Sukses

Tantowi Golkar Bantah UU MD3 Lemahkan KPK

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu mengaku, UU MD3 bukan suatu halangan untuk KPK harus terus diperkuat.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya membantah pengesahan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) bagian dari untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dalam hal ini lembaga yang dibuat khusus oleh undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dugaan upaya pelemahan pemberantasan korupsi itu terlihat dalam Pasal 245 ayat 1 yang menyatakan bahwa anggota DPR yang dipanggil untuk dimintai kesaksiannya dalam suatu penyidikan kasus pidana, tak terkecuali pidana korupsi, harus atas persetujuan Majelis Kehormatan DPR. Sebelum UU MD3 disahkan atau masih dalam bentuk draft atau draf revisi, pada poin ini harus ada izin presiden bagi setiap anggota DPR yang dimintai kesaksiannya dalam penyidikan kasus pidana.

"Upaya pemberantasan korupsi, perlawanan korupsi, apa pun bentuknya, itu tetap jadi komitmen tertinggi dari kami-kami ini di DPR," ujar Tantowi usai diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (12/7/2014).

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu mengaku, UU MD3 bukan suatu halangan untuk KPK harus terus diperkuat. Akan tetapi, kata dia, lembaga-lembaga penegak hukum lain juga mesti diperkuat, seperti kepolisian dan Kejaksaan Agung.

"Kalau hanya mengandalkan KPK saja, itu hanya berimplikasi pada penambahan dana dan kemudian penambahan sel untuk nahan orang," ujar Tantowi.

Lebih jauh pria yang pernah menjadi presenter kuis itu mengatakan, ada hal lain yang lebih penting dalam upaya penguatan pemberantasan korupsi oleh KPK. Yakni, upaya-upaya preventif atau pencegahan.

"Jadi harus dibuat tahu. Jangan sampai banyak yang kena jebakan-jebakan 'batman' (KPK) seperti sekarang ini. Jadi menangkap penting, tapi yang lebih penting adalah upaya-upaya preventif," kata dia.

DPR mengesahkan revisi UU MD3 pada 9 Juli lalu atau di tengah hiruk-pikuknya publik dan media atas penyelenggaraan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Pengesahan itu sendiri diwarnai aksi walk out dari PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan PKB. Aksi itu dilakukan karena sejumlah poin dalam UU MD3 yang disahkan itu dinilai tak signifikan dan justru berdampak negatif ke depan.

Salah satu poin krusial yang dimaksud dalam UU MD3 itu adalah terkait pemeriksaan terhadap anggota DPR yang terjerat tindak pidana tidak memerlukan izin Presiden sebagaimana yang tercantum dalam draft revisi. Sementara pemeriksaan terhadap anggota DPRD yang terjerat perkara pidana pun tak perlu izin dari Gubernur atau Menteri Dalam Negeri.

Saat disahkan, semua itu diganti dengan atas izin Mahkamah Kehormatan Dewan (dulu bernama Badan Kehormatan DPR) bagi anggota DPR yang dipanggil untuk diperiksa dalam suatu penyidikan kasus tindak pidana.

Berikut pasal yang memuat aturan mengenai izin bagi anggota DPR untuk diperiksa tersebut:

Pasal 245

Ayat (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Ayat (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, maka pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

(Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini