Sukses

Prancis Coba Cegah Mujahid Warganya ke Luar Negeri

Prancis tidak akan memberi toleransi pesan-pesan yang menyerukan atau memuliakan perang dipertontonkan di negeri ini tanpa tersentuh.

Liputan6.com, Paris Kepergian orang-orang muda Eropa untuk berperang bersama ISIS di Irak dan Suriah membuat khawatir pemerintah negara-negara Barat.

Sejumlah negara Barat kemudian melakukan pencegahan, misalnya dengan membuat perundang-undangan yang diharapkan dapat meredam pergerakan warganya untuk bertempur ke Timur Tengah.

Sebagaimana yang dilansir dari Reuters, 8 Juli 2014, Prancis berencana melarang seseorang yang terlibat dengan kelompok radikal Islam untuk meninggalkan negara itu dalam upayanya mencegah serangan oleh kaum militan yang pulang dari Timur Tengah, demikian isi rancangan peraturan yang akan dibeberkan hari Rabu ini.

Prancis mengalami kenaikan luar biasa tahun ini dalam hal jumlah warganya yang bergabung dengan kaum militant Islam di Suriah dan kemudian di Irak.

“Kami memiliki kewajiban untuk bertindak karena ada sekitar 800 orang muda yang terlibat,” demikian cetus Menteri Dalam Negeri Bernard Cazeneuve pada Selasa lalu kepada harian Le Parisien.

Dari angka tersebut, sekitar 600 warga Prancis ditengarai telah berada di Suriah atau berencana pergi ke sana, lanjutnya.

Seorang warga Prancis, Mehdi Nemmouche, ditangkap dengan tuduhan menembak mati empat orang di bulan Mei di Museum Yahudi di Brussels dan ia ditengarai berada di Suriah hampir di keseluruhan tahun lalu dan berperang bersama dengan pemberontak ISIS.

Cazeneuve mengatakan bahwa ada sekitar 100 warga Prancis yang sekarang sedang akan kembali dari Suriah ke Prancis.

Pemerintah negara-negara Eropa telah memperketat peraturan anti-terorisme dalam 18 bulan terakhir ini setelah pertikaian Suriah memasuki tahun ke empat. Bulan Juni lalu, sembilan negara telah menyetujui untuk berbagi lebih banyak intelijen dan menurunkan situs web radikal untuk mencoba menghentikan warga Eropa pergi berperang di Suriah dan membawa militansi mereka pulang.

Prancis telah lama menjadi sasaran kaum militan Islam karena sejarahnya sebagai penguasa penjajahan di Afrika Utara dan masalah peleburan kaum minoritas Islamnya yang cukup banyak di sana.

Namun demikian, negeri itu telah berhasil menghindari serangan-serangan karena kelengkapan keamanannya dan peraturan antiterorismenya yang termasuk paling keras di Eropa, misalnya dengan adanya kewenangan untuk menahan tersangka selama 96 jam tanpa perlu dakwaan apapun.

Namun demikian, kemudahan komunikasi melalui media sosial dan perkembangan gejolak di Timur Tengah telah menciptakan tuntutan-tuntutan baru, dan pemerintah dihujani kritik karena tidak mencegah warga Prancis, bahkan seorang remaja berusia 14 tahun, pergi ke Suriah.

Turunkan Hasrat dan Pencegahan

“Tujuan undang-undang ini adalah untuk menambah tingkat kesulitan pergi ke sana sehingga memupuskan hasrat mereka yang ingin ke sana dan menghentikannya supaya tidak pergi,” kata sebuah sumber di Kementerian Dalam Negeri.

Pada dasarnya, peraturan itu memungkinkan pihak berwenang menghentikan warga Prancis bepergian ke luar negeri selama waktu tak terbatas jika mereka dicurigai memiliki kaitan dengan jejaring jihad.

Para penyidik sekarang akan bisa menahan dan menanyai seseorang hanya dengan bukti yang remeh, hanya dengan “kecurigaan suatu kerjasama terkait dengan terorisme” , sebagai suatu cara menangkap seseorang walaupun ia hanya sekedar kenal dengan militan potensial.

Menurut sumber itu, “Serigala penyendiri tidak selalu sendirian seperti yang kita kira.”

Undang-undang itu memungkinkan pelarangan situs-situs web yang mengedepankan terorisme tanpa memerlukan persetujuan hakim.

Rancangan peraturan itu mengundang keberatan sejumlah LSM dan wakil rakyat terkait hak azasi. Pasal mengenai internet itu telah dikirimkan ke Komisi Eropa untuk memastikan bahwa hal itu taat azas dengan perundangan Uni Eropa.

“Prancis tidak akan memberi toleransi pesan-pesan yang menyerukan atau memuliakan perang dipertontonkan di negeri ini tanpa tersentuh,” demikian cuplikan rancangan peraturan itu.

Kaum muslim Prancis merupakan yang terbesar di antara anggota Uni Eropa, ada sekitar 5 juta orang. Kebanyakan tersisih dan hidup dengan pekerjaan yang seadanya di kawasan-kawasan yang dipenuhi kekerasan.

Hingga Mohamed Merah menewaskan tujuh orang Yahudi (termasuk tiga orang anak) di bulan Maret 2013, Prancis tidak mengalami serangan besar sejak tahun 1995 --ketika Kelompok Islam Bersenjata Aljazair -- meledakkan bom di stasiun metro di Paris yang menewaskan delapan orang dan melukai puluhan lainnya. (Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini