Sukses

Media Sosial Untuk Rekrutmen Jihad di Suriah

Abad informasi sekarang ini memberikan warna lain tentang berbagai hal yang dulunya tidak selalu kita pahami dengan segera.

Liputan6.com, London - Abad informasi sekarang ini memberikan warna lain tentang berbagai hal yang dulunya tidak selalu kita pahami dengan segera. Informasi tersedia dengan segera dan dalam hitungan penambahan biaya (marginal cost) yang semakin kecil. Keberadaan sarana informasi yang demikian telah menyingkapkan sudut pandang lain akan keterlibatan para pemuda Inggris untuk menjadi petempur jihad di Suriah. Seperti dilansir dari The Guardian, Twitter, Facebook, Skype dan berbagai media sosial lain sejenisnya bahkan menjadikan peneliti terhanyut ke dalam pengalaman pribadi tentang pertempuran yang terjadi jauh dari kampung halaman:

Dalam suatu ruang bawah tanah di bawah Strand di London, hanya beberapa meter jauhnya dari kedai-kedai kopi di Somerset House, dua orang ilmuwan duduk mengelilingi laptop mereka.

Satu orang menempatkan dirinya di atas bola latihan berwarna merah muda terang, yang satunya memilih kursi kantoran. Selama beberapa hari, minggu, dan bulan mereka menggunakan layar komputer sebagai gerbang masuk ke dalam satu dari sekian banyaknya pertikaian paling berdarah di jaman modern ini sebagai upaya mereka untuk mengerti, mengenal, dan memberi suara kepada orang-orang muda yang memilih untuk meninggalkan demokrasi yang telah menjadi rumah mereka untuk bergabung dengan pemberontak di Suriah yang memerangi rezim Assad.

Dalam perang yang bisa dibilang jauh berbeda dari yang biasanya, orang-orang muda ini menggunakan jangkauan yang segera dan mendunia dari media sosial, aplikasi telepon pintar dan Skype untuk berbincang-bincang, berbagi pengalaman, menggalang calon pejuang dan mengumpulkan dana dari rumah hanya dengan poster dan video amatir.

Selama satu setengah tahun terakhir ini, Shiraz Maher dan Joseph Carter, dari International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence, telah mengumpulkan, meneliti dan memilah informasi sembari berhadapan secara langsung dengan bertambahnya jumlah warga asing dari negara-negara seperti Inggris, Belgia, Perancis, Jerman, Skandinavia, dan Australia yang bepergian ke Suriah dan jelas-jelas bergabung dengan kelompok-kelompok tempur jihad semisal Isis dan al-Nusra.

Penelitian dari ICSR yang berbasis di King’s College dalam bulan Desember 2013 memperkirakan ada sekitar 1.900 orang dari Eropa Barat yang telah bepergian ke Suriah untuk bertempur, termasuk di dalamnya 296 orang dari Belgia, 249 orang dari Jerman, 412 orang dari Perancis, dan 366 orang dari Inggris.

Ada kemiripan dengan kisah komedi di Inggris tentang kaum muda muslim Inggris yang menyerukan jihad, dengan gambar-gambar dan tulisan-tulisan yang dikumpulkan dan diteliti oleh para cendekiawan ini: gambar-gambar para pemuda melambai-lambaikan senjata Kalashnikov selagi duduk di atas tank dan bercanda di kolam renang untuk memamerkan sedikit kemewahan kampung halaman yang masih mereka bisa nikmati— Crunchy Nut Corn Flakes dari Kellogg, Nutella, dan Haribos—yang ketersediannya di konflik di sana memunculkan istilah 'jihad bintang lima' dari para petempur Inggris itu.

Namun di belakang tampilan orang-orang muda yang dijatahi berbagai senjata ini, komunikasi oleh para petempur Inggris di Suriah melalui Twitter, Facebook, Tumblr, AskFM, dan aplikasi sejenis Whatsapp dan Kik memberikan sesuatu yang oleh Maher dikatakan sebagai pemahaman yang tak terduga tentang motivasi dan kegiatan mereka yang menyebabkan kekhawatiran bagi pihak keamanan dan polisi di Inggris.

Sebetulnya sejak tahun 2012-lah ICSR mulai menganalisa, mengamati, dan berhubungan dengan para pemberontak asing yang, berdasarkan bukti-bukti yang ada, semakin banyak menyeberangi perbatasan Turki untuk bergabung dalam pertempuran.

Professor Peter Neumann, direktur di ICSR, mengatakan, "Satu hal yang pernah kami lakukan dulu adalah untuk belajar dari keberadaan para ekstremis di media sosial. Apa yang kami dapati adalah bahwa para pejuan asing yang mulai bergabung dengan pemberontakan di tahun 2012 ternyata semuanya melalui media sosial dan gagasan untuk menggunakan semuanya."

Lembaga itu melacak kaum pria muda Inggris—dan segelintir wanita muda—dari kota-kota semisal Bradford, Manchester, London, Birmingham, Portsmouth, dan Desa Crawley, yang sekarang berada di Suriah bersama-sama kelompok-kelompok jihad.

Maher telah membina hubungan dengan beberapa orang yang berbincang-bincang secara teratur dengannya. "Kami merasa senang dengan tingkat akses yang telah kami capai," ujarnya.

Ia menyadari bahwa sebagian dari apa yang telah dikatakan harus ditanggapi dengan hati-hati. Namun ia yakin bahwa ia dapat mempercayai hampir sebagian besar informasi yang dikumpulkannya.

"Saya kira penting untuk memberikan individu ini kesempatan bersuara," katanya. "Penting bagi kita untuk mengerti mereka dan menjauh dari hingar bingar yang bisa saja melingkupi hal ini."

Akses yang terjadi berjalan 2 arah: media sosial telah membolehkan mereka yang bergabung dengan jihad di Suriah tetap mengikuti apa  yang sedang berlangsung di Inggris. "Mereka sangat mengikuti apa yang terjadi di sini," kata Maher.

Suatu artikel oleh George Monbiot di harian Guardian memperbandingkan para petempur jihad ini dengan orang-orang asing yang berperang dalam perang sipil di Spanyol, misalnya, dengan segera terbaca oleh para pelaku jihad Inggris di Suriah, demikian menurut ICSR.

Maher dan kelompoknya berhasil memberitakan kematian sekitar sepuluh petempur Inggris yang terbunuh di Suriah. Ketika Abdul Waheed Majeed dari Crawley mengemudikan bom truk ke gerbang penjara Aleppo dalam suatu serangan bunuh diri, Maher mendapatkan pesan singkat di jam 5 pagi yang berisi berita kematian itu dari seorang Inggris di Suriah.

Kematian dari seseorang yang dihubunginya secara teratur member sentuhan pribadi kepada Maher daripada orang-orang lain. Iftikhar Jaman, usia 23, mendapat pendidikan swasta dan pernah bekerja di pusat panggilan di Portsmouth sebelum berperjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan Isis, salah satu kelompok jihad yang terganas yang terlibat dalam peperangan. Maher menyebutnya sebagai seorang yang saleh yang digerakkan oleh alasan kemanusiaan untuk bertempur jihad demi menolong orang-orang Suriah.

Ketika ia gugur pada Desember lalu, citra dirinya membanjiri poster propaganda yang disebarkan melalui media sosial oleh para petempur Inggris di Suriah. Salah satunya bertuliskan, "Seorang pria yang meninggalkan kampung halamannya untuk berjuang bagi kaum yang tertindas…kedengarannya sangat terhormat kecuali ketika Anda menambahkan 'pria Muslim'. Tiba-tiba saja dia dipandang sebagai teroris."

Maher yakin bahwa dengan penting sekali untuk mengerti motivasi para pemuda Inggris ini yang mengalami radikalisasi ataupun digerakkan oleh alasan kemanusiaan untuk pergi ke Suriah dan angkat senjata. "Kebanyakan dari mereka yang kembali tidak akan menjadi masalah di sini. Jadi kita perlu mendukung dan mengerti mereka ketika kembali, dan banyak yang mengalami masalah kejiwaan dan tekanan paska-trauma."

Namun demikian, kelompok ini menerima penilaian polisi dan pihak keamanan bahwa ada suatu risiko 'hantam balik'—suatu bentuk ancaman oleh para pejuang asing yang pulang kembali ke kampung halaman mereka. Jenis ancaman seperti inilah yang memunculkan kenaikkan jumlah orang yang ditangkap dalam triwulan pertama dari tahun pelanggaran yang terkait terorisme karena mengupayakan perjalanan ke Suriah atau pada saat kembalinya mereka. Hingga saat penulisan ini, ada sekitar 30 penangkapan di Inggris.

"Akan ada segelintir orang yang kembali yang menjadi keji dan mengalami radikalisasi dan telah belajar keahlian teroris yang sangat baik, yang dapat membuat alat-alat peledak, dan yang mengetahui bagaimana caranya menangani persenjataan," ucap Neumann. "Segelintir orang inilah yang bisa jadi terlibat dengan pelanggaran teroris di sini."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini