Sukses

Anak-anak di Gaza Tewas Kena Bom, Bocah Israel Main Dalam Bunker

Sudah 81 nyawa melayang sejak Israel melancarkan operasi 'Protective Edge'. Termasuk di antaranya perempuan dan anak-anak.

Liputan6.com, Jalur Gaza - Gaza menjadi tanah pertumpahan darah dan lautan duka. Sudah 81 nyawa melayang sejak Israel melancarkan serangan udara dan roket dalam operasi  'Protective Edge'. Termasuk di antaranya perempuan dan anak-anak.

Di sebuah kafe sederhana, Fun Time Beach, di pinggiran pantai Gaza, sekelompok pemuda berkumpul di sekitar televisi portabel yang ditenagai genset, duduk di atas kursi plastik ringkih, untuk menonton pertandingan Argentina melawan Belanda dalam semifinal Piala Dunia 2014.

Namun, mereka tak akan pernah mengetahui skor akhirnya.

Pada pukul 23.30 waktu setempat, setengah jam sebelum pertandingan dimulai, rudal Israel menghantam atap bangunan sederhana itu dan memicu kekacauan berdarah.

Serangan tak terduga itu menewaskan Mohammed Fawana, dan 7 pemuda lainnya yang terikat hubungan darah-- Ahmed (18) dan Suleiman Astal (16),  sepupu mereka Musa (16), Mohammed (24) dan Ibrahim Ganan (25), serta Hamdi (20) dan Ibrahim Sawaleh (28).

Yang ketiga dari Sawaleh bersaudara, Salim (23) masih dinyatakan hilang. Pencarian masih dilakukan untuk mencari jasadnya.

"Mereka hanya ingin menonton pertandingan," kata Wael Sobih, berdiri di samping kursi-kursi plastik yang rusak dan pohon-pohon palem yang tumbang, seperti Liputan6.com kutip dari Telegraph, Jumat (11/7/2014). "Ini tempat bermain, bukan kamp militer."

Kematian para fans sepakbola itu hanya salah satu gambaran mengerikan yang diakibatkan serangan membabi buta Israel sejak Senin 7 Juli lalu, dengan dalih menghentikan roket yang ditembakkan dari Gaza -- wilayah kantung pesisir di mana 1,8 juta rakyat Palestina, yang sebagian besar miskin, tinggal.

Hanya beberapa kilometer dari pantai berdarah itu, di Magazi, rudal Israel menghantam rumah dua lantai milik keluarga Nawasrah Rabu petang.

Serangan itu membunuh Salah Nawasrah (23), istrinya yang hamil 4 bulan, Aisha, dan dua keponakannya -- Nidal (4) dan Mohammed (2).

Zeinab Nasser (57), yang menyaksikan kejadian tragis itu mengatakan, kepala bocah Mohammed terlepas dari raganya, dan kemudian ditemukan di taman. Tragis.

Saudari Salah Nawasrah, Somud membantah keras afiliasi saudaranya itu dengan Hamas.



Sementara itu di Khan Younis, sekeluarga yang beranggotakan 8 orang tewas seketika, saat 2 rudal Israel menghantam rumah Kamis 9 Juli dini hari pukul 02.25 waktu setempat.

Sasaran negeri zionis adalah Yasir al-Hajj (27), anggota Hamas. Namun target tak tewas sendirian. Rudal Israel juga mengakhiri hidup ayah Yasir, Mohammed (58), dua saudaranya, Omar (20) dan Tariq (19). Juga Asma (22).

Penargetan rumah-rumah sipil telah meningkatkan jumlah korban tewas di Gaza menjadi 81 orang. Sebagian besar non-kombatan dan setengah dari mereka wanita dan anak-anak. Demikian menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Dalam sebuah pernyataan, militer Israel membela tindakannya, mengatakan mereka 'hanya' menyerang beberapa rumah di Gaza yang digunakan untuk "tujuan militer", seperti "penyimpanan senjata, komando dan pusat kontrol, atau komunikasi".

"Ketika rumah-rumah yang digunakan untuk tujuan militer, mereka mungkin menjadi sasaran militer yang sah menurut hukum internasional," tambah pernyataan itu.

Apapun pembenaran pihak Israel, pejabat di sana dipaksa untuk mengakui bahwa serangan pada Selasa 8 Juli yang menewaskan delapan anggota keluarga Kaware -- juga di Khan Younis -- adalah "kesalahan tragis". Enam anak termasuk di antara mereka yang tewas.



Para pejabat Israel berdalih bahwa rumah tersebut adalah tempat tinggal Odeh Kaware, seorang komandan militer senior Hamas, dan merupakan "sasaran yang sah".

Perkembangan terakhir di Gaza membuat dunia bergejolak. Sekjen PBB Ban Ki-moon menyerukan gencatan senjata. Ia juga meminta masyarakat internasional untuk melakukan segala sesuatu untuk menghentikan kekerasan yang meningkat di Gaza.

Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis 9 Juli telah menyerukan diakhirinya aksi kekerasan di Gaza, selama pembicaraan telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

"Pihak Rusia menekankan perlunya untuk sesegera mungkin menghentikan konfrontasi bersenjata, yang menyebabkan beberapa korban di kalangan warga sipil," demikian pernyataan Kremlin. 

Baca selanjutnya: Anak-anak Israel nyaman di tengah perang...

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Anak-anak Israel Nyaman di Tengah Perang

Bermain di Bunker

Suatu hari di Sderot, Israel, Noa Lifshitz (8) mengikuti kamp musim panas di sekolahnya. Di sebuah bangunan yang bisa tahan menghadapi serangan roket. Gedung itu bisa menampung 200 orang.

"Di luar tidak aman," kata Noa seperti dimuat Lancaster Eagle Gazette, 10 Juli 2014. "Itu sebabnya saya ingin datang ke sini."

Noa dan teman-teman sekelasnya gelisah. Mereka tidak dapat bermain di luar karena rentetan roket diluncurkan ke Sderot dari Gaza. Mereka terjebak di gedung sekolah.

Suara gedebuk kerap terdengar dari luar. Itu adalah suara "Iron Dome" sistem anti-roket Israel yang bisa menghancurkan roket di udara. Ada beberapa benturan Kamis pagi. Roket yang tidak berhasil dicegat oleh Iron Dome akan memicu ledakan.

Selain di sekolah-sekolah yang didesain tahan terhadap gempuran roket. Ada juga pusat bermain yang luas, bertempat di sebuah bekas pabrik tekstil.

Di sana ada lapangan basket dan voli, lapangan sepak bola, ruang menonton TV dan film, serta dinding panjat.

Anak-anak bisa memilih untuk mendaki, masak-masakan di dapur mainan, bermain, atau hanya diam. Tersedia ruangan untuk acara-acara tertentu seperti pesta ulang tahun.

"Ini satu-satunya tempat di mana, pada saat-saat seperti ini, anak-anak dapat berkumpul di luar sekolah," kata Shmuel Ohayon, manajer fasilitas.

Acara perkemahan digelar di fasilitas penampungan (shelter). Anak-anak dihibur oleh badut. Balon warna-warni yang digantung di langit-langit membuat tempat penampungan cerah dan nyaman.

Daniel Gurevitch (11) mengaku, bunyi sirene dan roket tidak mengganggunya. "Saya sudah terbiasa dengan hal itu," katanya sambil mengangkat bahu.

Studi Sapir Academic College menemukan, 75 persen penduduk Sderot menderita gangguan stres pasca-trauma. Tak terkecuali anak-anak.

Para bocah Israel juga mengalami trauma. Meski kadarnya jauh lebih rendah dari sesama mereka yang terancam kehilangan segalanya, juga nyawa, di Gaza. (Tnt)

Baca juga:

Uni Emirat Arab Janji Sumbang Palestina USD 25 Juta

Puluhan Umat Muslim AS Kecam Penyerangan Israel ke Gaza

Konflik Palestina-Israel, Mahasiswa di Jakarta Demo Kantor PBB

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.