Sukses

Slank Vs Ahmad Dhani dan Fenomena Voluntarisme di Pilpres 2014

Di Pilpres 2014,ada kubu artis pendukung Jokowi-JK dan ada kubu artis pendukung Prabowo-Hatta. Seperti apa kiprah mereka?

Liputan6.com, Jakarta Jelang Pilpres 2014, markas Slank di Gang Potlot sibuk bukan kepalang. Orang-orang sibuk menyiapkan hajatan besar, sebuah pagelaran akbar yang mengundang ratusan ribu orang di tengah bulan puasa, di mana sekitar 200 artis akan tampil secara cuma-cuma alias tak dibayar: konser “Salam 2 Jari”. Sebagai bentuk dukungan untuk pasangan Jokowi-JK.

Konser tersebut lahir dari ide liar Slank, bukan tim sukses Jokowi-Jk. Tugas tim sukses hanya menghadirkan Joko Widodo di acara itu. Artis yang terlibat, keamanan, serta logistik konser menjadi urusan relawan.

Abdee Negara, gitaris Slank, yang menjadi salah satu penggagasnya sampai ‘batal puasa merokok’ yang sudah dilakoninya bertahun-tahun saking stres hanya punya waktu seminggu menyiapkan konser. “Butuh kordinasi yang kuat, capeknya ya kordinasi itu. Harus rela setiap hari rapat,” kata dia.

Stres Abdee dan artis lainnya terbayar lunas. Hasilnya, konser akbar “Salam 2 Jari” yang berlangsung Sabtu, 5 Juli 2014 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) itu sukses besar. Konser berlangsung lancar dan aman.

Seniman dan penata artistik kawakan Jay Subiakto, yang naik ke atas layar video setinggi 20 meter untuk mengabadikan konser dengan kameranya, bahkan berpendapat, “Pemandangan (di konser) itu persis pada 1998.” Saat gerakan rakyat mengantar Indonesia ke gerbang reformasi.

Ada banyak alasan mengapa Slank memutuskan untuk mendukung Jokowi-JK. Vokalis Slank, Kaka berpendapat, Joko Widodo mempunyai rasa sayang terhadap masyarakat dan alam. Selain itu, mantan Walikota Solo itu juga tak ribet dengan urusan protokoler. “Pak Jokowi buat saya, asyik-asyik aja,” ujarnya. Sementara, JK yang kini genap 72 tahun disebut cocok dan mampu mendampingi Jokowi untuk lima tahun ke depan.

Bagaimana dengan “lawan” Slank, musisi Ahmad Dani yang memilih berseberangan dengan kubu Jokowi?
Terkesan dengan sikap Prabowo yang lepas sepatu saat masuk ke rumahnya dan kedatangan Hatta Rajasa ke acaranya, membuat musisi itu melabuhkan dukungannya.

Medio Juni 2014, Dhani mengundang tiga jebolan Indonesian Idol, Husein Alatas, Virzha, dan Nowela untuk ikut serta menyanyi dengannya. Hasilnya, dari syuting tanggal 13 Juni 2014 itu jadilah video klip lagu pendek yang diberi judul "Prabowo-Hatta, We Will Rock You" atau "Indonesia Bangkit." Musiknya meminjam lagu "We Will Rock You" milik Queen, band rock favorit Dhani.

Video suka rela buatan pemimpin Republik Cinta Manajemen itu kemudian sampai juga ke Prabowo. Lewat laman Facebook-nya pada 20 Juni, Prabowo mengucapkan terima kasih pada Dhani dan tiga jebolan Indonesian Idol. Pihak Prabowo mungkin senang, akhirnya dari pihak mereka ada juga video musik keren yang lahir secara suka rela.

Rasa senang itu, ternyata cuma berlangsung sebentar. Di dalam negeri tadinya video itu adem ayem saja. Keributan justru datang dari jarak ribuan kilometer jauhnya: tanah Eropa. Rabu, 25 Juni, laman majalah Jerman Der Spiegel merinci seragam militer yang digunakan suami Mulan Jameela itu persis seragam perwira Nazi dari kesatuan Schutzstaffel alias SS.

Spiegel juga memasang foto Dhani di video disandingkan dengan Heinrich Luitpold Himmler, petinggi SS yang juga arsitek pembantaian Yahudi atau Holocaust di masa Perang Dunia II oleh Nazi. Potongan rambut Dhani dikatakan juga mirip Himmler.

Video itu tak cuma dianggap tak simpatik, tapi juga malah kian mencirikan Prabowo sebagai representasi pemerintahan militeristik dan anti demokrasi. Laman majalah Time menyebut video itu sebagai "video kampanye terburuk." Apalagi belakangan ketahuan Dhani tak minta izin memakai lagu Queen itu.

Efek Artis

Artis dan politik bukan hal baru di Indonesia. Dari masa perjuangan kemerdekaan, polarisasi pada masa Demokrasi Terpimpin di tahun 1960-an, pelembagaan para seniman era Orde Baru -- salah satunya Parfi (persatuan artis film Indonesia) yang memiliki jatah kursi utusan golongan di MPR.

Pada tahun 1970-an, Rhoma memilih mendukung PPP. Selama dua musim pemilu, 1977 dan 1982, dicatat majalah Forum edisi 9 Januari 2000 yang menulis profilnya, Rhoma menyedot jutaan umat mendatangi kampanye PPP, sebelum ia akhirnya menyeberang ke Golkar.

Pasca reformasi, artis juga kerap dilibatkan dalam aktivitas politik. Dijadikan caleg, calon kepala daerah, atau sekedar tampil di panggung kampanye untuk meraup simpati.

Mungkin untuk kali pertamanya dalam sejarah republik ini, Pemilihan Presiden 2014 bukan hanya ramai oleh politisi yang saling serang atau saling dukung, tapi juga riuh oleh kalangan artis alias selebriti yang memutuskan memihak.

Kaum seleb kini tak hanya berdiri di pinggir, memilih netral atau melihat dari kejauhan. Kali ini mereka terlibat langsung, menyuarakan dengan nyaring pilihannya, sambil membela dan rela bekerja agar capres pilihannya menang.

Pasangan Prabowo-Hatta diusung Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, Partai Golkar, dan Partai Demokrat, sedang Jokowi-JK diusung PDIP, Hanura, Partai Nasdem, PKPI, dan PKB.

Saat partai-partai terbelah dalam dua kubu, seleb pun demikian. Ada kubu artis pendukung Jokowi-JK dan ada kubu artis pendukung Prabowo-Hatta. Di kubu Prabowo-Hatta ada Ahmad Dhani dan deretan artis di bawah manajemennya, Raja Dangdut Rhoma Irama, artis-artis yang tergabung dengan PAN seperti Anang dan Raffi Ahmad, serta artis yang juga fungsionaris Golkar Nurul Arifin dan Tantowi Yahya. Pada 3 Juni, Nurul membawa serta artis-artis era 1970-an dan 1980-an ke markas pemenangan Prabowo-Hatta di Rumah Polonia untuk menyatakan dukungan. Artis-artis itu antara lain Yati Octavia, Fitria Elvi Sukesih, Arie Kusmiran, Erie Johan, Ikang Fauzie, Fifi Sumantri, Marini, Aries Kusmirandan dan Pangki Suwito. [INFOGRAFIS: Riuh Seleb di Pilpres 2014]

Dari kubu Jokowi-JK artisnya lebih banyak. Selain Slank, ada Yuni Shara, Joko Anwar, Riri Riza, Olga Lydia, Mira Lesmana, Ringgo Agus Rahman, Glenn Fredly, Roy Marten, Gading Marten, Opie Andaresta, Dira Sugandi, Gita Gutawa, Sherina, dan banyak lagi. Saat mengumumkan konser “Salam 2 Jari” disebut 200 nama artis ikut mendukung.

Pertanyaannya, apa dukungan artis itu berdampak pada hasil pilpres?

Bisa jadi iya. Namun, sejatinya, apa yang terjadi di Indonesia bukan sesuatu yang khas. Di Amerika Serikat, negeri demokratis yang sudah berusia 238 tahun, keterlibatan seleb dalam pilpres menjadi bagian penting yang tak terpisahkan. Apa yang kita saksikan dengan kesibukan Slank turut serta membela Jokowi dan kerelaan Ahmad Dhani mendukung Prabowo sama berartinya dengan dukungan Oprah Winfrey pada Obama tahun 2008.

Jusuf Kalla mengatakan konser “Salam 2 Jari” sebagai salah satu faktor kemenangan kubunya di Pilpres 9 Juli lalu.

Sebagai gambaran, pada Juni 2014. Situasi genting menimpa kubu Jokowi-JK. Elektabilitas Jokowi menurun akibat kampanye hitam yang kian gencar lewat situs online, media sosial, hingga media cetak semisal tabloid Obor Rakyat. Jokowi dituding non-muslim, non-pribumi, capres boneka, antek asing, hingga tudingan pro PKI. Kampanye hitam itu, meski sudah dibantah dengan berbagai cara, nyatanya mempengaruhi pilihan pemilih. Dari survei Indo Barometer, dukungan untuk Prabowo-Hatta pada Juni 2014 naik menjadi 42,6 persen. Sedangkan elektabilitas Jokowi-JK pada Juni 2014 turun menjadi 46,0 persen.

Dari sisi capres-cawapres dan para politisi, di ujung masa kampanye pasangan Jokowi-JK berhasil memberi penampilan memukau di debat terakhir. Sementara itu, kicauan politisi PKS Fahri Hamzah yang bilang "sinting" atas usulan 1 Muharram sebagai hari santri serta kesalahan Hatta Rajasa soal Kalpataru di debat capres-cawapres menjadi gol bunuh diri.

Di luar dua faktor itu, yang tak kalah pentingnya adalah dua momen yang melibatkan mobilisasi artis: konser "Salam 2 Jari" dan tagar #AkhirnyaMilihJokowi di Twitter.

Sukses konser "Salam 2 Jari" mendatangkan seratus ribu orang ke GBK berhasil menyita perhatian orang yang belum memutuskan memilih. Pun begitu dengan tagar #AkhirnyaMilihJokowi.

Sepanjang Kamis, 3 Juli 2014, lini masa Twitter ramai dipenuhi hashtag atau tagar #AkhirnyaMilihJokowi yang digagas para simpatisan atau pendukung capres nomor urut 2 itu.

Tagar #AkhirnyaMilihJokowi dirancang khusus kubu Jokowi. Para artis yang kebanyakan punya follower Twitter bejibun diminta untuk mencuit alasan kenapa Jokowi pilihan terbaik sebagai capres disertai tagar dimaksud. Sutradara Joko Anwar yang awalnya diminta tim sukses untuk mempelopori tagar ini. Joko menghubungi artis-artis lain yang juga berada di kubu Jokowi untuk mencuit hal serupa.

Banyak pesohor negeri ini kemudian mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi melalui tagar tersebut. Sebut saja Sophia Latjuba, Sherina Munaf, Andien, Mira Lesmana, Glenn Fredly, dan Afgansyah Reza.

Lantas, tagar ini demikian populer. Yang mencuit soal alasan kenapa pilih Jokowi bukan hanya artis, tapi juga follower-follower mereka. Tagar tersebut segera menduduki posisi pertama trending topic atau topik terpopuler dunia pada 3 Juli, hari Kamis itu. Yang mencuuit dukungan buat Jokowi bahkan bukan hanya artis dalam negeri, tapi juga artis luar semisal Sting, Jason Mraz, hingga group rock Arkarna dan gitaris Guns N' Roses Bumblefoot.

Strategi itu berhasil. Survei Politicawave yang dilakukan sehari sebelum pencoblosan, memperlihatkan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) berlabuh ke Jokowi-JK.

"Terdapat 91 persen netizen yang menyatakan tidak jadi golput dan memilih Jokowi-JK dan hanya 9 persen netizen yang menyatakan tidak jadi golput dan memilih Prabowo-Hatta," kata pendiri Politicawave Yose Rizal pada Liputan6.com beberapa waktu lalu.

Hasil hitungan resmi (real count) KPU yang diumumkan 22 Juli kemarin menyebutkan Jokowi-JK unggul 52,95 persen (69.455.113 suara) atas Prabowo-Hatta yang meraih 47,05 persen (61.711.978 suara).

Bagi pengamat budaya pop Hikmat Darmawan, pilpres 2014 terasa beda karena partisipasi berbagai elemen masyarakat sangat besar. "Tidak hanya artis, tapi juga semua elemen masyarakat," kata Hikmat pada Liputan6.com, Jumat (25/7/2014). "Kenapa artis tampak menonjol? Karena mereka sangat sensitif, apapun dibawa ke hati," imbuhnya.

Maksudnya, saat artis sudah menentukan pilihan politiknya, artis lebih ekspresif menyuarakannya. Tambahan pula, artis diuntungkan statusnya sebagai sosok terkenal. Polahnya pasti disorot media dan penggemar.

Bagi Hikmat, fenomena seleb berpolitik juga tidaklah baru. "Kesadaran politik sudah ada, tapi voluntarisme dan aktivitas itu dilakukan sendiri-sendiri. Politik personal. Dan menjauhi politik praktis," kata penulis buku How to Make Comic: Menurut Para Master Komik Dunia (2012) ini.

Diuraikannya, terutama di periode kedua pemerintahan SBY, kian muncul apatisme politik. Negara dianggap absen dan muncul istilah "negeri autopilot" untuk menyebut masyarakat bisa mengurus diri sendiri tanpa perlu kehadiran negara. Pada titik ini, warga—termasuk artis—bergerak sendiri-sendiri. "Kegiatan politik sangat lokal dan spesifik," ujarnya. Ia mencontohkan, ada yang berjuang untuk hak-hak perempuan, sistem transportasi yang baik, global warming, anti pembajakan musik dan film, serta lain sebagainya.

Pilpres 2014 akhirnya menyatukan yang bergerak sendiri-sendiri itu. Pilihan yang mengerucut pada dua pasangan capres mau tak mau membuat masyarakat terbelah dalam dua kubu. "Saat pemilu presiden kemarin situasinya genting. Karena pilihannya cuma dua," kata Hikmat.

Golput atau bersikap netral pun bukanlah pilihan yang bijak. "Kalau dulu memilih netral atau golput karena merasa pilihannya jelek semua, sekarang tak bisa begitu lagi. Saat ada pilihan yang baik ya harus ikut memilih," imbuhnya.

Semua orang, termasuk artis, pada 9 Juli kemarin sudah memilih capres-cawapres pilihan masing-masing. Pilpres 2014 menjadi contoh baik partipasi warga, termasuk artis, berpolitik. Banyak karya-karya fenomenal dan kreatif lahir dari kerelaan untuk berpartisipasi.

Kita melihat aksi nyata baik di dunia maya maupun non-maya. Ratusan ribu orang memadati GBK saat konser "Salam 2 Jari" disebut Hikmat sebagai peristiwa bersejarah. "Peristiwa di GBK susah diulang," tegasnya. "Apa yang terjadi sekarang baru terjadi setelah satu dekade lebih. Terakhir terjadi pas Reformasi 1998."

Itu artinya, setelah keriuhan pilpres 2014, artis-artis ini akan menjadi penjaga moral. "Setelah kemenangan, tiga bulan tarik dukungan. Kami tetap jadi parlemen jalanan," kata Ivanka, personel Slank.

Selanjutnya: Persamaan Jokowi dan Obama...

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jokowi, Obama dan Efek Oprah Winfrey

Jokowi, Obama dan Efek Oprah Winfrey

Amerika Serikat di tahun 2008. Sebuah fenomena politik baru muncul. Kala itu dalam konvensi capres Partai Demokrat, Hillary Clinton sempat memimpin pertarungan melawan Barack Obama. Siapapun yang akan maju sebagai calon presiden akan menciptakan sejarah baru di Negeri Paman Sam. Ia mungkin jadi perempuan atau kulit hitam pertama yang menjadi orang nomor satu di AS.

Namun, Obama punya sesuatu yang tak dimiliki Nyonya Clinton: dukungan dari Oprah Winfrey.

Oprah Winfrey yang tak pernah sekalipun kentara mendukung salah satu kandidat Presiden AS, terang-terangan menggadang-gadang Obama. Dukungannya punya arti signifikan. Sejumlah ekonom memperkirakan bahwa dukungan Winfrey itu bernilai lebih dari satu juta orang. Dan tanpa itu, Obama diperkirakan akan kalah melawan Hillary Clinton dalam nominasi capres Partai Demokrat.

Gubernur Illinois Rod Blagojevich juga mengklaim bahwa dukungan Oprah begitu signifikan hingga ia mempertimbangkan untuk menawarkan bekas kursi Obama di Senat untuk sang ratu talk show.

Dan Oprah tak sendirian. Selebritas lain yang ada di jajaran ‘pasukan Obama’ termasuk di antaranya Kerry Washington, Usher, Chris Rock, Brendan Routh, Kate Walsh, Kal Penn, dan Tate Donovan.

Tak hanya sekedar menyuarakan dukungan. Para selebritas turun tangan menggalang dana, menelepon warga AS, bahkan tak segan-segan mengetuk rumah penduduk untuk menyampaikan visi dan misi Obama.

Kemudian, Scarlett Johansson, Kelly Hu, Kate Walsh, John Legend, Herbie Hancock, Kareem Abdul Jabbar, Adam Rodriquez, Amber Valetta dan Nick Cannon bersama kelompok musik The Black Eyed Peas membuat video klip bertajuk "Yes We Can" yang sempat merajai YouTube.

“Kami memanggil semua (artis) yang kami tahu dan mereka sanggup meluangkan waktu di tengah kesibukan demi menjadi bagian dari video ini,” kata Fred Goldring, yang memproduksi video itu seperti Liputan6.com kutip dari Time. “Kami masih mendengar tanggapan masyarakat yang bertanya-tanya, apa lagi yang akan kami lakukan. Ini menakjubkan, tak seperti kampanye lain yang pernah saya saksikan. Ini sebuah gerakan.”

Para pesohor -- yang sebelumnya hanya punya pengaruh kecil dalam pemilu, jarang terang-terangan memberikan dukungan, dan sosoknya hanya muncul di malam penggalangan dana -- mengambil sikap politik.

Mereka yang dulunya hanya bisa mempengaruhi orang-orang untuk membeli bir, sabun, atau mobil merek ‘X’ kini bisa mempengaruhi preferensi politik orang banyak.

Namun, seperti dikutip dari situs Pew Research Centre, berdasarkan survei, mayoritas orang Amerika (69 persen) mengatakan, dukungan oleh selebriti dan tokoh-tokoh terkenal lainnya, termasuk Oprah, tidak akan mempengaruhi keputusan mereka.

Meski demikian, 60 persen responden yang sama percaya, dukungan Oprah untuk Obama akan membantu pencalonan si Anak Menteng itu.

Merebut Simpati

Tahun 2012, strategi yang sama juga dipakai Obama untuk mempertahankan kursinya di Gedung Putih. Dengan berusaha menggaet dukungan dari 194 pesohor.

Anggota kelompok musik The Black Eyed Peas, Will.i.am, aktor George Clooney dan Tom Hanks berhasil mengumpulkan dana maksimal US$61,600 untuk Partai Demokrat dan U$5.000 untuk Obama dalam sekali putaran.

Clooney bahkan menyelenggarakan acara pengumpulan dana yang menghasilkan jutaan dolar untuk Obama.

Meski tak seheboh 2008, hal serupa pernah dilakukan pada pengujung 2004. Kala itu, jagad politik negeri Paman Sam yang sudah panas jadi kian mendidih. Beberapa minggu sebelum pemilihan presiden awal November tahun itu rilis film dokumenter berjudul Fahrenheit 9/11.

Itu bukan film dokumenter biasa. Melainkan film yang mengkritik habis-habisan Presiden George W. Bush atas kebijakannya pasca serangan 11 September 2001 atau tragedi 9/11.

Di film itu diperlihatkan betapa canggungnya sang presiden di detik-detik awal serangan terjadi hingga waktu terbuang percuma. Atau, di saat angkasa Amerika ditutup untuk aneka penerbangan, ternyata keluarga kaya Arab Saudi dibolehkan keluar Amerika. Atau juga, di masa lalu keluarga Bush dan pejabat pemerintahannya ternyata punya hubungan dengan Taliban dan Presiden Irak Saddam Hussein.

Fahrenheit 9/11 dibuat Michael Moore. Ia merilis filmnya di bioskop-bioskop AS tepat sebelum pilpres 2004 dengan satu tujuan: agar masyarakat AS tak memilih Presiden Bush, dari Partai Republik, yang mencalonkan diri untuk kedua kalinya, berhadapan dengan John Kerry dari Partai Demokrat.

Sejarah kemudian membuktikan, George W. Bush kembali terpilih untuk masa jabatan kedua. John Kerry kalah. Bush dianggap presiden yang pas untuk memimpin Perang Irak yang baru berlangsung kurang dari setahun waktu itu.

Namun, film Moore tak sepenuhnya bisa dibilang gagal. Filmnya meraih USD 119 juta di AS—sebuah rekor tersendiri bagi jenis film dokumenter. “Jika tak ada Fahrenheit 9/11,” kata Moore pada majalah Time edisi 27 Desember 2004, “… dengan perang sedang berlangsung, Bush akan menang telak.”

Nyatanya, di tahun 2004 itu, Bush tak menang telak (Bush meraih suara 50,7 persen, sedang Kerry meraih 48,3 persen). Sedikit banyak hal itu atas kontribusi Michael Moore, sutradara yang terang-terangan mengambil posisi sebagai lawan yang hendak menjegal Bush. Itulah momen saat selebriti ikut berperan aktif dalam politik praktis dalam pilpres. Di AS, sudah jamak seleb mendukung capres pilihannya. Sang seleb biasanya diminta sang kandidat ikut menggalang dana kampanye. Namun, yang khusus membuat film lalu merilisnya ke bioskop agar ditonton khalayak luas rasanya cuma pria tambun yang biasa bertopi baseball itu.

Jokowi Mirip Obama

Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 yang didukung gerakan masyarakat termasuk para pesohor mengingatkan kembali pada apa yang terjadi di AS pada 2008 lalu.

Majalah terkemuka Amerika Serikat, Forbes melaporkan kemenangan Jokowi di quick count dengan artikel berjudul "As Indonesian Election Day Approaches, Jokowi Draws Obama Comparisons".

Forbes lebih jauh mengkomparasi kemenangan Jokowi pada Pilpres RI 2014 dengan kemenangan Barack Obama pada Pilpres Amerika Serikat 2008. Ketika itu, Obama menghadapi Mc Cain.

“Sama seperti Barack Obama, Jokowi merupakan sosok perubahan di Indonesia. Obama baru menjadi senator pada 2005 dan menjadi presiden 2008. Sama seperti Jokowi, yang baru menjabat gubernur pada 2012,” tulis Forbes.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini