Sukses

Geliat 2 Gunung Berselimut Misteri

Merapi dan Slamet menggeliat nyaris bersamaan. Yang pertama bangkitkan trauma, lainnya menimbulkan kekhawatiran: Pulau Jawa terbelah dua.

Liputan6.com, Yogyakarta - Darto Utomo duduk bersila di pinggiran jalan Dukuh Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Keringat bercucuran dari dahinya. Pria 65 tahun itu baru saja menambang timbunan pasir di bawah terik Matahari yang 'memanggang' lereng Merapi siang itu. Puncak gunung berjarak tak sampai 5 km dari tempatnya mengaso.

Seperti warga lainnya, Darto kini menggantungkan hidupnya dari menambang pasir sisa-sisa material vulkanik erupsi Gunung Merapi 2010 silam. "Sebelum erupsi 2010 banyak warga yang jadi peternak sapi. Ada juga yang bertani," kata dia kepada Liputan6.com.

Amuk Merapi-lah yang mengubah wajah Kinahrejo untuk selamanya. Selasa 26 Oktober 2010 petang, awan panas alias 'wedhus gembel' menerjang. Dusun asri itu berubah jadi padang tandus diselimuti abu, nyaris rata dengan tanah. Pepohonan hangus dan meranggas. Tak ada bangunan tersisa, kecuali masjid kampung, Al Amien yang masih tegak berdiri.

Keesokan paginya, tim SAR menemukan belasan jenazah di sekitar rumah juru kunci Merapi, Mbah Maridjan. Salah satunya ditemukan dalam rumah,  tertindih puing kayu, dalam posisi bersujud. Kain batik dan sarung yang dikenakannya menjadi penanda, itu jasad si Mbah…

Erupsi Merapi juga mematikan ternak warga. Tak ada lagi rumput, ladang, atau kebun yang jadi sumber kehidupan warga. Semua habis.

Kini, 4 tahun berlalu, Kinahrejo bangkit dari kematiannya. Bagi Darto, Merapi selalu membawa berkah. Jutaan kubik pasir siap ditambang. Bencana juga menarik orang datang berkunjung, menginspirasi warga memanfaatkan daya tarik dusunnya untuk wisata. Membuat Lava Tour.

Salah satunya Warti. Perempuan 38 tahun itu banting setir, dari beternak sapi jadi tukang ojek merangkap pemandu. Menurutnya, hasilnya lebih menguntungkan dari menambang pasir.

Perbandingannya, 1 truk pasir hanya dihargai Rp 150 ribu oleh pengepul, menjadi pemandu wisata bisa dapat lebih dari itu. Menyewakan motor tril untuk sekali jalan bagi wisatawan bisa meraup Rp 250 ribu, dan mobil jip Rp 400 ribu - plus tur ke semua tempat yang disuguhkan dalam wisata 'Lava Tour Merapi'.

"Sekarang banyak warga yang jadi pemandu wisata dan tukang ojek, ngwarung, atau penyewaan jip dan motor tril. Lebih enak begini ketimbang beternak," kata Warti.

Salah satu daya tarik wisata adalah museum bekas rumah Mas Panewu Surakso Hargo alias lebih dikenal Mbah Maridjan. Di museum ini terpampang sejumlah barang-barang yang terpanggang dan lumer oleh panasnya erupsi. Ada gamelan, 2 motor milik Asih (anak Mbah Maridjan), juga mobil evakuasi jenis APV bernopol AB 1053 DB yang terbakar saat berusaha mengevakuasi si Mbah. Semua barang-barang itu relatif masih terlihat bentuknya, meski tak utuh.

Selain itu, wisatawan juga dapat melihat dari dekat petilasan Mbah Maridjan --tempat yang sengaja dibuat sebagai penanda saat jenazahnya ditemukan dalam keadaan bersujud.



Wisatawan juga akan dibawa ke Kali Opak yang berjarak hanya beberapa meter di sebelah kiri rumah Mbah Maridjan. Di kali itu, guguran awan panas dan kubah lava Merapi meluncur deras saat erupsi 2010 lalu.

"Kami juga memandu sampai ke bunker yang saat erupsi 2006 memakan 2 korban tewas," kata Bewok (40), suami Warti menambahkan.

Warga terus melanjutkan hidup, berdampingan dengan Merapi yang kini kembali 'menggeliat'. Pada 29 April 2014, status gunung ini dinaikkan menjadi Waspada (Level II). Dentuman menggelegar kerap terdengar. Membuat kaget warga di sekitarnya.

Salah satunya Tyas Nurrohmah, yang mengaku tak bisa konsentrasi belajar saat menghadapi Ujian Nasional awal Mei lalu. Dentuman yang terdengar hingga rumahnya yang berjarak 3 km dari Merapi. Ia ketakutan. Trauma dengan apa yang terjadi tahun 2010 lalu.

"Rumahku di Kopeng jaraknya 3 km dari Merapi. Ya masih sering mendengar suara dentuman. Takutlah. Gler gler gitu," kata Tyas kepada Liputan6.com.

Meski demikian, Juru kunci Merapi Mas Bekel Anom Suraksosihono alias Asih mengatakan, bagi warga Kinahrejo dan Pangukrejo, Merapi adalah sahabat. Tak perlu ada yang ditakuti, namun bukan berarti bisa 'ditantang'.

Dukuh Kinahrejo dan Pangukrejo selalu jadi zona merah di Kecamatan Cangkringan jika Merapi meningkat aktivitasnya. Status zona merah itu diberlakukan, karena kedua dukuh itu hanya berjarak sekitar 3-4 kilometer dari Puncak Merapi. Paling dekat.

"Merapi sebagai alam itu bukan musuh, tapi merupakan kawan, sahabat. Karena Merapi adalah sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar," kata anak ketiga Mbah Maridjan itu.

"Jadi kalau Merapi sedang bergejolak, kita menjauh. Tapi kalau kondisinya bagus ya kita mendekat lagi."

'Keraton' Merapi

Bagi masyarakat sekitarnya, Merapi tak sekadar gunung - tanah yang menonjol dengan ketinggian minimal 2.000 kaki (610 m). Ia diyakini sebagai pusat kerajaan makhluk halus, mirip keraton, kesultanan atau kerajaan. Di sana dianggap manjing (tempat tinggal) para penguasa Kerajaan Mataram.

Gunung tersebut menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya.

Merapi juga dipercaya sebagai tempat tinggal leluhur Mataram dan menjadi bagian penting Keraton Yogyakarta. Itu mengapa Sultan menempatkan juru kunci di sana. Untuk menjaga harmoni hubungan antara kerajaan gaib dan kerajaan manusia. Antara manusia dan alam semesta.

Darto Utomo mengatakan, cerita bahwa Merapi adalah 'keraton' sering didongengkan oleh para orangtua dulu secara turun-temurun, lalu mengendap dalam pikiran warga.

Sepupu Mbah Maridjan itu bahkan mengaku mendapat firasat pada malam jelang 26 Oktober 2010 – hari saat Merapi meletus dahsyat. Ia bermimpi pernah disuruh ke Puncak Merapi oleh seorang kakek berjenggot putih panjang.

Dalam mimpinya itu, Darto melihat di puncak Merapi terdapat sebuah keraton atau kerajaan megah dan besar. Di dalamnya banyak orang-orang berpakaian adat lengkap ala kerjaan. Istana yang berkilauan emas tersebut tengah bersiap melakukan hajat.

"Mereka seperti lagi mau punya hajatan. Saya disuruh menabuh gamelan, tapi saya menolak dan memilih turun ke bawah. Sama kakek itu saya dikasih wejangan. Intinya semoga selamat semuanya," ujar pencukur rambut pribadi Mbah Maridjan ini.

Mimpi itu yang kemudian langsung diceritakannya ke Mbah Maridjan. Kuncen Merapi itu membenarkan mimpi Darto, bahwa Merapi adalah keraton bagi para penguasa Kerajaan Mataram. Mbah Maridjan bahkan menafsirkan bahwa mimpi Darto itu merupakan pertanda akan terjadinya bencana besar di Merapi. Benar, malapetaka itu benar-benar datang sorenya.

Darto menambahkan, eratnya hubungan masyarakat dan Merapi disimbolkan sebagai jagat tertib. Sebagai sama-sama ciptaan Tuhan, manusia dan alam tidak boleh saling mengganggu, apalagi bersifat destruktif. Ada anggapan asas seperti roda pedati. Siapa nekat mengganggu akan balas diganggu.

Hubungan manusia dan Merapi sebagai alam dalam jagat tertib itu yang kemudian diwujudkan masyarakat dalam aspek kultural spiritual, yakni melalui ritual. Masyarakat sekitar, sejak bertahun-tahun lalu selalu melakukan ritual di waktu tertentu. Baik secara individu maupun bersama-sama.

"Ada ritual yang sendiri-sendiri. Biasanya dilakukan pada malam Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon," kata Darto.

Pada malam-malam itu, warga secara sendiri-sendiri kerap datang membawa sesajen ke Puncak Kinoharjo, tempat yang paling dekat dari Puncak Merapi. Di sana mereka melakukan ritual.

Ada pula ritual atau upacara besar. Yakni upacara Suroan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Suro, upacara Nyadran yang dilaksanakan pada Bulan Ruwah atau sebelum bulan puasa, dan upacara Labuhan yang diselenggarakan setiap tanggal 25 bulan Bakdamulud (Maulid Akhir) oleh Keraton Yogyakarta yang dipimpin oleh juru kunci Merapi.

Pada bulan Sura warga kerap melakukan bersih-bersih gunung. Sebab Merapi dipercaya pada bulan ini akan mengeluarkan gas, abu, pasir, dan batuan vulkanik yang dianggap sebagai kotoran Keraton Merapi. Apalagi secara rutin 8 tahun sekali pada tahun Wawu (salah satu dari 8 nama tahun dalam kalender Jawa), Merapi dipercaya akan erupsi relatif besar. Pandangan inilah yang mendorong masyarakat melakukan ritual Suroan berupa kenduri setiap tahunnya.

Warga di sekitar Merapi juga mempercayai bahwa mereka yang menjadi korban letusan Merapi adalah orang-orang yang telah berbuat kesalahan terhadap Eyang Merapi atau penguasa Kraton Merapi. Mereka dianggap telah melupakan leluhur dan adat, maupun berbuat dosa. Agar terhindar dari perbuatan salah, dosa, atau lupa leluhur, maka ritual Nyadran diselenggarakan setiap tahunnya.

Kemudian upacara Labuhan yang juga disakralkan oleh masyarakat Yogyakarta dan khususnya sekitar lereng Merapi. Labuhan, kata Asih sang juru kunci, merupakan manifestasi budaya yang bermakna membuang, menjatuhkan atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan keraton agar sultan dan rakyatnya mendapatkan keselamatan. "Kami sebagai juru kunci itu hanya pelaksana upacara. Yang punya hajat itu keraton," ujar Asih. Lihat INFOGRAFIS di tautan ini.



Slamet ‘Penyeimbang Pulau Jawa’?



Sesuai dengan namanya, Gunung Slamet  diyakini menjadi pembawa keselamatan. Menjadi penyeimbang pulau Jawa.

"Pegangan masyarakat sekitar sesuai namanya Gunung Slamet akan membawa selamat," kata Ketua Harian Paguyuban Masyarakat Pariwisata Baturaden, Supriyono (41).

Keyakinan itu tak luntur meski gunung setinggi 3.428 meter itu kini berstatus Siaga (Level III) sejak 30 April 2014 pukul 10.00 WIB. Perkembangan terbaru, status Slamet diturunkan jadi Waspada (Level II) sejak Senin 12 Mei 2014 pukul 16.00.

Suprioyono menambahkan, Slamet adalah sumber kehidupan bagi warga. Tanah yang subur dan keindahan alamnya menjadi 'ladang' keselamatan dan kesejahteraan bagi warga sekitar. Tak terkecuali bagi warga di Desa Kemetug Lor, Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah.

Di kawasan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Puncak, mayoritas warganya terlibat dalam industri pariwisata. Baik berdagang, menjadi petugas parkir, sampai membuka tempat penginapan. Itu belum termasuk mereka yang menjadi pemandu atau menjadi staf pengelola wisata Baturaden.

Slamet juga menyediakan nutrisi bagi tanah di sekitarnya. Padi, cabai, kol, buncis, kentang tumbuh subur. "Ada juga yang jadi peternak sapi dan kambing," kata Supriyono yang akrab disapa Asong ini.



Juru Kunci Gunung Slamet, Selamet Samsuri juga mengamini bahwa Slamet akan selalu membawa keselamatan warga sekitar. Sekalipun aktivitas vulkaniknya sering meningkat, tapi bagi Samsuri dan warga lainnya peningkatan itu tak lebih dari sekadar 'batuk'.

"Yang namanya manusia kalau sesak nafas kan bisa batuk. Slamet juga hanya batuk," kata kakek 85 tahun yang punya 2 cucu itu.

Samsuri percaya, Slamet adalah tempat tinggal leluhur orang Jawa, yakni Mbah Renti, Atasangin, Tapakangin, Semput, dan Brantayudha. Kelimanya dipercaya merupakan simbolisasi 5 unsur kehidupan, yaitu air, api, angin atau udara, tanah, dan kayu.

Karenanya, untuk menjaga hubungan antara manusia dengan Slamet, Samsuri kerap melakukan ritual tersendiri, yakni Sesambetan. Ritual itu dilakukan agar Slamet selalu membawa keselamatan bagi warga sekitar. Bahkan, untuk para pecinta alam yang hendak mendaki Slamet juga diharuskan melakukan ritual Sambetan itu melalui Samsuri.

"Apalagi kalau salah satu dari leluhur itu datang melalui mimpi, maka saya wajib melakukan ritual Sambetan di rumah. Kemudian membawa sesajinya ke atas gunung," kata Samsuri.

Konon, para pendaki juga kerap menemukan 'pasar siluman'. Di dekat pos 3. Samsuri mengaku sering menemukan pasar siluman itu, tapi tak pernah melihat wujudnya dengan mata telanjang.

"Kalau wujudnya itu tidak ada. Hanya seperti ada suara-suara orang ramai. Kayak di pasar umum saja," kata Samsuri dalam bahasa Jawa halus. Indikasi adanya pasar siluman, lanjut Samsuri, juga dapat ditemukan dari sampah-sampah yang berserakan. Seperti daun-daun pembungkus makanan, plastik, dan lain-lain.

Samsuri menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir aktivitas Slamet juga selalu dipercaya berkaitan dengan penyelenggaraan acara yang bersifat nasional. Khususnya Pemilihan Presiden.

Contohnya saat Pemilu 1992, Slamet menunjukkan aktivitas vulkanik sepanjang 12 Maret sampai 4 April. Pun begitu pada Pemilu 1999 terjadi erupsi kecil di Puncak Slamet. Kemudian pada Pemilu 2009, sepanjang Mei sampai Juni, gunung yang diduga dulunya bernama Gunung Agung itu kembali batuk dengan mengeluarkan lava pijar dan asap putih setinggi 25-100 meter dari puncak.

"Hanya Pemilu 2004 Slamet tertidur," kata Samsuri terkekeh. Setelah Pemilu selesai, maka Slamet kembali tertidur. Karenanya, ia bersama warga lainnya percaya dan berharap Slamet tidak akan meletus sedahsyat Merapi atau Kelud misalnya.



Meski begitu, bukan berarti warga sekitar tak khawatir akan potensi bahaya yang besar dari letusan Slamet. Dari cerita turun menurun, jika benar-benar terjadi letusan besar, maka letusan Slamet dipercaya dapat membelah Pulau Jawa menjadi 2 bagian.

Samsuri mengetahui cerita itu. Tapi yang ia lebih khawatirkan lagi adalah jika Slamet meletus, maka tubuh gunungnya akan amblas, alias lenyap rata dengan tanah. Dengan begitu, tentu kehidupan-kehidupan masyarakat yang bergantung dari tanah Slamet akan ikut lenyap.

"Yang dikhawatirkan masyarakat kalau meletus, gunungnya itu ambles ke bawah. Habis sudah," ujar Samsuri.

Namun, anggapan bahwa Pulau Jawa akan terbelah dua jika Slamet meletus dibantah Penanggung Jawab Gunung Api Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur Umar Rosadi. "Itu cuma cerita-cerita masyarakat saja. Hanya mitos," kata dia.

Apapun, Slamet punya arti amat penting bagi masyarakat. Selain tanahnya yang subur, kosmologi Slamet lainnya, yakni terkait air juga berperan penting bagi kehidupan. 

Simbol kosmologi air itu terwujud dalam aliran sungai. Ke arah selatan, ada Sungai Serayu mengalir meliuk-meliuk bagai ular raksasa dan bermuara di Samudera Hindia. Ke utara, hampir semua aliran sungai yang mengalir melewati Kabupaten Brebes dan Tegal juga bersumber dari Slamet. Ada ratusan ribu manusia yang bergantung pada aliran-aliran sungai itu. "Kalau gunungnya habis, kehidupan warga juga habis," ucap warga bernama Sugianto menambahkan. (Ein)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Merapi dan Slamet….Riwayatmu Kini

Merapi dan Slamet….Riwayatmu Kini

Oleh: Oscar Ferri

Dalam catatan sejarah, Merapi maupun Slamet diketahui sudah puluhan kali erupsi. Keduanya adalah jenis gunung stratovolcano (berbentuk kerucut). Kedua gunung di Jawa Tengah itu juga masuk kategori gunung api tipe A atau gunung api yang setidak-tidaknya pernah sekali meletus setelah tahun 1600.

Untuk Slamet, sepanjang sejarahnya sudah 42 kali meletus. Letusan pertama teridentifikasi pada 1772 dan terakhir 2014. Salah satu letusan terhebat Slamet terjadi pada 1988. Namun, tetap saja erupsi Slamet tidak bisa disamakan dengan Merapi atau Kelud yang punya dampak erupsi sangat besar dan berbahaya.

Menurut Penanggung Jawab Gunung Api Wilayah Jawa Tengah-Jawa Timur Badan Geologi Kementerian ESDM Umar Rosadi, Slamet bukan tipe gunung yang eksplosif saat erupsi. Sifat letusannya strombolian atau lontaran-lontaran kecil seperti kembang api.

"Tipe gunungnya strombolian, artinya lontaran-lontaran lava pijar dan material vulkanik itu hanya di sekitar kawah. Paling jauh itu 1,5 kilometer. Berbeda dengan Merapi dan Kelud yang eksplosif," kata Umar.

Sementara Merapi sedikitnya mengalami erupsi sebanyak 84 kali --versi lain menyebut 68 kali letusan. Dari catatan itu, Merapi mengalami erupsi kecil setiap 2 sampai 3 tahun sekali dan erupsi besar setiap 10-15 tahun sekali.

Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Sri Sumarti mengatakan, letusan terdahsyat Merapi era modern terjadi pada 2010 lalu. "2010 terdahsyat yang saya alami. Wong awan panasnya sampai 15 kilometer. Pada 2006 hanya 8 kilometer," kata Sri.

Erupsi Merapi pada 2010 memang dianggap sebagai letusan terdahsyat, selain juga erupsi pada 2006 dan 1994. Pada masa prakemerdekaan, Merapi juga pernah tercatat meletus besar pada 1786, 1822, 1872, dan 1930.

Khusus pada 1930, kekuatan erupsinya ditengarai setara dengan erupsi 2010. Hal itu terindikasi dari jumlah korban jiwa. Pada 2010, erupsi Merapi menewaskan sampai 273 orang, sedangkan letusan 1930 menewaskan kurang lebih 1.400 orang.

Kini status Merapi kembali dinaikkan menjadi Waspada atau Level II. Mengingat Merapi adalah salah satu gunung 'terganas' di Indonesia, aktivitas vulkaniknya menjadi perhatian serius BPPTK Yogyakarta. Status Waspada disematkan ke Merapi sejak 29 April 2014 lalu.

Ada 2 dari 4 paramater yang diamati untuk status Waspada itu. Yakni parameter visual dan sesmik atau kegempaan. Kedua parameter itu  menunjukkan peningkatan. Secara visual terdapat asap yang muncul dan terdengar suara gemuruh sampai radius 8 kilometer dari puncak. Sementara, berdasarkan sesmik, sejak 4 Mei sampai 9 Mei ada 40 kali guguran material vulkanik, 3 kali gempa vulanik, dan 43 kali gempa tektonik. "Untuk sementara masih 2 parameter," kata Sri.

Sifat erupsi Merapi sendiri selalu menimbulkan kubah lava. Sri menjelaskan, Merapi punya kubah lava yang sangat besar. Kini kubah lava yang terbentuk dari erupsi tahun-tahun sebelumnya itu sudah hancur akibat erupsi pada 2010. Termasuk kubah lava Puncak Garuda yang sudah ada sejak 1940-an dan terkenal di kalangan pendaki gunung.

Sri menjelaskan kubah lava terbentuk akibat dari penumpukan lava yang keluar dari dapur magma di lubang kepundan. Penumpukan lava itu yang semakin lama dan bertahun-tahun makin besar pada akhirnya mengendap.

Jika suatu gunung api kembali erupsi mencapai puncaknya, kata Sri, dorongan aktivitas lava dari dapur magma akan membuat kubah lava itu jadi tidak stabil dan membuatnya longsor atau gugur ke bawah mengikuti aliran morfologi tubuh gunung, misalnya aliran sungai. Longsoran kubah lava juga kerap diikuti lelehan lava yang keluar dari lubang kepundan setelah naik dari dapur magma.

Saat lelehan lava yang keluar itu mengenai air tanah atau genangan air, akan menimbulkan ledakan freatik atau biasa disebut awan panas. Guguran kubah lava dan awan panas itu sangat berbahaya. Ia akan menghanguskan atau bahkan melenyapkan apa saja yang dilewatinya.

Selain itu, naiknya lava juga menyebabkan timbulnya letusan material vulkanik yang terdiri dari abu, asap, dan bebatuan ke udara. Kuatnya letusan itu tergantung dari berapa banyak energi yang terkumpul dari dapur magma.

Perihal Merapi, erupsi yang biasanya terjadi hanya berupa guguran kubah lava dan awan panas. Namun, saat erupsi pada 2010 lalu, Merapi juga menimbulkan letusan material vulkanik berdaya eksplosif ke udara.

"Tipe erupsi Merapi ada 2 macam, yakni efusif dan eksplosif. Contoh efusif yang erupsi 2006, yang awalnya terjadi penumpukan magma dan membentuk kubah lava, kemudian tidak stabil lalu melongsorkan material cukup banyak dan menimbulkan awan panas ke bawah," kata Sri.

"Dan contoh eksplosif adalah erupsi 2010. Begitu terjadi erupsi material vulkanik yang dilontarkan setinggi 10.000 meter ke udara," ujar Sri. Ia menjelaskan, letusan pada 2010 tak sepenuhnya menghancurkan kubah lava di Puncak Merapi. Sisa-sisa kubah lava masih ditemukan di sekitar puncak.

"Kubah lava yang sisa erupsi 2006 sudah habis semua. Tapi kubah lava yang sisa erupsi 1992, 1997, dan 1998 masih ada sedikit," kata dia.

Bukan tak mungkin, sisa kubah lava itu akan bertambah besar dan luas ke depannya jika mengingat Merapi kerap erupsi dalam rentang waktu cukup dekat. Kumpulan kubah lava ke depannya juga dapat menyumbat aliran lava di lubang kepundan seperti yang terjadi pada 2010 lalu.

Lantas, apakah erupsi Merapi ke depan sama dengan erupsi sebelumnya? "Itu yang belum bisa kita prediksi. Merapi masih terus kita pantau," ujar Sri. Baca INFOGRAFIS selengkapnya di tautan ini. (Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.