Premium Dibandrol 13 Ribu

Di Majalengka, Premium Dibandrol 13 Ribu

Kelangkaan di Jakarta tersebut sebenarnya cukup baik jika dibanding dengan daerah-daerah lain pulau Jawa. Di Yogyakarta, karena kelangkaan premium di SPBU, penjual premium eceran pun mengambil kesempatan.

Mursid Warga Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarya, mengatakan biasanya dirinya membeli bensin eceran di kawasan Balecatur, Yogyakarta, dengan harga Rp 7.000 per liter tapi kali ini bensin eceran dijual dengan harga Rp 8.000 per liter.

Salah satu penjual bensin eceran di Jalan Wates, Minah mengungkapkan, dirinya menaikkan harga premium per liternya dari Rp 7.000 menjadi Rp 8.000 karena susah mendapatkannya.

Dirinya harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkan premium. Bahkan ia juga ditolak petugas SPBU. Ia bahkan mendapati sesama penjual eceran menjual harga bensinnya sampai Rp 10 ribu.

"Susah banget dapatnya, susah dapat premium. Jadi ya gimana lagi susah dapatnya ya tidak mengapa kalau dinaikkan. Bahkan teman di Bantul jualnya sampai RP 10 ribu," katanya.

Keadaan di Majalengka lebih parah lagi. Premium sejak Sabtu 23 Agustus 2014 sudah mulai langka Baik di SPBU mau pun di pedagang eceran. Sempat pada Minggu 24 Agustus 2014, terdapat beberapa pedagang bensin eceran yang menjual premium namun harganya melonjak menjadi Rp 10 ribu sampai Rp 13 ribu.

SPBU Tegalsari Maja, Majalengka pun baru buka larut malam pukul 23.00. Itu pun hanya menyediakan Pertamax dengan batas maksimal pembelian Rp 25 ribu atau dua liter. Terpaksa warga pun membeli yang ada. Namun mereka mesti antre lama hingga lebih kurang sampai satu jam.

"Rakyat ini kalau pas pemilu dibutuhkan mereka (pejabat di DPR dan Presiden). Eh, setelah itu seperti sekarang ini diperas," ujar salah seorang warga yang lagi antre.

4 dari 7 halaman

Bos Pertamina Malah Mundur

BBM Langka, Bos Pertamina Malah Mundur

Sayangnya, di saat kritis seperti ini Pertamina justru harus kehilangan pimpinan. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan yang pertama kali mengungkapkan pengunduran diri Karen Agustiawan dari jabatannya Direktur Utama Pertamina pada 18 Agustus 2014. [Baca Juga: Karen Agustiawan Mundur dari Dirut Pertamina per 1 Oktober]

"Memang betul Dirut Pertamina mengundurkan diri," kata Dahlan di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (18/8/2014).

Dahlan mengaku, Karen sebenarnya sudah berkali-kali minta mundur dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Pertamina. Namun, Dahlan selalu menolak dan mempertahankan Karen mengingat kinerjanya yang sangat cemerlang.

"Kali ini saya tidak bisa mampu lagi menahan. Bu Karen saya nawar jangan dekat-dekat ini. Akhirnya Bu Karen setuju dan 1 Oktober berhenti," ungkap Dahlan.

Dalam selembar kertas, Karen mengungkapkan alasan mundur kepada para karyawannya. Menurut Karen, sudah saatnya dilakukan regenerasi dalam mengisi jabatan yang sudah ia emban selama lebih dari 6 tahun.

Pengamat minyak dan gas Kurtubi memberikan nilai merah kepada pengunduran diri Karen tersebut. Menurut dia, sangat tidak tepat orang nomor 1 di Pertamina tersebut mundur saat perusahaan plat merah ini masih memiliki banyak masalah.

"Sangat disayangkan, terutama saat Pertamina tengah menghadapi problem yang cukup berat," ujarnya. Masalah berat yang masih harus dihadapi Pertamina adalah menyangkut beban subsidi bahan bakar minyak (BBM), di mana APBNP 2014 membatasi kuota BBM hanya 46 juta kilo liter (kl).

"Kalau sampai kuota ini terlampaui maka negara tidak akan membayar kepada pertamina. Ini masalah yang cukup besar dihadapi Pertamina dalam beberapa bulan ke depan. Ada masalah seperti itu tapi dirutnya malah mengundurkan diri, ini sangat disayangkan," lanjut dia.

Menurut Kurtubi, paling tidak pengunduran diri Karen bisa menunggu pemerintah baru terbentuk. Hal ini pemerintah baru bisa mempertimbangkan siapa pengganti yang tepat.

5 dari 7 halaman

Saling Lempar Tanggung Jawab

Saling Lempar Tanggung Jawab

Permasalahan BBM saat ini pun menjadi komoditas politik. Masa transisi kepemimpinan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden terpilih Joko Widodo seharusnya bisa berjalan mulus. Kedua presiden seharusnya bisa berembuk dengan baik mengenai permasalahan tersebut.

Namun, para tim pendukung kedua presiden tersebut justru saling lempar komentar. Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Dolfie OFP menuding pemerintahan SBY sengaja menjebak pemerintahan baru untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015, anggaran subsidi BBM, bahan bakar nabati (BBN), LPG 3 kilogram (Kg) dan LGV sebesar Rp 291,11 triliun. Defisit anggaran mencapai 2,32 persen dari PDB. Secara keseluruhan, anggaran subsidi baik untuk energi dan non energi mencapai Rp 433,5 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani membantah tudingan tersebut. Menurutnya, proyeksi pagu anggaran pada RAPBN 2015 sesuai dengan kondisi makro di 2015.

"Sesama pemerintah nggak ada menjebak, karena kita ingin membawa kebaikan, nggak ada sedikit pun niat untuk menjebak. Mana ada pemerintah yang mau menjebak sesama pemerintah. Itu yang kita nilai nggak pas. Niatnya kan untuk rakyat dan bangsa, tinggal cara orang melihatnya saja," tegas dia.

Menurut Askolani, pemerintahan SBY akan tetap bertanggung jawab mengamankan fiskal yang sudah menjadi patokan dalam APBN-Perubahan 2014.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini menambahkan, pembatasan suplai BBM bersubsidi ini juga akan membuat inflasi meningkat, kondisi yang sama saat pemerintah mengurangi atau menghapuskan subsidi BBM.

"Dengan membatasi suplai, kalau saya yang itu nggak cocok. Pemangkasan suplai pasti meningkatkan inflasi meskipun tidak direncanakan dan didesain untuk kenaikan inflasi," ujarnya.‬

Meski demikian, menurutnya sangat tidak adil jika pemerintah mendatang dipaksa untuk menghapuskan subsidi BBM sehingga menyebabkan kenaikan inflasi yang akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.

6 dari 7 halaman

SBY, Presiden Paling Sering Naikkan BBM

SBY Pernah Naikkan BBM 4 Kali

Banyak pengamat melihat bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ingin menaikkan harga BBM karena ingin mengakhiri masa jabatannya dengan mulus. Ia tak ingin dikenang sebagai presiden yang membebani rakyat karena terus menerus menaikkan harga BBM. 

SBY telah beberapa kali menaikkan harga BBM subsidi. Tetapi beberapa kali juga ia menurunkan harga BBM Subsidi. Kenaikan harga pertama yang dilakukan Presiden SBY pada 1 Maret 2005, atau selang empat bulan dilantik pada 20 Oktober 2004.

Mungkin rekor tersebut akan dikalahkan oleh Joko Widodo nantinya. Jika SBY tidak menaikkan harga BBM, kemungkinan besar Joko Widodo akan langsung menaikkan BBM subsidi langsung setelah dilantik.

Mendekati pemilihan umum (Pemilu) 2009, SBY menurunkan harga BBM tiga kali dalam jeda waktu 1,5 bulan yaitu pada 1 Desember 2008, harga premium turun Rp 500 menjadi Rp 5.500, sedangkan harga solar tetap dibanderol Rp 5.500 per liter.

Nah, apakah strategi tersebut juga akan dilakukan pada masa pemerintahan Joko Widodo? Kita memang tidak tahu. Tetapi yang jelas, sejak pemerintahan Soeharto hingga SBY, semua presiden tersebut pernah melakukan perubahan harga BBM subsidi.

Berikut pergerakan harga BBM di Indonesia mulai tahun 1991-2013:

Presiden Soeharto

  • 1991: Rp 150 naik jadi Rp 550 per liter
  • 1993: Rp 550 naik jadi Rp 700 per liter
  • 1998: Rp 700 naik jadi Rp 1.200 per liter

Presiden BJ Habibie

  • 1998: Rp 1.200 turun ke Rp 1.000 per liter

Presiden Abdurrahman Wahid

  • 1999: Rp 1.000 turun jadi Rp 600 per liter
  • 2000: Rp 600 naik ke Rp 1.150 per liter
  • 2001: Rp 1.150 naik ke Rp 1.450 per liter

Presiden Megawati Soekarnoputri

  • 2002: Rp 1.450 naik jadi Rp 1.550 per liter
  • 2003: Rp 1.500 naik jadi Rp 1.810 per liter

Presiden SBY

  • 2005: Rp 1.810 naik jadi Rp 2.400 per liter
  • 2005: Rp 2.400 naik jadi Rp 4.500 per liter
  • 2008: Rp 4.500 naik jadi Rp 6.000 per liter
  • 2008: Rp 6.000 turun ke Rp 5.500 per liter
  • 2008: Rp 5.500 turun ke Rp 5.000 per liter
  • 2009: Rp 5.000 turun ke Rp 4.500 per liter
  • 2013: Rp 4.500 naik ke Rp 6.500 per liter

7 dari 7 halaman

Sampai Kapan BBM Langka?

Sampai Kapan BBM Langka?

Setelah terjadi antrean SPBU di berbagai daerah, Pertamina pun memutuskan untuk mengembalikan pasokan BBM subsidi ke jumlah yang normal. Direktur Pemasaran Niaga Pertamina, Hanung Budya menyatakan, atas instruksi pemerintah Pertamina menghentikan pengendalian sejak Selasa sore (27/8/2014).

Hanung menambahkan, dengan perintah tersebut Pertamina melakukan penyaluran 30 persen di atas konsumsi harian normal. "Menyalurkan 30 persen dari normal. Kalau normal 81 ribu," ungkapnya.

Setelah upaya normalisasi pasokan tersebut, Pertamina mengklaim bahwa hampir semua SPBU kini beroperasi normal tanpa antrean. "Berdasarkan pantauan kemajuan proses normalisasi sampai hari ini, sudah 95 persen SPBU bebas dari antrean panjang," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir beberapa hari setelah normalisasi tersebut dilakukan.

Menurut Ali, jika masih ditemukan adanya antrean, Ali memastikan antrean tersebut lebih didominasi oleh sepeda motor dan masih dalam batas wajar. "Selebihnya masih ada antrean, tetapi dalam batas wajar. Umumnya antrean itu terdiri dari konsumen pemilik sepeda motor,” ungkap Ali.

Namun, apa yang diklaim oleh Pertamina tersebut hanya untuk ibukota saja. Beberapa daerah di Jawa keadaannya masih sama, mengalami kelangkaan BBM. Salah satu contohnya di SPBU Getas Purwodadi. Dalam beberapa hari ini BBM subsidi jenis Solar dan Premium selalu habis dalam sekejap.

Kondisi itu terjadi semenjak pemerintah memutuskan kebijakan pembatasan pasokan BBM subsidi beberapa hari lalu, sebelum akhirnya kembali dinormalkan.

Kondisi serupa juga terjadi di Pemalang, Jawa Tengah. Sejumlah SPBU memilih tutup karena pasokan BBM subsidi belum juga tiba. Stok BBM subsidi jenis Premium dan Solar di sejumlah SPBU tersebut sudah kosong sejak Kamis 28 Agustus.

Bahkan di Jember Jawa Timur, Nur Choliyah, warga Desa Kencong, Jember, Jawa Timur, sempat pingsan karena mengantre. Diduga Choliyah kelelahan karena sekitar 5 jam mengantre BBM jenis premium bersama anaknya yang masih balita.

 

Ada Panic Rush


Eksekutive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan,antrean yang panjang di SPBU pada mulanya terjadi karena masalah psikologis masyarakat. [Baca Juga: Wawancara Khusus Fabby Tumiwa: Panic Rush Sebabkan Kelangkaan BBM]

"Itulah yang kemudian menyebabkan terjadinya antrean, ada panic rush sehingga masyarakat takut kalau tiba-tiba harga BBM dinaikkan atau BBM tidak ada sehingga semua orang ingin beli lebih awal," jelasnya.

Namun selain itu, Fabby melanjutkan, Ada alasan lainnya. Pada dasarnya beberapa pemilik kendaraan bermotor tidak bermasalah dengan pengurangan subsidi tersebut. Beberapa sudah akan beralih kepada BBM non subsidi. Namun karena BBM non subsidi juga tidak ada, maka antrean masih tetap panjang.

"Seperti yang kita lihat pembatasan BBM bersubsidi tidak diikuti dengan pasokan yang cukup untuk BBM yang non subsidi," ungkapnya.

 

Perbaiki Distribusi untuk atasi Kelangkaan


Menurut Fabby, kemungkinan besar kelangkaan BBM ini masih akan terus terjadi jika semua pihak pengampu kebijakan tidak bekerja sama. Pemerintah sebagai yang memiliki kuasa akan pengaturan BBM subsidi tidak mengeluarkan kebijakan yang benar.

Fabby melanjutkan, jika penjatahan kuota BBM subsidi masih seperti ini, maka seperti perkiraan, sebelum akhir tahun kuota BBM subsidi pasti habis dan antrean akan terus terjadi.

Salah satu jalan keluar untuk atasi kelangkaan BBM menurut Fabby adalah memperbaiki pola distribusi Pertamina. Selama ini Pertamina sering telat memasok yang berakibat munculnya antrean yang panjang. (Arthur Gideon/Irna Gustiawati)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini