Sukses

Canggih, Menerbangkan Pesawat dengan Kekuatan Pikiran

Para ilmuwan sedang mengembangkan pesawat yang bisa terbang tanpa kemudi. Cukup dengan kekuatan pikiran.

Liputan6.com, Munich - Mobil-mobil supercanggih yang bisa berjalan sendiri tanpa dikemudikan sudah ada teknologinya, meski masih dalam tahap pengujian. Dan kini para ilmuwan sedang mengembangkan pesawat yang bisa terbang tanpa kemudi. Cukup dengan kekuatan pikiran.

Bagaimana caranya? Tim yang terdiri dari ahli teknik mengembangkan algoritma yang bisa mengkonversi gelombang otak menjadi perintah untuk menerbangkan pesawat. Mereka berharap, sistem yang dikendalikan pikiran akan dipasangkan dengan pesawat dengan kendali khusus yang akan membuat penerbangan menjadi lebih mudah dan aman di masa depan.

"Jika terbang menjadi lebih intuitif, maka ia menjadi lebih mudah dan aman," kata Tim Fricke, insinyur penerbangan di Universitat Munchen, Jerman yang sedang mengembangkan sistem tersebut, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains, LiveScience, Kamis (5/6/2014). "Pilot yang belum terlalu berpengalaman terbang mungkin akan menjadi yang paling diuntungkan dengan cara ini."

Selama simulasi terbang virtual, para peneliti memasangkan topi putih yang dipenuhi lusinan kabel electroencephalography (EEG) ke kepala 7 penerbang untuk merekam gelombang otak subjek. Masing-masing pilot simulasi memiliki level pengalaman yang  berbeda, salah satunya bahkan belum pernah berada dalam kokpit pesawat.

Kabel EEG kemudian mengirim sinyal listrik ke komputer, yang menjalankan algoritma pengendalian pikiran. Kemudian, sistem mengonversi sinyal listrik menjadi aksi atau tindakan yang dilakukan secara nirkabel.

Gelombang otak memiliki pola yang berbeda, jadi algoritma bisa secara spesifik menyasar pikiran pengendali pesawat sang pilot.

Jadi, hanya dengan memikirkan perintah, pilot yang turut serta dalam eksperimen mampu menyelesaikan manuver seperti lepas landas dan pendaratan. Juga bisa menjaga posisi kapal terbang tetap pada derajat arah kompas yang diberikan.

Akurasi para pilot mengejutkan tim. Seandainya simulasi tersebut adalah penerbangan yang nyata, masing-masing peserta pasti lolos dalam semua persyaratan dalam ujian untuk mendapatkan lisensi terbang. Sejumlah penerbang bahkan bisa mendaratkan pesawat di landasan dalam kondisi cuaca buruk dengan jarak pandang terbatas.

Bagaimanapun, teknik pengendali pikiran punya keterbatasan. Selama penerbangan biasa, pilot mengandalkan bantuan kontrol fisik untuk menjaga pesawat tetap berada di jalur saat menembus awan dan terpaan angin kencang. Dalam penerbangan yang dikendalikan otak, pilot kehilangan umpan balik seperti itu.

Para peneliti butuh untuk merancang suatu cara untuk memperingatkan pilot yang overcorrecting atau banting setir dan akhirnya kehilangan kontrol. Hal ini bisa diatasi dengan memberikan sinyal visual atau auditori pada penerbang.

Suksesnya simulasi juga tak berarti pilot bisa langsung menukar topi kapten mereka dengan tutup kepala EEG.

"Teknologi antarmuka (interface) yang menghubungkan otak dan komputer masih sangat dini, meski kita akan melihat perkembangan luar biasa dalam beberapa tahun, aplikasi secara luas masih butuh beberapa dekade. Apalagi dalam pengendalian pesawat di mana standar keselamatan mutlak harus dipenuhi," kata Fricke.

Ke depan, para peneliti akan bekerja untuk menyusun algoritma yang siap digunakan untuk demonstrasi penerbangan berawak.

Hasil eksperimen yang dilakukan tim akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah pada September mendatang di German Aerospace Congress (DLRK), Augsburg. (Tnt)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.