Sukses

'Lagi Gencar Basmi Korupsi, Kok Harus Izin Periksa Anggota DPR'

Menurut pengamat, semestinya pemeriksaan pejabat publik, terutama untuk tindak pidana korupsi tidak perlu melalui perizinan.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Islam Sultan Agung Semarang Rahmat Bowo menilai Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) yang baru merupakan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Benar kalau mundur, tepatnya karena UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru mensyaratkan pemeriksaan anggota DPR harus mendapatkan izin Majelis Kehormatan Dewan (MKD)," kata Rahmat di Semarang, Sabtu 19 Juli 2014.

Menurut dia, mekanisme izin semacam itu untuk memeriksa pejabat negara bakal mempersulit langkah penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Ia menjelaskan mekanisme izin semacam itu sebelumnya ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa untuk memeriksa kepala daerah harus mendapat izin presiden, tetapi akhirnya mekanisme itu dihapus Mahkamah Konstitusi.

"Izin semacam itu kan pernah ada dalam Pasal 36 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tetapi akhirnya dihapus MK. Sekarang dikembalikan lagi, bedanya izin dialihkan untuk anggota DPR," katanya.

Pengajar Fakultas Hukum Unissula itu mengungkapkan semestinya pemeriksaan pejabat publik, terutama untuk tindak pidana korupsi tidak perlu melalui persetujuan semacam itu karena akan kontraproduktif.

"Di tengah gencar-gencarnya upaya pemberantasan korupsi, kok malah ada mekanisme izin untuk memeriksa anggota DPR? Rakyat sepatutnya bertanya karena tidak sejalan semangat pemberantasan korupsi," katanya.

Dengan adanya UU MD3 yang baru disahkan pada 8 Juli lalu yang mengembalikan mekanisme izin pemeriksaan pejabat seperti itu, kata dia, rakyat patut menduga kalau kalangan elitenya memang "bermasalah".

"Kalau tidak bermasalah, kenapa mau diperiksa harus izin MKD? Kalau untuk permasalahan selain korupsi bolehlah, tetapi kalau soal tipikor tidak perlu. Bagaimana kalau tidak diizinkan?," katanya.

Ia mengatakan sudah semestinya banyak yang tidak sependapat dan mengajukan "judicial review" atas UU MD3 ke MK, sebab korupsi adalah kejahatan luar biasa yang pemberantasannya tak bisa dilakukan dengan cara biasa.

"Semakin banyak elemen masyarakat yang mengajukan judicial review atas UU MD3 akan lebih baik. Memang substansi gugatannya sama, tetapi setidaknya bisa menciptakan legitimasi sosial," tandas Rahmat.

Revisi UU MD3 disetujui oleh anggota DPR dari Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan Gerindra. Sedangkan anggota DPR dari PDIP, Hanura, dan PKB sempat Walk Out saat pembahasan UU MD3 karena tidak setuju dengan konstitusi tersebut. (Ant)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara untuk memberantas tindak pidana korupsi
    Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara untuk memberantas tindak pidana korupsi

    KPK

  • Korupsi adalah penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

    Korupsi

  • UU MD3

Video Terkini