Sukses

Kekuasaan Berdarah Jenderal Sisi dan Kekhawatiran Dinasti Arab

Abdul Fattah al-Sisi resmi dilantik sebagai Presiden Mesir pada Minggu 8 Juni 2014 kemarin. Membawa harapan sekaligus menerbitkan khawatir.

Liputan6.com, Kairo - Abdul Fattah al-Sisi secara resmi dilantik sebagai Presiden Mesir pada Minggu 8 Juni 2014. Ia menempuh jalan yang sama dengan idolanya, Gamal Abdul Nasser. Keduanya punya latar belakang militer-- satu jenderal dan lainnya kolonel. Dan mereka memakai cara yang sama untuk duduk di tampuk kekuasaan: kudeta.

Pada Rabu 3 Juli 2013, Sisi dan angkatan bersenjata menggulingkan Mohamed Morsi, presiden pertama yang dipilih secara demokratis, yang baru menjalankan pemerintahan selama setahun. Juga memberangus Ikhwanul Muslimin.

Pasukan keamanan kemudian membunuh ratusan pendukung Ikhwanul dan memenjarakan ribuan orang lainnya dalam tindakan keras yang terpolarisasi di negara Arab terbesar, yang mengontrol Terusan Suez,  dan memiliki perjanjian damai dengan Israel.

Sisi memenangkan 96,9 persen suara dalam pemilu kedua yang digelar pasca-pergolakan yang mengakhiri 30 tahun pemerintahan mantan petinggi angkatan udara Hosni Mubarak.

Dalam acara pelantikannya Sisi berjanji memerintah negaranya secara inklusif meski tak memberi indikasi ia akan berdamai dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Di tengah kekhawatiran Barat terhadap  tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, sang pemimpin baru menyerukan kerja keras dan pengembangan kebebasan 'dalam kerangka bertanggung jawab yang jauh dari kekacauan'.

Sisi mengatakan memerangi terorisme akan menjadi prioritas utamanya untuk saat ini. "Buat mereka yang menumpahkan darah orang tak berdosa, tak akan ada ruang bagi mereka," kata Sisi dalam pidato pertamanya sebagai presiden, seperti Liputan6.com kutip dari Reuters, Senin (9/6/2014)

"Aku bicara dengan tegas dan jelas, tak akan lembek dengan siapa saja yang menggunakan kekerasan atau siapapun yang ingin menunda langkah kita menuju masa depan yang kita impikan demi anak-anak kita."

Militan yang berbasis di Semenanjung Sinai meningkatkan serangan terhadap polisi dan tentara sejak penggulingan Morsi, dan menewaskan ratusan orang. Sisi juga menganggap militan lainnya yang beroperasi di sepanjang perbatasan dengan Libya yang sedang dilanda kekacauan sebagai ancaman utama.

Sejumlah kritikus khawatir, Sisi menjadi pemimpin otoriter yang akan menjaga kepentingan militer dan membentuk kembali era-Mubarak, menghancurkan harapan demokrasi.

Sementara itu, di dekat  Lapangan Tahrir, jantung simbolis protes melawan Mubarak, sejumlah pedagang kaki lima menjual kaus bergambar Sisi. Para komentator di media pemerintah dan swasta memuji sang jenderal setinggi langit, menutup mata dengan apa yang kelompok HAM menyebutnya sebagai pelanggaran massif -- dengan harapan bahwa ia dapat memberikan stabilitas dan penyelamatan keuangan negara.

Kebanyakan rakyat Mesir berbagi harapan, namun sebagian lainnya punya kesabaran terbatas. "Sisi harus melakukan sesuatu di 100 hari pertama pemerintahannya, warga akan melihat dari dekat, dan bukan tak mungkin akan ada revolusi lain," kata Israa Youssef, mahasiswa teologi.

Sikap Negara Teluk

Tergulingnya pemerintahan Mohamed Morsi disambut baik sejumlah sekutu Mesir, yang khawatir dengan kebangkitan Ikhwanul -- gerakan berusia 86 tahun yang bercabang di sejumlah negara dianggap sebagai ancaman bagi sejumlah dinasti di Teluk.

Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Kuwait mengucurkan bantuan US$ 12 miliar uang tunai dan minyak untuk membantu Mesir bangkit dari perekonomiannya yang hancur -- segera setelah Sisi tampil di televisi dan mengumumkan Ikhwanul telah tamat.

Raja Abdullah dari Arab Saudi mendesak Mesir untuk mendukung Sisi dan mereka harus mengakhiri 'kekacauan aneh' revolusi negara-negara Arab atau Arab Spring.

Emir Kuwait, Raja Bahrain, Putra Mahkota Saudi Arabia dan Abu Dhabi hadir dalam upacara pelantikan Sisi. Sebaliknya, Amerika serikat hanya mengirimkan penasihat senior Menteri Luar Negeri John Kerry. Sementara negara-negara Eropa hanya mengirim pejabat setingkat duta besar.

"Hanya mengirim duta besar menunjukkan, meski pemerintah mengakui pengalihan kekuasaan, namun mereka tak punya antusiasme besar menyambutnya," kata H.A. Hellyer dari Brookings Institution in Washington.

Tantangan berat bagi Sisi adalah soal ekonomi. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 3,2 persen pada tahun fiskal yang dimulai 1 Juli, jauh di bawah tingkat yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Seorang warga, Kamal Mahmoud (25), mengatakan optimistis pada pemerintahan Sisi. Namun, kata dia, rakyat hanya memberikan waktu 2 tahun bagi pemimpin baru untuk membawa perubahan.

"Jika tidak berhasil dia tidak punya hak untuk memegang posisi itu (presiden) dan harus bergabung dengan yang lain di penjara," kata dia.

Siapa Sisi?

Dunia hanya tahu sedikit tentang Sisi sebelum ia tampil di televisi pada 3 Juli 2013 untuk mengumumkan kudeta terhadap kekuasaan Morsi.

Sebelumnya, jenderal 60 tahun itu juga tidak dikenal secara luas oleh publik Mesir, hingga ia dinominasikan oleh Marsekal Hussein Tantawi, kepala angkatan bersenjata saat itu, sebagai kepala intelijen militer dalam Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, yang misinya adalah untuk menangani transisi pasca-Mubarak.

Ia kemudian menjadi salah satu simbol transisi Mesir, terutama pada Agustus 2012, saat Morsi -- yang baru terpilih sebagai presiden menunjukkan sebagai komandan tentara sekaligus Menteri Pertahanan. Ia menggantikan Tantawi, yang mengabdi lebih dari satu dekade dalam pemerintahan Hosni Mubarak. Kala itu, media Mesir menyebut nominasi al-Sisi "atas restu Amerika dan Saudi".

Al-Sisi adalah lulusan Akademi Militer Mesir angkatan 1977. Saat masih jadi perwira infanteri, ia melanjutkan pendidikan militer ke Inggris pada 1992, dan Amerika Serikat pada 2006.

Salah satu bukti kedekatannya dengan Washington, Jenderal al-Sisi menjadi ujung tombak Mesir dalam kerja sama dengan badan intelijen Amerika dalam perang melawan terorisme di wilayah tersebut.

Dia juga pernah menjadi atase militer di Arab Saudi di bawah pemerintahan Mubarak, dan dilaporkan masih menjaga hubungan baik dengan pejabat tinggi di Teluk.

Meski menggulingkan Morsi, al-Sisi dikenal dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Ia juga seorang yang saleh, istrinya memakai jilbab. Pamannya, Abbas Al-Sisi, adalah orang penting di Ikhwanul Muslimin. (Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini