Sukses

Eks Hakim MA Kecewa MK Hapus Kewenangan Tangani Pilkada

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan untuk menghapus kewenangannya menangani sidang sengketa hasil pemilu kepala daerah.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan untuk menghapus kewenangannya menangani sidang sengketa hasil pemilu kepala daerah. Permohonan tersebut diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ).

Dengan putusan itu, maka ke depan sengketa perkara pilkada atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tidak akan lagi ditangani oleh MK. Mantan Hakim Agung Laica Marzuki menilai, MK telah keliru dengan membatalkan kewenangannya sendiri tersebut.

"Putusan keliru itu. Saya tidak setuju. Bagi saya (sengketa pilkada) tetap di MK," kata Laica di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (21/5/2014).

Laica menyatakan, dia memang tidak setuju dengan putusan MK tersebut. Sebab, pemilihan seorang kepala daerah masuk ke dalam rezim pemilu. Yang artinya, mereka dipilih langsung oleh rakyat.

"Oleh karena tatkala pemilihan kepala daerah itu masuk ke rezim pemilu, maka itu masuk ke kewenangan MK atas dasar Pasal 24C ayat 1 UUD 1945," ujarnya.

Lantas siapa yang berwenang menangani sengketa pilkada ke depannya? Mengingat dalam amar putusannya, MK juga menyatakan kewenangan itu dikembalikan ke pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah?

Laica pun merasa hal itu juga tidak tepat. Karena sekali lagi, ia lebih setuju tetap MK yang menangani sengketa pilkada. "Bagaimana ya. Pokoknya selama kepala daerah dipilih secara langsung koridornya di MK," ujarnya.

Dia mengatakan, seandainya, pembentuk undang-undang menyerahkan kembali kewenangan penanganan sengketa pilkada ke Mahkamah Agung (MA), Laica tidak setuju. Sebab, jika itu terjadi maka kasus seperti Akil Mochtar yang menerima suap dari pihak berperkara bukan tak mungkin terjadi pula di MA.

"Kalau dikembalikan ke MA saya takut. Saya mantan hakim agung. Saya khawatirkan kasus semacam Akil Mochtar bukan tak mungkin akan terulang di MA," ucapnya.

Apalagi, lanjut dia, persidangan sengketa pilkada sewaktu masih ditangani MA berjalan tertutup. Berbeda dengan di MK yang berlangsung terbuka.

"Karena bagi saya pemeriksaan sengketa pilkada jangan seperti dulu di MA yang tertutup. Itu harus melalui sidang terbuka. Kalau tertutup nanti bisa masuk angin," ujar Laica.

"Lain lagi kalau kepala daerah kembali dipilih melalui DPRD, bukan secara langsung, itu bisa ditangani di MA. Tapi kalau secara langsung itu masuk rezim pemilu, ya ke MK," kata dia.

MK dalam amar putusannya menyatakan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat 1 huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 236C berbunyi mengenai penyerahan wewenang Mahkamah Agung menggelar sengketa pilkada ke MK.

Dengan putusan itu, maka ke depan sengketa perkara pilkada atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tidak akan lagi ditangani oleh MK. Namun untuk menghindari adanya kevakuman serta ketidakpastian hukum pasca-putusan tersebut, MK menyatakan, pihaknya tetap akan menyidangkan sengketa pilkada sampai ada revisi terhadap UU tersebut oleh DPR dan pemerintah, khususnya terkait dengan siapa lembaga yang berwenang untuk memutus sengketa pilkada ke depannya.

Adapun putusan tersebut tidak bulat. Dari 9 Hakim Konstitusi, 3 di antaranya menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat. Mereka yang menyatakan tak sependapat adalah Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sodiki, dan Arief Hidayat. (Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.