Sukses

Ilmuwan: Suvenir Darah Raja Louis XVI saat Dipenggal Palsu

Maximilien Bourdaloue konon mencelupkan sapu tangan ke genangan darah Louis XVI. Disimpan dalam labu botol dan bertahan hingga kini.

Liputan6.com, Barcelona - Pada 1793, revolusi Prancis masih berlangsung. Rakyat yang marah menyerbu istana. Sang Raja Louis XVI ditangkap dan akhirnya dihukum dengan guillotine atas dakwaan pengkhianatan pada 21 Januari 1793, di hadapan para penonton yang bersorak saat kepalanya terpisah dari raga.

Sebagai penanda peristiwa itu, seseorang bernama Maximilien Bourdaloue konon mencelupkan sapu tangannya ke genangan darah Louis XVI. Kain dengan noda darah itu disimpan di wadah dari kulit labu botol.

Namun, baru-baru ini ilmuwan menyimpulkan, sampel darah itu mungkin tidak otentik.

Para ahli yang mengurutkan genom (sekuensing) sampel darah itu mengatakan, diduga kuat itu bukan milik Raja Prancis dari Dinasti Bourbon itu. Studi tersebut dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports.

Para ilmuwan menduga, labu botol dan isinya itu mungkin adalah hasil karya penipu dari Abad ke-18 yang berharap meraup untung dengan menjual kenang-kenangan dari era revolusi.

Profesor Carles Lalueza-Fox dari  Institute of Evolutionary Biology, Barcelona, Spanyol mengatakan, "Di era Revolusi Prancis, guillotine memenggal orang tiap harinya, mungkin lebih mudah mendekati jasad orang-orang biasa daripada seorang raja,"

"Mungkin ada yang ingin mencari kesempatan. Untuk mencari untung. Toh tak ada orang yang bisa mengenali apakah itu adalah darah raja atau bukan," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Jumat (25/4/2014).

Kain bernoda darah yang disimpan dalam labu botol. Selama seabad terakhir berada di tangan sebuah keluarga Italia.

Labu botol itu didekorasi gambar pahlawan revolusioner dan mencantumkan tulisan, "Pada 21 Januari, Maximilien Bourdaloue mencelupkan sapu tangannya ke genangan darah Louis XVI setelah dieksekusi."

Para ilmuwan meneliti genom yang berhubungan dengan penampilan fisik. Potret Louis XVI menggambarkan dia bermata biru, namun sampel darah itu adalah milik seseorang yang cenderung bermata hijau.

"Kemungkinan orang ini memiliki mata biru sangat rendah. Hanya sekitar 3 persen," kata  Profesor Lalueza-Fox.

Catatan sejarah, termasuk korespondensi dari istri Louis XVI,  Marie Antoinette, juga menyatakan sang raja bertubuh sangat tinggi. Tinggi rata-rata pria Prancis saat itu adalah 167 cm, namun Louis XVI setidaknya memiliki tinggi badan 185 cm.

"Ada penanda genetik dalam kasus yang ekstrem untuk orang-orang yang sangat tinggi atau orang-orang yang sangat pendek," kata dia, "Sampel ini  tak memiliki penanda yang berkaitan dengan orang yang sangat tinggi."  

Para ilmuwan juga melihat sisi keturunan, yang menunjukkan dari bagian Eropa mana nenek moyang seseorang berasal.

DNA dari sampel menunjukkan individu memiliki akar yang ditelusuri dari Prancis dan Italia, sementara banyak dari nenek moyang Louis XVI dari dari Jerman dan Polandia.

Tim menyimpulkan bahwa sangat tidak mungkin bahwa itu adalah darah Louis XVI .

Hal ini mendukung studi lain yang diterbitkan tahun lalu, yang membandingkan sampel darah itu dengan dua kerabat Louis XVI yang masih hidup. Hasilnya tak cocok.

Louis XVI semula dicintai rakyatnya. Namun ketidakcakapannya dalam memerintah dan sikap konservatif membuat rakyat berbalik membencinya.

Dendam dan amarah juga dilampiaskan pada para raja terdahulu. Rakyat menyerbu makam para raja. Mereka membuka makam, memutilasi jasad, dan lalu menguburkan sisa-sisa jasad itu di pekuburan umum di dekatnya. Dalam insiden ini kepala Raja Henry IV hilang. (Yus Ariyanto)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini