Sukses

Korut Dipimpin Organisasi Bayangan, Kim Jong-un Hanya Simbol?

Menurut seorang pembelot Korut sekaligus penyair propaganda kesayangan Kim Jong-il, sang pemimpin belia bukan pemegang kendali.

Liputan6.com, London - Meski masih berusia muda, 31 tahun, pemimpin belia Korea Utara, Kim Jong-un sudah menunjukkan tajinya. Ancaman nuklirnya sempat menimbulkan kekhawatiran perang bakal bergolak di Semenanjung Korea. Ia juga mengeksekusi mati mantan kekasihnya, Hyon Song-wol juga paman sekaligus eks mentor politiknya, Jang Song-Thaek.

Tapi, benarkah kendali Korut ada di tangannya? Menurut seorang pembelot Korut sekaligus penyair propaganda kesayangan Kim Jong-il, jawabannya: bukan.

"Ketika Kim Jong-il meninggal dan Kim Jong-un menggantikan posisinya, orang melihatnya sebagai sebuah suksesi dari ayah ke anak lelakinya," kata Jang Jin-Sung, si pembelot, kepada wartawan CNN Christiane Amanpour, seperti dikutip Liputan6.com, Jumat (9/5/2014). "Yang tak mereka pantau adalah apa yang terjadi pada aparat dari sistem totaliter yang mendukung pemerintahan Kim Jong-il."

Jang menambahkan, aparatus tersebut atau Organization and Guidance Department (OGD) -- Departemen organisasi dan bimbingan beranggotakan orang-orang dekat Kim Jong-il dan teman-teman satu universitasnya. Sebuah jaringan pertemanan yang menjelma menjadi organisasi pengawasan yang massif.

Sementara, "Kim Jong-un mungkin punya teman di Swiss, tapi tidak di Korut," kata Jang.

Eksekusi sang paman, Jang Song-Thaek adalah pukulan telak bagi Kim Jong-un. "Ia menjadi yatim piatu -- tak hanya dalam hal hubungan keluarga, tetapi dalam hal politik," kata Jang Jin-Sung. "Dia yatim piatu secara politik."

Sejak saat itu, Kim Jong-un bergantung pada jaringan lama sang ayah. Namun, OGD tak menghormati Kim muda, yang bersekolah di Swiss, tak seperti yang mereka lakukan pada ayahnya. "Kim Jong-un menjadi tidak lebih dari pimpinan simbolis Korea Utara," kata Jang.

'Pemimpin Bukan Dewa'

Di Korut, di mana warganya tertutup dari dunia luar, pemimpin ibarat dewa. Demikian juga perasaan Jang Jin-Sung pada mendiang Kim Jong-il, ayah Kim Jong-un.

"Sampai aku secara langsung bertemu dengan Kim Jong-il, aku menganggap dia sebagai dewa, orang suci yang bijak -- seorang yang layak dihormati, yang jauh lebih baik dari kita, yang mengorbankan hidupnya sendiri untuk orang lain," kata dia.

Saking efektifnya mesin propaganda, Jang bahkan mengira Kim senior tak perlu ke toilet untuk buang hajat.

Suatu hari, Jang si penyair menarik perhatian Kim Jong-il yang mengundangnya untuk bertatap muka. "Orang yang ada di hadapanku ternyata manusia biasa, bukan orang suci apalagi dewa. Ia hanya pria sepertiku yang butuh ke toilet."

Dalam propaganda, Kim kerap menggunakan bahasa dengan struktur sempurna yang berbunga-bunga. "Tapi saat aku bertemu dengannya, ia bicara dengan bahasa gaul seperti yang digunakan kelas pekerja," kata Jang. "Itu membuatku terkejut."

Bahkan, tambah dia, Kim menggunakan sepatu berhak tinggi untuk membuatnya terlihat lebih menjulang.

Dengan keistimewaan yang ia dapatkan, bisa bertemu langsung dengan Kim senior di ruangan tertutup, Jang bebas dari segala prasangka rezim. Ia menjadi 'istimewa'. Tapi justru dari situlah ia dengan gamblang menyaksikan segala kebohongan yang dijejalkan ke otak rakyat kebanyakan.

Matanya makin terbuka saat kembali ke kampung halamannya di Sairwon, di mana kelaparan merajalela. Jasad-jasad kurus, tulang berbalut kulit,  ditumpuk begitu saja dan dibawa pergi. Sekitar 3,5 juta rakyat Korut diperkirakan tewas dalam bencana kelaparan pada tahun 1990-an. Demikian menurut LSM Korsel, Good Friends Center for Peace, Human Rights, and Refugees. Sementara, versi resmi Korut menyebut angka jauh lebih kecil, 'hanya' 220 ribu.

Jang juga menyaksikan eksekusi publik yang brutal. "Itu bukan hukuman bagi sebuah tindakan kriminal, lebih sebagai metode edukasi moral dan membentuk standar moral masyarakat. Itu mengapa eksekusi dilakukan di depan umum, seperti di halaman pasar yang ditonton banyak orang," kata Jang. "Seperti teater."

Satu dekade lalu, Jang memutuskan untuk lari dari negaranya. Bahkan keluarganya tak mengetahuinya -- ketidaktahuan itu menyelamatkan mereka. 

Jadi, apakah rezim bisa runtuh? Menurut Jang, saat ini, ada dua kelas di Korea Utara yang saling bertempur yakni para loyalis dan kelas pasar -- yang kesetiaan terhadap Kim Il-sung (kakek Kim Jong-un sekaligus pendiri Korut) dikalahkan, misalnya, gambar George Washington di lembaran dolar AS.

Perubahan drastis di Korut, kata Jang, bisa terjadi. Tapi bukan dengan negosiasi dengan rezim, melainkan pengetahuan. "Kebenaran akan membebaskan Korut." (Sss)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini