Sukses

KPK Panggil Megawati Usai Lebaran?

"Jadi habis lebaran kita putuskan ya, kita ekspos siapa-siapa saja yang dimintai keterangannya," kata Ketua KPK Abraham Samad.

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan tetap terus melanjutkan penyelidikan kasus dugaan korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Lanjutan penyelidikan itu dilakukan KPK setelah Hari Raya Idul Fitri 2014 ini.

Setelah lebaran itu, KPK akan memulai dengan melakukan gelar perkara atau ekspos. Termasuk, mengenai perlu atau tidaknya melakukan pemanggilan terhadap mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri.

"Jadi habis lebaran kita putuskan ya, kita ekspos siapa-siapa saja yang dimintai keterangannya," kata Ketua KPK Abraham Samad di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (24/7/2014).

Abraham menegaskan, KPK tidak menemukan kendala psikologis untuk memanggil Megawati yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu. Mengingat, PDIP adalah partai penguasa saat ini usai kadernya, Joko Widodo bersama Jusuf Kalla resmi dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk periode 2014-2019.

"Jadi kenapa takut? Megawati kan bukan presiden," ujar pria kelahiran Sulawesi Selatan ini.

Bagi Abraham, tidak adanya kendala psikologis itu sudah dibuktikan dengan memeriksa Wakil Presiden Boediono dan Jusuf Kalla selaku mantan Wakil Presiden dalam kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Bahkan, kata Samad, kalau perlu KPK melakukan pemeriksaan terhadap Presiden terpilih Jokowi. Untuk hal itu, KPK menyatakan tidak takut jika memang diperlukan. "Presiden pun kalau diperlukan kita akan panggil. KPK tidak ada kendala panggil-panggil presiden," kata Abraham.

"(Pokoknya) dari ekspos nanti baru bisa dipetakan kasus ini, bisa ditingkatkan ke penyidikan atau belum," imbuhnya.

Awal Mula Kasus

Adapun SKL BLBI dikeluarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Saat itu, posisi presiden dijabat Megawati Soekarnoputri.

Berdasar inpres itu, SKL tersebut berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Inpres itu dikenal juga dengan inpres tentang release and discharge.

Atas dasar pemberian SKL menurut inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Berdasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung yang menangani perkara tersebut alias bebas dari jeratan perkara.

Penerima SKL BLBI beberapa di antaranya pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI) Sjamsul Nursalim, pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, dan Salim Group--utang Salim Group ketika dibuatkan SKL mencapai lebih dari Rp 55 triliun, selang 2 tahun setelah SKL terbit, aset Salim Group yang diserahkan ternyata hanya senilai Rp 30 triliun.

Nama-nama lain yang turut menerima SKL adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (PT Bank Namura Internusa dengan kewajiban bayar sebesar Rp 303 miliar), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian Rp 424,65 miliar), Lidia Muchtar (Bank Tamara Rp 189,039 miliar), Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa Rp 790,557 miliar), Omar Putihrai (Bank Tamara Rp 159,1 miliar), Atang Latief (Bank Bira Rp 155,72 miliar), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat Rp 577,812 miliar).

Di satu sisi, Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum. Salah satunya dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Sementara audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang sudah dikucurkan ke 48 bank umum nasional, terdapat kerugian negara yang mencapai Rp 138,4 triliun.

Kemudian dalam audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga ditemukan penyimpangan dana sebesar Rp 54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP bahkan menyimpulkan, bahwa sebesar Rp 53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

KPK dalam kasus ini sudah pernah memintai keterangan beberapa terperiksa. Mereka di antaranya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie, mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, serta mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Mariani Soemarno Soewandi. (Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara untuk memberantas tindak pidana korupsi
    Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara untuk memberantas tindak pidana korupsi

    KPK

  • Dr.(H.C.) Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri adalah Presiden Indonesia ke 5 periode  23 Juli 2001 — 20 Oktober 2004.
    Dr.(H.C.) Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri adalah Presiden Indonesia ke 5 periode 23 Juli 2001 — 20 Oktober 2004.

    Megawati Soekarnoputri

  • BLBI adalah singkatan dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

    BLBI