Sukses

Jurus Banteng Kalahkan Mercy

Perolehan suara sejumlah partai melonjak tajam, lainnya anjlok. Yang jelas, tak ada satu parpol pun yang dominan. Koalisi harga mati.

Liputan6.com, Jakarta Oleh: Sunariyah, Silvanus Alvin, Widji Ananta, Taufiqurrohman

Belasan pasang mata memandang lekat sebuah layar besar yang terpasang di dinding. Mencermati angka demi angka yang terus berubah. Sorak sorai pecah saat partai bernomor urut 4 merajai hasil quick count. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ada di antara mereka. Mega pun mesam mesem…

“Selalu senyum, bahkan begitu hasilnya quick count (PDIP) di atas, beliau dan Mbak Puan (Puan Maharani) berpelukan, terharu,” kata Wakil Sekjen Bidang Internal DPP PDIP, Eriko Sotarduga, yang menyaksikan adegan yang tak terpantau para juru warta itu kepada Liputan6.com.

Sekitar pukul 19.00 WIB, Rabu 9 April 2014, Mega dan Puan lalu menggelar konferensi pers. “Alhamdulillah, setelah kami mengikuti sejak siang tadi sampai malam ini melalui quick count yang dilakukan oleh internal PDIP, ingin memberikan satu gambaran bahwa saya ingin mengucapkan terima kasih kepada yang memberikan dukungannya kepada PDIP. Dari hasil yang terus kami pantau dari pileg (pemilu legislatif) ini unggul, kami nomor 1 dari hasil sementara,” kata Megawati.

Kemenangan PDIP sebenarnya sudah diprediksikan banyak pihak. Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif IndoStrategi, Andar Nubowo, mengatakan, kemenangan PDIP seperti déjà vu.

Menurut Andar, PDIP yang pada pemilu 2009 berada di posisi ketiga, berhasil melesat sebagai pemenang pemilu karena mendapat limpahan suara dari Partai Demokrat. “Perolehan suara PDIP banyak disumbang orang-orang yang kecewa dengan Demokrat,” kata Andar.

Beberapa tahun menjelang pemilu, partai berlambang Mercy itu memang tengah dibelit banyak masalah. Tak hanya terkait korupsi, tapi juga konflik internal partai.

Pilihan politik PDIP sejak Pemilu 2014, yang bersikukuh menempatkan diri sebagai oposisi, juga dianggap menjadi faktor penentu. “Setia menjadi oposisi, sedikit banyak memberikan kunci kemenangan,” kata Pakar Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing.

Menurut Emrus, pilihan menjadi oposisi telah membuat PDIP terlihat sebagai partai yang tak tergiur kekuasaan. Berbeda dengan dua partai besar lainnya, Demokrat dan Golkar. Posisi ini juga yang memperkuat citra PDIP sebagai partai pro-rakyat.

Itu juga yang terlihat di mata pemilih. Seorang warga bernama Alireza yang biasanya memilih Partai Islam, mengubah haluan memilih PDIP. “PDIP paling konsisten sebagai oposisi,” kata pria 37 tahun itu yang memilih di TPS 13, Pangkalan Jati, Cinere, Jakarta Selatan.

Alireza juga mengaku kepincut dengan sejumlah tokoh muda PDIP seperti Jokowi dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Bukan karena Jokowi

Pemilihan masih sehari lagi. Namun, Nur Sukarno sudah semangat untuk menggunakan hak pilihnya. Laki-laki 38 tahun itu terdaftar sebagai pemilih tetap di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 02 Pinayungan, Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat. Toh, Nur yang tinggal di Jakarta tak mempersoalkan lokasi itu. Agar bisa sampai di TPS dan mencoblos pagi-pagi sekali, Selasa siang (8/4/2014), Nur berangkat ke Karawang.

“Mencoblos PDIP dong, Jokowi,” katanya semringah sambil memperlihatkan tinta ungu yang masih menempel di ujung kelingkingnya, Jumat 11 April 2014.  Nur semangat menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum 9 April 2014, tak lain karena faktor Jokowi. Nur yang sebelumnya kader Partai Amanat Nasional kepincut dengan calon presiden PDIP itu sejak Jokowi dicalonkan menjadi  gubernur DKI Jakarta.  “Dia figur pemimpin yang melayani rakyat, bukan dilayani,” dia beralasan.

Meski memilih partai yang sama, Saida (38) memilih PDIP bukan karena Jokowi. Perempuan berkerudung  yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan, itu mengatakan memilih partai berlambang banteng moncong putih itu karena partainya lintas sektarian, merangkul  berbagai kelompok masyarakat, termasuk minoritas. “Kalau untuk presiden inginnya sosok tegas kayak Prabowo,” ujarnya saat ditanya Liputan6.com, Kamis malam 10 April 2014.

Sejumlah pengamat berpendapat, efek Jokowi pada pemilihan legislatif tak terlalu digdaya. Emrus Sihombing menilai, upaya PDIP memasang Jokowi sebagai mesin pendulang suara, dinilai tak terlalu berpengaruh mendongkrak perolehan partai besutan Mega itu. Kendati unggul pemilu legislatif, namun PDIP tak berhasil meraih 25 persen suara. Padahal jumlah ini merupakan syarat bagi partai atau gabungan partai politik untuk bisa mengusung kadernya sebagai calon presiden. Seperti hasil quick count CSIS dan Cyrus Network, PDIP hanya memperoleh 18,94 persen suara. Angka ini hanya lebih 4,91 persen dari perolehan pemilu 2009 yakni 14,03 persen.

Dan meski menjadi perolehan paling tinggi sejak Pemilu 2004 – di mana PDIP meraih suara 18,53 persen – pencapaian itu belum bisa melampaui atau setidaknya menyamai perolehan pada Pemilu 1999 yang sebesar 33,74 persen.

Gejala belum kuatnya “Jokowi effect” sebenarnya juga sudah terlihat tahun lalu, pada pemilihan kepala daerah di Jawa Timur pada September 2013. Pasangan yang diusung PDIP, Bambang DH dan Said Abdullah, harus rela menerima kekalahan dari lawannya. Padahal sebelumnya pasangan ini menjadikan Jokowi sebagai juru kampanye mereka.

Figur Jokowi juga tak berhasil membantu kemenangan Rieke Diah Pitaloka yang bertarung dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat Februari 2013 lalu. Padahal Rieke, yang berpasangan dengan Teten Masduki, selalu mengenakan kemeja kotak-kotak khas Jokowi, setiap berkampanye.

Padahal pemilu tahun ini PDIP menargetkan mendapat 27,02 persen suara. Ketua DPP PDIP Bidang Politik Puan Maharani saat membacakan rekomendasi Rapat Kerja Nasional ke III, 8 September 2013, mengatakan, jumlah ini berdasarkan kalkulasi matang setelah mempertemukan berbagai variebel penting. Jika target itu tercapai, PDIP berpeluang mendapatkan 152 kursi di DPR.
Tapi hingga dua hari setelah pemungatan suara, perolehan suara PDIP tak beranjak dari angka 19 persen. Jokowi menolak dikaitkan dengan hal tersebut. “Yang terpenting kan menang. Kita sudah juara 1, masih ribut saja,” ujar orang nomor satu di Jakarta ini.

Mantan walikota Solo ini juga menolak dijadikan penentu kemenangan partai yang dikenal dengan istilah “Jokowi effect”. “Yang sebenarnya berjuang di tiap daerah adalah caleg, bukan saya. Tapi kok nyerangnya saya.”

Dia mengingatkan, penghitungan suara belum selesai. Menurut Jokowi, partainya sudah bekerja keras. “Saya kira pergerakan semua partai pada kondisi injak pedal gas total semua,” ujar Jokowi di rumah dinasnya di Jalan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 9 April 2014.

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristyanto, rendahnya perolehan suara ini akan dievaluasi oleh partai. Khususnya evaluasi terhadap Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) yang dipimpin Puan. “Evaluasi (Bappilu) akan dimasukkan dalam kongres partai.” Tak hanya itu, Hasto mengungkapkan partainya akan membuat strategi baru untuk memenangkan pemilu presiden 9 Juli mendatang.

Beringin yang Stagnan

Sambil menggandeng cucu, Mikhayla Zalindra Bakrie, dan didampingi istri, Tatty Murnitriati, anaknya Ardi Bakrie, serta menantunya, Nia Ramadani, Aburizal Bakrie berjalan penuh semangat menuju TPS, 9 April 2014 lalu. Bibirnya tersenyum sambil sesekali bersalaman dengan warga yang berpapasan dengannya. Pada hari pemilihan itu, sang cucu dan menantu yang seorang artis, kompak mengenakan baju kuning.

Sayang, pesona yang ditebarkan Aburizal sekeluarga tak mampu menarik simpati mayoritas pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 32, SDN 02 Menteng, Jakarta Pusat. Partai Golkar kalah dari PDIP, juga Gerindra. “Nggak apa-apa, yang penting hasil secara nasional,” kata Ical menanggapi hasil pemungutan suara di TPS-nya.

Benar saja, menurut hasil hitung cepat nasional meski disalip PDIP, Golkar masih ada di atas Gerindra dengan perolehan suara di kisaran 14 persen. Sebelumnya, Golkar menargetkan sedikitnya memperoleh 26 persen suara. Jumlah perolehan kali ini tak berbeda dibandingkan perolehan dalam Pemilu 2009 yang juga 14 persen.

Pada Pemilu 1999 – yang digelar kali pertama sejak Orde Baru tumbang -- Golkar berada di posisi kedua dengan perolehan suara 22,44 persen. Suara ini turun pada Pemilu 2004 menjadi 21,58 persen

“Target minimal tidak tercapai, ini menjadi masalah. Aburizal Bakrie harus menjelaskan,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung.

Meski tak puas dengan hasil Pileg, Golkar mengatakan tetap mengusung Ical sebagai capres. Ketua DPP Golkar Hajriyanto Y Thohari mengatakan, partainya tak akan mengubah kebijakan tersebut. Untuk bisa bertarung dalam pilpres, Golkar akan berkoalisi dengan partai lain.

Hajriyanto mengungkapkan, partainya menyasar partai Islam untuk diajak berkoalisi. “Partai menengah dan partai Islam menjadi penentu. Partai menengah yang memperoleh 6-9 persen suara memiliki posisi tawar tinggi sekali,” katanya. Kepastian koalisi dilakukan setelah KPU mengumumkan hasil penghitungan suara.

Meski berkoalisi, Direktur Eksekutif Polcomm Institute, Heri Budianto, meragukan kemampuan Ical bisa merebut kursi presiden. Bahkan, ujarnya, jika partai kuning ini tetap mengusung Ical, akan sulit bagi mereka mendapatkan koalisi. Menurut Heri, elektabilitas Ical rendah, yang dibuktikan dengan perolehan suara Golkar yang stabil. “Jelas elektabilitas ARB kalah dengan Jokowi,” ujarnya.

Prabowo Effect

Gerindra membuat kejutan dalam Pemilu 2014. Partai yang dipimpin Prabowo Subianto berhasil melesat menempati posisi ketiga. Berdasarkan hitung cepat CSIS dan Cyrus Network, Gerindra memperoleh 11,82 persen. Hampir tiga kali lipat dibandingkan perolehan pemilu 2009 yang hanya 4,46 persen.

Gerindra bersinar di pemilu 2014 bersama Partai Kebangkitan Bangsa. PKB yang mengusung pedangdut Rhoma Irama sebagai Capres berhasil memperoleh 9,19 persen, jauh lebih besar ketimbang pemilu 2009 yang hanya 4,49 persen.

Sejumlah pihak mengatakan, kemenangan Gerindra tak lepas dari sosok Prabowo. Disebut-sebut “Prabowo effect” bahkan berhasil mengalahkan “Jokowi effect”. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Agung Suprio, dalam keterangan tertulisnya mengatakan, kemenangan ini karena Prabowo berhasil mengemas dirinya untuk tampil lebih baik dan lebih terbuka kepada media.

Kemasan itu bahkan membuat Prabowo berhasil membangun citra sebagai capres tegas dengan visi misi partai jelas. Untuk semakin memperkuat citranya sebagai tokoh pembaharu, dalam sejumlah kampanye, putra ekonom Soemitro Djojohadikusumo itu selalu berusaha tampil menyerupai tokoh pendiri bangsa, Sukarno.

Saat kampanye di Senayan, Jakarta, Minggu 23 Maret 2014, mantan Danjen Kopassus ini mengenakan safari putih kantong empat, peci hitam, dan keris yang terselip di pinggang kiri, yang merupakan ciri khas Sukarno.

Perolehan suara ini membuat Gerindra percaya diri untuk tetap mencalonkan Prabowo sebagai presiden. Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi mengungkapkan, jika PDIP berkoalisi dengan partainya, mereka harus rela menjadikan Jokowi calon wakil presiden.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mencapai hasil mengejutkan. Melejit hampir 100 persen. Pada Pemilu 2009 lalu, PKB hanya  mendapat 4,94 persen. Sedangkan hasil quick count Pemilu 2014 berhasil meraih sekitar 9 persen.

Berdasarkan survei Litbang Kompas, partai hijau yang didirikan almarhum presiden Gus Dur mendapat banyak suara dari perempuan (57,9 persen), dari masyarakat berpendidikan rendah (51,2 persen), masyarakat pedesaan (77,0 persen), dan masyarakat yang tinggal di Jawa (80,6 persen).

Ada yang mengatakan, kenaikan signifikan suara PKB gara-gara efek Rhoma Irama. “Ada yang bilang Jokowi effect nggak ngefek. Malah banyak yang bilang Ksatria Bergitar yang lebih berefek,” kata Ketua DPP PKB Helmy Faishal Zaini.

Helmy pun menerangkan setidaknya ada 2 contoh konkret yang menunjukkan dahsyatnya efek Rhoma Irama si pemeran utama film lawas 'Ksatria Bergitar' itu.

Pertama, tutur dia, menyemutnya massa setiap kampanye PKB di mana Raja Dangdut tersebut menjadi juru kampanye nasional (jurkamnas). “Kira-kira 3 sampai 4 bulan selama kita sosialisasi PKB dari Aceh sampai Timur Indonesia, seluruh titik yang didatangi Rhoma memang dihadiri 10 sampai 20 ribu orang, dan nggak ada pengerahan massa,” jelas Helmy.

Selain itu, sambung dia, saat Rhoma mendatangi daerah yang bukan kantong massa PKB membawa keuntungan yang luar biasa. Di daerah yang PKB jarang menang, malah mendapat kursi setelah didatangi Rhoma.

Dipuji setinggi langit, Rhoma memilih merendah. “Bisa-bisa  saja siapa pun menilai seperti itu. Yang penting itu masyarakat menilai dan pastinya itu bukan klaim dari saya. Itu penilaian masyarakat,” ujar Rhoma saat ditemui Liputan6.com.

Dia justru menganggap penyebab melesatnya suara PKB kali ini karena mesin politik partai benar-benar berjalan maksimal. Apalagi, tidak hanya dirinya, rekan-rekannya sesama juru kampanye PKB seperti Ahmad Dhani dan bakal capres PKB lainnya Mahfud MD juga ikut

“Saya rasa  banyak unsur lain, pertama NU di bawah kepemimpinan Kiai Said Aqil juga bergerak. Lalu ada Ahmad Dhani, ada Mahfud MD. Dan saya rasa orang bebas untuk menilai seperti apapun,” kata Rhoma. Lihat INFOGRAFIS di tautan ini.

Pertanyaannya, jadi nyapres nggak, Bang Haji? (Elin Yunita Kristanti)


* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gembos karena Dihajar Media dan Ulah `Tuyul`?

Gembos karena Dihajar Media dan Ulah `Tuyul`?

Oleh: Mevi Linawati, Silvanus Alvin, Widji Ananta, Ahmad Romadoni

Demokrat adalah fenomena partai baru yang bisa langsung meroket. Baru sekali bertarung di Pemilu Legislatif 2004, dengan perolehan hanya 7,45 persen, parpol ini sanggup mengusung Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Republik Indonesia dalam Pilpres. Kala itu SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Kekuatan Demokrat makin tak terbendung dalam Pemilu 2009, dengan raihan suara 20,85 persen, dan kembali mengantar SBY ke kursi RI 1. Berpasangan dengan Boediono.

Namun, kejayaan Demokrat tampaknya mulai memudar. Rabu 9 April 2014, nuansa tegang menaungi kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Jelang tengah malam, Yudhoyono akhirnya menampakkan diri sekaligus menggelar jumpa pers.

Sang Ketua Umum Partai Demokrat berdiri membawa secarik kertas putih. SBY mengenakan kemeja biru motif kotak-kotak, diapit sejumlah petinggi partai. Edhie Baskoro Yudhoyono, di sebelah kanan, dan Syarief Hasan di sisi kiri. Semua mengenakan baju warna biru.

Yudhoyono mengakui keunggulan para lawan politiknya.“Atas nama Partai Demokrat, saya mengucapkan selamat kepada seluruh parpol yang memperoleh suara tinggi. Khususnya PDIP, Partai Golkar, dan Gerindra,” kata SBY.

Dalam pemilu kali ini, perolehan suara Partai Demokrat memang anjlok. Berdasarkan hitung cepat dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network, suara yang diperoleh Demokrat hanya 9,66  persen. Terjun bebas dibandingkan Pileg 2009 yang mencapai 20,85 persen.

SBY pun mengakui, perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu kali ini menurun bila dibandingkan Pemilu 2009. Dia pun yakin, hasil hitung cepat beberapa lembaga survei tidak berbeda jauh dengan hasil resmi penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kami menerima sepenuhnya hasil suara yang Partai Demokrat dapatkan pada Pemilu 2014,” sambung  SBY. Berdiri di sampingnya, Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya.

SBY juga menegaskan, sama sekali tak terpikir dalam benaknya, telah terjadi kecurangan pemilu yang menyebabkan suara Demokrat melorot. Ia pun meminta kepada kadernya di seluruh Indonesia agar bersikap lapang dada. Partai Demokrat akan terus melakukan evaluasi terkait hasil pemilu ini.

“Saya menyampaikan kepada para kader Demokrat di seluruh Tanah Air untuk menerima hasil ini dengan  lapang dada. Kita, PD sedang melakukan evaluasi atas suara yang dicapai dan dan pada saat yang tepat akan saya sampaikan kepada kader,” tutur SBY.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjadi salah satu daerah di mana perolehan suara Demokrat anjlok. Ketua DPP Partai Demokrat, Roy Suryo, yang juga mencalonkan diri sebagai Caleg DPR-RI Dapil DIY,di Nomor 1 menyatakan, suara Demokrat di DIY merosot tajam.

“Perolehan suara di Yogyakarta tahun 2004 dan 2009 di atas 20 persen, sekarang ini turun tajam sekali, mungkin hanya sekitar 6 persen, itu normal dalam iklim demokrasi kita,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga itu saat meninjau lokasi Pelataran Candi Prambanan, Sleman, DIY, Jumat 11 April 2014.

Petinggi dan kader Demokrat pun mulai berasumsi mengapa suara partai 2014 turun drastis dibandingkan Pemilu 2009. Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Marzuki Alie, menduga, salah satu penyebabnya  adalah kasus korupsi yang membelit sejumlah kader partai.

"2 tahun Demokrat dihajar media. Apapun ceritanya, tertanam di otak masyarakat, 'Partai Demokrat partai koruptor'. Kami masih bersyukur masuk 4 besar," kata Marzuki Alie di Galeri Cafe, Cikini, Kamis 10 April 2014.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Dede Yusuf, mengatakan, walaupun setiap kader harus legowo menerima hasil suara yang jeblok seperti perintah SBY, baginya perjuangan belum selesai. Semua kader harus tetap mengawal suara dari TPS ke Panitia Pemungutan Suara, berlanjut ke Panitia Pemilihan Kecamatan hingga kabupaten/kota sampai pleno KPU.

“Kami harus waspada adanya 'tuyul' politik yang bisa mencuri suara atau adanya pihak-pihak yang menghalalkan semua cara belanja suara,” kata Dede Yusuf dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com.

Karena itu, ia menginstruksikan kepada para saksi di PPS/PPK untuk camping atau bermalam di tempat proses penghitungan suara, guna menjaga suara agar jangan ada segel yang rusak dan dokumen C1 asli atau palsu alias aspal.

Gede Pasek Suardika, mantan kader Demokrat yang dipecat dan kini menjadi Sekjen PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) – yang digagas eks Anas Urbaningrum – urun pendapat. Dia menilai, kemerosotan ini karena di saat partai sedang dalam tahap penyelamatan, dipimpin oleh orang yang tidak profesional mengurus partai.

Dia berpendapat, Demokrat hanya mengandalkan figur SBY  yang aktif kampanye, menyelamatkan partai ketika kader yang lain sibuk mengurusi urusan masing-masing.

Namun, menurutnya, perolehan suara Partai Demokrat tersebut sudah cukup bagus. Karena,  berdasarkan hasil dari lembaga survei sebelum pelaksanaan pileg, suara Demokrat berada pada kisaran 5-6 persen. “Berdasarkan quick count itu cukup bagus.Ini tentu berkat Pak SBY. Nggak dapat dibayangkan tanpa  Pak SBY. Kalau cuma Pak Syarief Hasan bisa lebih parah daripada ini,” ujar Pasek kepada Liputan6.com, Kamis 10 April 2014.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga memberi tanggapannya. Menurut Anas, bukan hal aneh suara Demokrat dalam Pileg turun.

Dia menduga, menurunnya perolehan suara Demokrat disebabkan sejumlah faktor. Di antaranya kader  Demokrat yang terjerat kasus korupsi hingga kinerja pemerintahan yang  tidak memuaskan publik.

Di mata Anas, seandainya Demokrat sebagai partai utama penyokong pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono itu dapat memuaskan publik, maka elektabilitasnya bisa melonjak tajam. Begitu juga sebaliknya, kalau pemerintahan dianggap tidak memuaskan publik, pasti juga berdampak pada elektoralnya ke partai yang  ada di pemerintahan, terutama Demokrat partai yang menjadi pilar utama pemerintahan. “Itu rumus umum demokrasi di manapun. Bukan hal aneh,” kata dia.

Anas menilai, perolehan suara Demokrat berdasarkan hitung cepat antara 9-10 persen, sudah sangat bagus. Seharusnya Demokrat bersyukur atas pencapaian itu.“Ini juga sudah dibantu oleh kesebelasan konvensi, kalau  tidak ada, mereka nggak akan tembus 9-10 persen,” ujarnya.

Apa Kabar Konvensi Demokrat?

Untuk meningkatkan citranya yang sedang terpuruk, Demokrat bahkan sampai menggelar konvensi untuk menjaring calon presiden.

Ada 11 nama yang siap jadi capres Demokrat: Dahlan Iskan, Dinno Patti Djalal, Gita Wirjawan, Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Pramono Edhie Wibowo, Endriartono Sutarto, Marzuki Alie, Irman Gusman, Hayono Isman, dan Sinyo Harry Sarundajang.
Lalu bagaimana nasib konvensi setelah perolehan Demokrat jeblok?

Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan menyatakan, partainya tidak bisa mencalonkan presiden sendiri dalam Pilpres 2014.
“Kalau suara segitu, kami akan realistislah. Kita tidak akan ajukan capres, tapi cawapres. Tapi itu kami akan bahas lagi nanti,” ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis 10 April 2014. ”Konvensi itu untuk capres, bukan untuk cawapres. Rencananya kami umumkan hasilnya akhir Mei, tapi berhubung suara kami 10 persen, ini sedang kita bahas secara internal.”

Pun demikian dengan Marzuki Alie. Dia mengusulkan sebaiknya Konvensi Capres Partai Demokrat segera dihentikan. Sebab, Demokrat tidak cukup untuk mengusung sendiri. Kalaupun berkoalisi bargaining power-nya (daya tawar) tak kuat. Meski sudah pesimis dengan konvensi, Marzuki menilai pemilihan capres dengan cara itu perlu dilakukan di masa mendatang. “Konvensi ini pembelajaran yang luar biasa. Ke depan konvensi ini harus tetap dilanjutkan.”

Sebaliknya, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Hayono Isman, tetap bersikukuh partainya masih punya peluang ajukan capres. “Tentu koalisi dengan partai lain, silakan mengajukan cawapresnya.”

Hayono menilai, dengan perolehan suara 10 persen, kesempatan mengajukan capres sendiri masih sangat terbuka lebar. “Nanti katakanlah Partai Demokrat posisi ke-4. Saya pikir masih sangat  memungkinkan mengajukan capres sendiri, tentu dengan koalisi,” lanjutnya.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Melani Leimena Suharli, berpendapat seiring dengan rendahnya perolehan Demokrat, maka konvensi bias diubah. Yang semula untuk menentukan capres kini turun satu tingkat, menjadi cawapres.

“Konvensi kan bukan saja menentukan capres nantinya, bisa juga cawapres, melihat perolehan di Demokrat tidak bisa mengusung capres sendiri, tentunya koalisi itu cair,” terang Wakil Ketua MPR itu. Dia pun siap bila partai pimpinan SBY itu siap jadi oposisi. “Bisa  koalisi, bisa oposisi,” tandas Melani.

Pengamat politik Andar Nubowo mengatakan, permintaan penghentian sementara Konvensi Demokrat  berarti menandakan ajang ini tidak memenuhi harapan dalam meningkat popularitas kuantitatif.

“Penghentian itu, menandakan bahwa konvensi tidak memenuhi harapan dan target partai untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas PD di tengah badai politik dan hukum yang menimpa kader-kader PD,” ujar Andar.

Selain itu, tambah dia, efek yang diciptakan oleh 11 peserta konflik terbenam oleh seorang ‘one man show’ yakni Joko Widodo. Jadi, sejak awal pergelaran dari konvensi tidak bergitu bergema.

“Penghentian ini tampaknya juga disebabkan konvensi kurang menarik antusiasme publik, sehingga sejak awal pagelaran konvensi terasa adem ayem dan kurang menggigit di masyarakat,” kata Andar.

Suara ‘Mudik’ ke Partai lain

Korupsi yang menjerat kader penting di Partai Demokrat serta kinerja pemerintahan yang buruk dinilai menjadi penyebab keoknya suara partai yang berkuasa sejak 2004 ini. Demokrat ditinggalkan pemilihnya.

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia, Denny JA, menilai, masalah korupsi terutama yang terkait Bank Century menjadi salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Demokrat. Ditambah juga ada beberapa elite partai yang menjadi tersangka korupsi.

“Kasus Century sampai saat ini belum selesai, apalagi kasus ini selalu dikaitkan dengan biaya pemilu 2009,” kata Denny, Rabu 9 April 2014.

Dia menambahkan, sebagai imbas dari kasus tersebut, para pemilih memutuskan untuk beralih ke partai lain. Pemilih kembali ke partai semula. Apalagi Demokrat pada pemilu sebelumnya mengambil suara di kantong-kantong partai lain seperti PDIP dan Golkar. Kini pemilih Demokrat ‘mudik’ ke partai yang dipilih sebelumnya.“Para pemilih sekarang pulang kandang. Jadi, otomatis suara Demokrat menurun,” lanjutnya.

Hal itu juga didukung karakter pemilih Indonesia yang didominasi situasi terbaru. Pada 2009 SBY memang sangat disukai masyarakat, sehingga elektabilitas mencapai 60 persen. Sekarang, SBY sudah tak lagi disukai.“Dari sini juga terbukti opini publik itu berubah tergantung situasi. Dulu suka SBY sekarang tidak,” tandas Denny.

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte, menambahkan, selain ekspose kasus korupsi petinggi Partai Demokrat, adanya politik dinasti juga mempengaruhi pemilih tidak mencoblos partai yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono.

Misalnya, posisi Sekretaris Jenderal Demokrat yang dijabat putra bungsu SBY, yaitu Edhie Baskoro Yudhoyono, dan beberapa kadernya masih merupakan saudara dari SBY dan Ani Yudhoyono. “Politik dinasti, politiknya masih personal. Demokrat akan  seperti itu,” ujar Philips kepada Liputan6.com.

Dia menjelaskan, tak dapat dipungkiri, tingginya angka persentase PDIP, Golkar, dan Gerindra dalam perhitungan cepat sejumlah lembaga survei merupakan sumbangan para pengikut Demokrat yang sudah kecewa dengan permasalahan korupsi.

"Pasti ada pindah ke mana-mana suara dari partai Demokrat. PDIP dapat, Golkar, Gerindra. Suara Partai Demokrat nggak pindah ke 1 partai saja. Terbagi-bagi dan ke mana-mana itu," kata Philips.

Sementara, Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Hanggoro Doso, berpendapat, ada faktor ‘Nazaruddin effect’ dalam merosotnya suara Demokrat. Nazaruddin yang sempat menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat ini menyeret petinggi Demokrat dalam kasus korupsi sehingga menjadi pemberitaan luas. Sebutlah nama Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng. "Faktornya masih karena Nazaruddin effect," terangnya.

Direktur Eksekutif IndoStrategi, Andar Nubowo menegaskan, ketokohan SBY sudah diprediksi tidak akan berlanjut mampu menghipnotis kembali para pemilih guna mencoblos Partai Demokrat. Apalagi, karakter  SBY yang suka curhat kepada rakyat.

“SBY sudah memudar pengaruhnya. Tidak seperti tahun 2004 dan 2009 di mana seorang SBY adalah penentu utama kemenangan PD. Publik kini tidak lagi melihat SBY sebagai pemimpin politik dan bangsa yang disegani,” ujarnya.

Andar juga mengatakan, konflik internal antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan mantan ketua umum Anas Urbaningrum juga turut memengaruhi perolehan suara. Beberapa loyalis Anas ikut keluar dari partai.

“Selain itu, pencapresan Gubernur DKI Jokowi dari PDIP yang popularitasnya di mata publik lebih tinggi daripada peserta Konvensi Demokrat,” ujarnya.

Andar juga mencermati, kondisi ekonomi, pangan hingga permasalahan energi dianggap tidak berjalan sesuai platform yang dulunya ditawarkan pemerintahan SBY-Boediono kepada masyarakat saat berkampanye.

Untung SBY `Turun Gunung`

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby mengatakan, perolehan suara Partai Demokrat pada hasil hitung cepat sementara lebih besar ketimbang hasil survei yang banyak muncul jelang Pemilu Legislatif 2014. Disinyalir, naiknya perolehan suara Demokrat itu lantaran SBY  `turun gunung` mempertahankan partai.

“Dalam survei terakhir kita, Partai Demokrat mendapat 6 persen suara, tapi pada quick count ini naik sampai 9%," kata Adjie Alfaraby kepada Liputan6.com di Jakarta.

Adjie menjelaskan, peran SBY pada Pemilu 2014 ini sangat membantu mempertahankan suara Demokrat yang tergerus akibat kasus korupsi yang menjerat kadernya. Kedatangan SBY dalam beberapa kesempatan dinilai cukup menjaga suara Demokrat.

"Demokrat naik dari 6% ke 9% karena SBY memegang kontrol utama. Turunnya SBY saat kampanye masih bisa mempertahankan pemilih," lanjutnya.

Adjie menilai, perolehan 9% merupakan suara asli pemilih setia Partai Demokrat. Pemilih ini yang tidak terpengaruh dengan isu apapun yang menerpa partai.

Direktur Eksektif Indobarometer Muhammad Qodari mengatakan, basis massa dari Partai Demokrat belum ada. Basis pemilih dari Demokrat adalah massa yang ngefans dengan sosok SBY.

“Makanya banyak yang menyebut juga Demokrat adalah partai kultus individu atau partai fans klub. Belum bisa disamakan dengan PDIP yang punya basis marhaenisme, PKB dengan NU atau PAN dengan Muhammadiyah-nya,” ujar Qodari.

Dia menyebut massa Demokrat adalah massa cair yang tidak jelas kelembagaannya. Pemilih cair ini tergantung isu dan kepuasan terhadap SBY. “Pemilihnya masih alay atau anak layangan, kemana angin bertiup dia akan berjalan,” terangnya. Qodari menduga, salah satu tempat pelarian terbesar pemilih Demokrat adalah ke PDIP dan Gerindra. Hal ini terbukti dengan naiknya perolehan suara kedua partai tersebut.

Ke depan, Demokrat harus memperkuat kaderisasi bukan tergantung lagi kepada figur SBY. Apalagi, SBY tidak akan maju lagi dalam pemilihan presiden berikutnya. “Andalkan sistem, belajar dari Golkar,” kata dia.

Dia menambahkan, karena tren pemimpin mendatang berasal dari daerah, maka sebaiknya Demokrat membangun kinerja dengan baik supaya bisa membangkitkan lagi suara yang jeblok.

'Hukuman  Publik'

Selain Demokrat, partai lain yang merosot perolehannya adalah Partai Keadilan Sejahtera. Pada Pemilu Legislatif 2009, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendapatkan 7,8 persen suara. Sementara itu berdasarkan hitung cepat survei  dari CSIS dan Cyrus Network pada Jumat 11 April 2014 memeroleh 6.92 persen.

Presiden PKS Anis Matta langsung menginstruksikan para kader dan simpatisan, untuk mengawal dan mengawasi dengan ketat rekapitulasi penghitungan suara.

“Rekapitulasi pada PPS rawan terjadinya kesalahan maupun penyimpangan. Seluruh struktur partai, kader dan para caleg harus ikut mengamankan suara, sehingga penyimpangan dapat dicegah,” ujar Anis Matta di Kantor DPP PKS.

Semua bentuk kecurangan, lanjutnya, harus segera dilaporkan. Agar pesta demokrasi yang sejauh ini telah berjalan aman dan lancar tidak ternoda. Dia optimistis, perolehan suara PKS pada penghitungan  resmi dari KPU bisa lebih tinggi. Sebab, berdasarkan perhitungan real count yang dilakukan tim internal, untuk sementara angkanya mendekati 10 persen.

“Angkanya masih fluktuatif dan belum stabil. Tapi kami optimis Insya Allah perolehan suara dan kursi PKS akan lebih tinggi dibanding pemilu 2009,” ujarnya.

Anis menegaskan, yang terpenting saat ini PKS sudah bekerja keras.“Kami sudah bekerja keras. Kalau kalah tidak akan diratapi, kalau menang kami tidak akan takabur,” kata Anis.

Ia mengatakan, padahal, partai yang dipimpinnya sudah cukup modal untuk meraih target 3 besar dalam pemilu 2014. Salah satunya, 4 gubernur di Indonesia yang dipimpin politisi PKS. “Kami punya 4 gubernur di seluruh Indonesia. Kalau dihitung kasar saja ada sekitar 60 juta suara, itu tidak sedikit,” lanjutnya.

Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera menilai, ada beberapa faktor yang membuat suara PKS turun. Di antaranya adalah figur. “Sekarang peran paling kuat adalah figur. Kita tetapkan capres itu baru di akhir-akhir. Kita tahu membangun figur itu lama. PKB ada figur-figur seperti Rhoma, Mahfud MD,” kata dia.

Kedua, faktor pemberitaan mengenai kasus korupsi yang menimpa kadernya. “Kita ini partai yang bersih, noda setitik saja pasti kelihatan. Beda kalau kita hitam, nggak terlalu kelihatan. Tapi ini nggak apa-apa, dan ini akan membuat PKS terpacu untuk jadi lebih baik lagi,” ujar Mardani.

Denny JA menilai, anjloknya suara PKS berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga survei, diduga karena kurang bergeraknya mesin partai. Padahal, pertarungan di Pemilu 2014 sangat berat. Selain itu, kasus korupsi yang membelit mantan presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq.

Luthfi terjerat kasus korupsi penambahan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Nama petinggi PKS yang sebelumnya dikenal bersih ini langsung tercoreng.

Selain itu, PKS harus berebut suara dengan partai lain, misalnya Hanura dan NasDem. “Selain kasus korupsi, faktor itu yang membuat PKS turun. Sehingga, suara PKS banyak terbagi dengan adanya beberapa faktor itu,” lanjutnya.

Dalam hasil exit poll yang dilakukan Indikator, PKS menempati posisi 8 dengan perolehan suara 5,1 persen. PKS hanya berada di atas NasDem, Hanura, PBB, dan PKPI.

Direktur Riset Indikator, Hendro Prasetyo, menambahkan, PKS sedang mendapatkan hukuman masyarakat. Publik terlanjur kecewa dengan sikap partai yang awalnya dipandang agamis dan bersih itu.

“PKS kan citranya partai bersih dan karena panggilan agama. Itu beda dengan partai  nonagama.  Bobotnya agamis dan bersih, sehingga masyarakat harapannya tinggi. Kalau ada kesalahan itu lebih  mengecewakan.”

Sementara, Direktur Eksektif Indobarometer Muhammad Qodari menuturkan, perolehan suara PKS sekarang sebenarnya lumayan dibandingkan dengan yang dialami Partai Demokrat. Karena, berdasarkan survei sebelum Pileg 2014, PKS diprediksi tidak lolos ambang batas masuk parlemen.

“Jadi, kalau ikut fenomena Demokrat maka PKS diprediksi hanya raih 4 persen. Bahkan banyak menduga tidak lolos karena kasus korupsi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq. Ini kan suaranya di atas Hanura, masih lumayan,” ujarnya kepada Liputan6.com.

Qodari mengatakan, PKS adalah partai yang unik. PKS memilih kader tulen yang banyak di seluruh Indonesia. Sebelum menjadi partai, PKS adalah organisasi kegiatan sosial keagamaan yang sekarang usianya hampir 30 tahun. “Itulah basis massa PKS sebenarnya,” kata dia.

Menurut Qodari, pemilih PKS pada Pileg 2014 ini adalah basis massa tersebut yang tidak terpengaruh dengan pemberitaan negatif. Mereka adalah golongan religius dan sering terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan.

Dia menambahkan, PKS sebenarnya bisa menambah suara lagi. “Walaupun memang dengan kasus Luthfi tersebut membuat daya jangkau PKS terbatas.” (Elin Yunita Kristanti)

3 dari 3 halaman

Koalisi Masih Berbasis `Dagang Sapi`?

Koalisi Masih Berbasis `Dagang Sapi`?

Oleh: Rochmanuddin, Silvanus Alvin, Ahmad Romadoni, dan Widji Ananta

Pemilu legislatif (Pileg) telah usai. Hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum diketahui. Namun, dari hasil quick count atau hitung cepat sementara sejumlah lembaga survei, terlihat tak ada partai yang sanggup mendulang suara 20 persen.

Hasil hitung cepat Centre for Stategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network, misalnya, mencatat 3 partai dengan perolehan suara terbesar. Mereka adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan capaian18,94 persen, Partai Golkar 14,32 persen, dan Partai Gerindra 11,82 persen.

Menilik aturan main, tak ada yang bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden secara mandiri. Harus berkoalisi--kecuali jika sejak awal meniatkan diri menjadi oposisi. UU Pemilu menyatakan, untuk bisa mengajukan calon secara mandiri, sebuah partai politik atau koalisi partai politik mesti minimal memenangkan 25 persen suara sah atau memperoleh paling sedikit 20 persen kursi parlemen.

Koalisi tak terelakkan. 3 Poros partai, yakni PDIP, Golkar, dan Gerindra mulai sibuk mencari mitra. "Sebenarnya bisa saja muncul poros ke-4. Tapi, dengan aturan 25 persen, sepertinya memang tipis muncul poros ke-4. Jadi poros koalisi akan bertumpu pada 3 partai tersebut, PDIP, Golkar, dan Gerindra," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN) Umar S Bakry kepada Liputan6.com, Kamis 10 April 2014.

Peluang kecil munculnya poros keempat atau Poros Tengah Jilid II juga ditegaskan peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani. Sebab, sistem pemilihan presiden sekarang ini berbeda dengan Pemilu 1999 saat muncul fenomena Poros Tengah. Jika dulu MPR yang memilih, kini rakyat yang punya kuasa.

“Poros Tengah terbentuk pada 1999. Waktu itu pemilihan presiden tidak dilakukan rakyat, dilakukan anggota MPR. Jadi popularitas calon tidak penting. Setelah 2004 kan dipilih rakyat,” ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat 11 April 2014.

Sejauh ini, PDIP memajukan nama Joko Widodo, Golkar mengusung Aburizal Bakrie, dan Gerindra menjagokan Prabowo Subianto dari Gerindra. Memang, jika partai Islam dan “berbau” Islam seperti PKB (9 persen), PPP (7 persen), PAN (8 persen), dan PKS (7 persen) membentuk sebuah poros, suara mereka akan lebih dari cukup. Namun, kalau tak ada sosok capres yang lebih kuat, tetap akan sulit meraup suara.

“Dukungan dan elektabilitas tak penting pada 1999. Sementara, sekarang, dukungan rakyat menjadi sangat penting. Di antara partai-partai itu tak ada figur yang bisa menarik pemilih dengan kuat. Daya tarik mereka lemah,” tandas Saiful.

PDIP

Pengamat politik dari Pol-Tracking Institute Hanta Yudha menilai, untuk koalisi yang akan dijalin 3 partai terbesar dalam Pemilu 2014 ini, tentu akan melihat persamaan ideologi dan chemistry para pemimpin partainya. Yang sudah tersirat, PDIP akan sangat mungkin berkoalisi dengan Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebab, visi misi nasionalis yang dimiliki PDIP beririsan dengan platform Nasdem dan PKB.

"Untuk PDIP, kemungkinan bisa berkoalisi dengan Nasdem. Hal itu karena hubungan Surya Paloh dan Megawati mempunyai history yang baik, juga dengan Taufiq Kiemas. Dan, faktor persamaan ideologinya. Untuk PKB, ini adalah partai yang memiliki basis massa Islam tradisionalis seperti NU. Cocok juga. Jika mereka berkoalisi itu sudah cukup melengkapi 25 persen presidential threshold," papar Hanta.

Direktur Riset Saiful Mujani Research and Consultan (SMRC) Djayadi Hanan juga memperkirakan PDIP akan berkoalisi dengan Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Secara ideologi dan platform, PDIP dinilai cocok dengan Nasdem. Apalagi, melihat pergerakan capresnya, Jokowi, belakangan ini sudah jelas. Dari sisi suara pun sudah cukup untuk mengusung Jokowi," kata Djayadi.

Benar saja. Partai Nasdem resmi menyatakan berkoalisi dengan PDI Perjuangan pada Sabtu 11 April lalu. Ketua Umum Nasdem Surya Paloh mengatakan, partainya juga akan mendukung Jokowi sebagai calon presiden dalam Pemilu Presiden 9 Juli mendatang.

Pengumuman koalisi diungkapkan Paloh setelah bertemu Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo dan capres PDIP Joko Widodo atau Jokowi selama 1 jam di kantor DPP Nasdem, Jakarta. Menurut Paloh, partainya mau berkoalisi karena memiliki visi-misi yang sama, dan yang terpenting sama-sama mendukung Jokowi sebagai capres. "Capres PDIP sama juga seperti dari Nasdem, Joko Widodo," kata pria brewokan itu.

Golkar

Di pihak lain, Golkar belum memastikan mitra koalisi. Pada kenyataannya, menurut Hanta Yudha, partai ini relatif dekat dengan Hanura jika mengingat masa lalu Wiranto yang pernah di Golkar.

Sementara, menurut Djayadi, Partai Golkar diperkirakan akan merangkul kembali Partai Demokrat sebagai rekan pada Pilpres 2014 mendatang. "Kalau kita lihat, secara sejarah dan kedekatan, Golkar dan Demokrat sudah sangat dekat. Karena itu, ada kemungkinan keduanya membangun koalisi bersama," tandas Djayadi.

Ketua DPP Golkar Hajriyanto Y Thohari menyatakan, partainya berkomunikasi dengan partai lain untuk posisi cawapres. Terkait arah koalisi, menurut Hajriyanto, Golkar membuka pintu untuk partai manapun. Namun, ia menyadari, partai penentu koalisi adalah partai tengah dan partai Islam. "Partai menengah memiliki posisi tawar tinggi sekali," ujar Wakil Ketua MPR itu.

Menurut Hajriyanto, berkoalisi itu keharusan buat Golkar. Seandainya meraih suara di atas 20 persen, Golkar juga menyatakan siap berkoalisi. Soal kemungkinan oposisi, “Golkar itu kan susah menolak ajakan bersama-sama mengelola negara. Kalau parpol lain nggak mau Golkar di dalam pemerintahan, jangan diajak. Sekali diajak, pasti mau,” pungkas Hajriyanto.

Gerindra

Perihal Gerindra, partai yang mengusung Prabowo sebagai capres ini paling mungkin menggaet PAN untuk rekan koalisinya. "PAN mungkin berharap dilamar PDIP, tapi melihat sekarang sudah tidak mungkin. Saya rasa, PAN akan memilih bergabung dengan Partai Gerindra," kata Djayadi.

Dalam amatan Hanta, "Gerindra, menurut saya, sudah dapat dilihat bakal berkoalisi dengan PPP yang sudah sejak awal memperlihatkan isyarat koalisi itu," ujar Hanta.

Jika melihat ideologi, menurut Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi, Gerindra dan PDIP  itu berjodoh. “Sama-sama nasionalis, membela wong cilik (orang kecil), dan (koalisi) itu juga ideal," ujarnya di Jakarta, Kamis 10 April.

Namun, Suhardi menegaskan, agar koalisi terwujud, PDIP harus rela menjadikan Jokowi sebagai cawapres Prabowo. Syarat itu mutlak dipenuhi meski perolehan suara PDIP lebih tinggi ketimbang Gerindra. Ia menambahkan, "Begitulah kalau mau. Kan Perjanjian Batu Tulis begitu, yaitu Prabowo didukung jadi presiden di 2014.”

Gerindra juga membuka peluang koalisi dengan Partai Demokrat dan PPP. "Saya kira komunikasi Gerindra dengan partai lain juga berjalan. Pak Prabowo dan SBY ada kedekatan. Kemarin juga ada komunikasi terbuka dengan PPP," ujar Suhardi.

Di luar itu semua, partai menengah yang berbasis Islam jelas memegang peranan penting karena memiliki angka persentase perolehan suara di atas 6 persen. “3 Partai besar itu harus menggandeng partai yang angkanya di atas 6 persen.  Partai berbasis Islam rata-rata memiliki perolehan suara di atas 6 persen. Jadi partai Islam akan pegang peranan juga," imbuh Hanta.

Sampai akhir pekan lalu, PDIP terlihat paling aktif mendekati sejumlah partai. Jokowi menegaskan, saat ini PDIP memang sedang mencari partai untuk berkoalisi. Tapi ia dan partainya berharap koalisi itu bisa berlangsung tanpa konsesi pembagian kursi kabinet jika nanti PDIP menang dalam Pilpres 2014.

"Silakan bergabung, perlu. Kita mau cari kawan sebanyak-banyaknya. Tapi dengan catatan tidak bagi-bagi kursi menteri. Kita bicara selesaikan masalah bangsa dan negara," tegas Jokowi di kawasan Waduk Pluit, Jakarta Utara, Minggu 13 April.

Jokowi menegaskan, PDIP telah membentuk beberapa tim kecil untuk melakukan komunikasi politik. Selanjutnya, ia hanya bertugas menindaklanjuti pendekatan politik itu hingga final, dengan bentuk safari politik. "Komunikasi sudah semuanya. Tim-tim kecil kita sudah bicara. Kita tinggal finalkan," pungkas Jokowi.

Namun, melihat hasil quick count dari 3 partai teratas, agaknya koalisi pragmatis yang dipilih. Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menyatakan, "Melihat angka yang tidak terlalu jauh, mungkin lebih akan melakukan koalisi pragmatis. Kecuali ada partai menang mutlak. Itu bisa koalisi gagasan atau koalisi ideologis," ujar Emrus.

Menurut Emrus, dengan berpatokan hasil hitung cepat lembaga survei, tawar-menawar mendapatkan posisi akan terjadi sebelum berkoalisi. Misalnya, terkait jabatan menteri. Ia mengatakan, "Dengan kondisi sekarang, pasti tawar-menawar. Kalau elu nggak mau sama gue, ya sudah. Artinya, koalisi bagi-bagi kursi di kabinet menteri. Atau, tawaran wapres sesama koalisi partai besar." (Yus Ariyanto)


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini