Sukses

<i>#SaveSatinah</i> dan `Trauma` Darsem

'Uang darah' Rp 21 miliar ditenggat sampai 3 April 2014. Jika tak terbayar, nyawa TKI Satinah bisa melayang.

Liputan6.com, Jakarta Oleh: Muhammad Ali, Hanz Jimenez Salim, Zainal Arifin

Pelukan hangat itu tak akan lekang dari ingatan Nur Afriana. Hari itu, Kamis 20 Februari 2014 ia akhirnya bersua dengan sang ibu, Satinah binti Jumadi Ahmad. Untuk kali pertamanya dalam 8 tahun, ia bisa melampiaskan rindu pada perempuan yang melahirkannya ke dunia.

Sebuah pertemuan yang penuh isak tangis. Di penjara yang terletak di Provinsi Al Gaseem, Arab Saudi –tempat Satinah ditahan. “Ibu kangen sama saya. Ibu ciumi saya. Ibu terus peluk dan air mata juga mengalir,” kenang  Nur.  

Sewindu lebih Satinah mendekam di bui. Sejak Pengadilan Buraidah menyatakan perempuan berusia 41 tahun itu bersalah membunuh majikannya, Nura Al Gharib pada tahun 2007 lalu.

Lama hidup di balik bui, Satinah mulai bisa menyesuaikan diri. Kondisinya jauh lebih baik dari pertama kali masuk.  “Ibu ada penyakit gondok. Waktu itu kambuh karena sering makan macam-macam di awal masuk penjara.”

Kini Satinah dalam kondisi sehat, makin tegar, dan tambah gemuk. Tak hanya sehat jasmani, TKI asal Ungaran itu kini lebih banyak mengisi hari-harinya untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.  Rajin menghafal kitab suci Alquran. Sampai 18 juz di luar kepala!

Ketekunan itu menuai hasil. Pemerintah Arab Saudi memang mengistimewakan para penghafal Alquran. Mereka akan diberi gaji setiap minggu hingga per bulan atas prestasinya itu. Tak terkecuali Satinah.

“Waktu saya ke sana, kebetulan Ibu dapat 150 riyal. Pas terima gaji itu uangnya langsung dikasih ke saya. Kata ibu, uang yang saya dapat di sini semuanya untuk anak,” kata Nur.

Dalam pertemuan itu, Satinah tak memberikan pesan khusus pada putri semata wayangnya. Ia hanya meminta kakaknya, Paeri Al Feri menjaga buah hatinya itu.

Meski berhasil menemui sang ibu di Arab Saudi. Nur berharap, itu bukan perjumpaan terakhir.

Sejak kecil, Nur sudah ditinggal merantau orangtuanya. Usianya bahkan terlampau belia untuk mengingat kapan sang ibu kali pertama pergi. Mungkin saat berumur 3 atau 4 tahun. Sebelum pertemuan bulan lalu, ibu dan anak itu baru sempat berkumpul dua kali: pada tahun 2004 dan 2006, saat Satinah pulang ke kampung halaman.

Suatu hari di tahun 2007, Nur mendapat kabar buruk dari seorang tetangga yang juga mengadu nasib di Arab Saudi.

“Pertama dapat kabar musibah dari teman ibu yang bertemu di penjara Arab. Dibawakan surat dari ibu untuk keluarga,” kisah Nur.

Secarik kertas itu adalah jawaban dari surat yang dikirimkan saat Satinah masih bekerja di rumah majikannya. Diselundupkan keluar penjara oleh seorang temannya, dilipat sedemikian rupa agar bisa disembunyikan di dalam rambut dan tidak diketahui penjaga.

”Suratnya dijepit pakai penjepit rambut ibu, dipakai oleh teman ibu supaya bisa dibawa keluar “penjara,” kata Nur.

Begini isinya: ”Kepada anakku, Nur, dan semua keluarga saya yang di kampung halaman. Terima kasih aku sudah bisa terima suratmu, sudah aku baca dan aku bahagia, dan aku senang pandang fotomu. Mudah-mudahan aku bisa ketemu.”

Penjepit rambut dengan goresan huruf  ‘Tina’ beserta nomor telepon Nur Afriana adalah petunjuk bahwa surat itu asli ditulis oleh Satinah. Dari layang kabar itu diketahui, Satinah ada di balik sel penjara. INFOGRAFIS lihat di tautan ini.

Siapa Wajib Lunasi ‘Uang Darah’?

Entah apa yang sesungguhnya terjadi pada 18 Juni 2007, saat insiden kematian Nura Al Gharib. Mungkin hanya Satinah dan Tuhan yang tahu.

Namun, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menilai, kematian sang majikan merupakan tindakan penyelamatan diri Satinah yang saat itu sedang mengalami kekerasan.

Diceritakan Anis, saat itu sang majikan berteriak memanggil Satinah. Kemudian asisten rumah tangga itu dijambak rambutnya, dicaci maki serta kepalanya akan dibenturkan ke tembok. Tempat kejadian perkara kebetulan berada di dapur rumah korban.

Satinah pun melawan dengan menyambar barang yang ada dalam jangkauan tangannya. Yang teraih adalah alat penggulung roti yang terbuat dari kayu. “Kemudian dipukul ke tengkuk majikan dan majikan langsung ambruk,” ujar Anis. “Satinah bukan penjahat, dia membela diri.”

Setelah itu, ucap Anis, Satinah kabur dan menyerahkan diri ke polisi. “Artinya, tak mungkin orang yang mencuri itu melarikan diri ke polisi. Itu tidak mungkin,” tegasnya, membantah dakwaan bahwa terdakwa mengambil uang majikan sebesar 37.970 riyal atau setara Rp 119 juta.

Masalahnya, kata Anis, dalam proses persidangan Satinah sama sekali tidak didampingi kuasa hukum. Saat tahu, pemerintah memang meminta peradilan ulang. Dakwaan pembunuhan berencana belakangan dianggap tak terbukti, namun vonisnya tetap sama: mati.

Anis menganggap, diyat yang jadi kewajiban Satinah adalah tanggung jawab pemerintah yang dinilai lalai. “Seharusnya TKI yang terancam hukuman mati itu dicegah. Bukan ditangani terus prosesnya,” jelas Anis.

Versi berbeda soal kronologi kasus diungkapkan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur. Menurut dia, Satinah bukan menyerahkan diri melainkan ditangkap polisi setempat di terminal bus saat ia hendak melarikan diri. “Bukan menyerahkan diri,” ucap Gatot saat dihubungi Liputan6.com.

Usai ditangkap, Satinah pun menjalani persidangan di Pengadilan Buraidah. Di persidangan itu, Satinah mengakui perbuatannya dan dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana. Ia pun divonis hukuman mati.

“Fakta hukum di persidangan, tidak ada unsur penyiksaan. Dan yang terbunuh adalah nenek berusia 70 tahun. Tak mungkin dia menyiksa orang muda,” jelas Gatot. “Fakta hukum itu yang memberatkan Satinah.”

Lepas dari motif Satinah mengakibatkan kematian majikannya, nyawanya kini bergantung pada diyat atau uang darah. Nilainya fantastis, 7 juta riyal atau setara dengan Rp 21 miliar. Tenggat waktunya hingga 3 April 2014. Pemerintah telah mengumpulkan dana 4 juta riyal atau sekitar Rp 12 miliar. Kurang Rp 9 miliar.

Sementara, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Razak menampik jika dikatakan pemerintah tak tanggap. Menurutnya, upaya penyelamatan Satinah sudah dilakukan maksimal.

“Pihak KBRI baru mengetahui pada tahun 2009 padahal kejadiannya tahun 2007. Setelah itu KBRI protes ke otoritas Saudi karena kita tidak diberi tahu sejak awal,” kata Tatang.

Dalam beberapa kasus , tutur Tatang, pemerintah RI selalu meminta pengadilan ulang karena tidak menyaksikan dan mendampingi TKI saat dia divonis bersalah atau tidak.  Untuk kasus ini, tambah dia, Satinah sudah mengakui membunuh dan membawa kabur uang Rp 119 juta dalam persidangan.

“Pengakuan ini juga disampaikan kepada keluarga dan anaknya ketika didampingi oleh kami, karena kakak dan anaknya juga datang ke sana,” ucap dia.

Meski begitu, negosiasi penyelamatan Satinah sudah gencar dilakukan. Hal itu terbukti adanya pengunduran waktu eksekusi sebanyak lima kali. Yaitu Desember 2011, Desember 2012, Juni 2013, Februari 2014, dan 5 April 2014. Harusnya, kata Tatang, Satinah dieksekusi pada Agustus 2011.

Hasil negosiasi yang yang terus berjalan, pihak ahli waris korban akhirnya memaafkan dengan syarat diyat dibayar. Awalnya mereka meminta 15 juta riyal atau setara dengan Rp 45 miliar

Lantaran dinilai besar, Kemenlu RI terus melobi pihak korban yang dibantu Raja Saudi, Gubernur, dan para tokoh setempat untuk memundurkan waktu pembayaran dan jumlah diyat. Upaya itu berbuah. Pada Desember 2012, jumlah diyat turun menjadi 10 juta riyal.  Tak puas. Lobi terus berjalan hingga Desember 2013 diyat kembali merosot menjadi 7 juta riyal. “Setelah mundur itu, tahun lalu kita deposit uang itu kepada pengadilan,” jelas Tatang.

Meski jumlah diyat terus menukik tajam, pemerintah bergeming pada angka Rp 12 miliar. Diyat sebesar Rp 21 miliar dianggap tak masuk akal.

Demikian juga pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Puluhan miliar dikeluarkan. Bagaimana keadilannya dengan rakyat di dalam negeri. Mari bicarakan baik-baik,” kata SBY. [Baca juga: Bertemu SBY, Keluarga TKI Satinah Mohon Doa]

Senada, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, diyat merupakan tanggung jawab keluarga Satinah, bukan pemerintah RI. Tugas pemerintah sejatinya hanya mengawal proses hukum, termasuk mencarikan pengacara hingga pelaku menjalani masa hukuman.

Dia menjelaskan, bila ada pembayaran diyat, maka hal itu merupakan hubungan antara pelaku dan keluarga korban yang bersifat kontraktual. Bukan hubungan antara pemerintah RI dengan keluarga korban.

Pembayaran diyat oleh pemerintah RI, lanjut Hikmahanto, bisa memicu keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersilkan diyat. Keluarga korban bakal berpandangan Indonesia mampu membayar diyat. Seberapapun besarnya. “Pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban,” ucapnya.

Namun, tidak demikian menurut politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka. “ Tak ada alasan tak bayar. Anggaran pasti ada,” kata dia. Pun dengan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Shiddiq. Menurutnya, menyelamatkan nyawa WNI lebih penting kendati besaran diyat itu tidak proporsional.“Dana bisa diambil dari anggaran Kemenakertrans, Kemenlu, BNP2TKI atau pos anggaran lain di Kemenkeu,” kata Mahfudz.

‘Trauma’ Darsem

Melanie Subono sedang gencar kampanye, meski dia bukan caleg yang mengincar kursi jadi 'wakil rakyat'. Demi Satinah. “Dengan semua tenaga gue, gue berlutut dan berdoa mengharapkan kalian tergerak,” kata dia dalam postingan blognya yang bertajuk, ‘Sahabat, Gue Memohon…”

Penyanyi rock & roll itu menggagas ide penggalangan dana bagi Satinah. “Dengan membuang semua gengsi, gue mau minta tolong, bisakah pagi sebelum ke mana-mana atau dari HP-mu, transfer berapa saja, Rp 20 ribu sekalipun cukup kok,” tulis Melanie Subono melalui pesan berantai BBM, Jumat (21/3/2014).

Sayang, sambutan tak sesuai harap. Membikin geram putri promotor Adrie Subono itu. “Dengan ratusan ribu follower, hanya Rp 10 ribu per kepala saja harusnya kita bisa menyelamatkan lima orang, sisa pula uangnya. Andai semua orang habis ini benar bergerak ke ATM. Sayangnya yang benar-benar bergerak hanya sedikit. Lalu, apa bedanya kita dengan pemerintah?,” kata dia.

Lain cara yang dilakukan Charly  ‘Setia Band’. Demi Satinah, mantan vokalis ST12 itu rela turun gengsi -- dari menyanyi di panggung megah jadi pengamen jalanan. Sebagai simbol kepedulian masyarakat Indonesia terhadap para pahlawaan devisa.

Tak ketinggalan, artis Cinta Penelope ikut tampil menggalang dana pembebasan Satinah. Caranya pun tergolong unik, yakni ngamen di lampu merah. “Kalau bukan kita yang membantu dan peduli, siapa lagi,” kata dia.

Aksi penggalangan dana pembebasan TKI dari hukuman mati sebelumnya juga pernah dilakukan untuk Darsem. TKI asal Subang, Jawa Barat, itu lolos dari maut setelah uang diyat yang diminta ahli waris korban sebesar Rp 4,7 miliar dipenuhi pemerintah RI.

Namun masyarakat dibuatnya `trauma`. Usai bebas, kehidupan Darsem berubah 180 derajat. Ia terlena setelah mendapat bantuan sumbangan Rp 1,2 miliar dari sebuah stasiun televisi swasta
“Setelah ada bantuan uang dari pemirsa, anak ini langsung pongah. Lupa diri. Uang itu buat apa? Buat jalan-jalan, buat yatim-piatu. Buat beli sawah 1,3 hektare. Uang Rp 400 juta tertipu, amblas. Sisa Rp 900 juta, beli perhiasan, perahu,” kata mantan pengacaranya, Elyasa Budianto saat dihubungi Liputan6.com.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin pun meminta masyarakat belajar pada kasus Darsem.  “Dulu kasus Darsem yang waktu kita tebus Rp 4 miliar, sekarang (untuk kasus Satinah) Rp 21 miliar, bayangkanlah," ucap Amir di Jakarta Selatan.

Sementara, Muhaimin Iskandar meminta masyarakat tidak panik dan tidak ribut soal hukuman mati yang mengancam Satinah. Boleh-boleh simpati, namun kata dia, penggalangan dana oleh masyarakat hanya akan meningkatkan harga diyat atau uang tebusan yang harus dibayar untuk keluarga majikan yang menjadi korban pembunuhan.

“Yang penting masyarakat tetap tenang dan tidak panik, apalagi terkesan banyak uang. Karena akan memancing harga diyat, percayalah kita akan atasi bersama,” kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Apapun kontroversi yang terjadi. Satinah masih menunggu. Dalam komunikasi teleponnya Minggu 23 Maret 2014, ia mengaku pasrah meski terus berharap agar bisa berkumpul kembali dengan keluarganya di kampung halaman. Pesan khusus disampaikannya pada pada sang kakak, Paeri Al Feri: untuk menikahkan putri kesayangannya Nur dengan lelaki yang menjadi jodohnya. Tak usah menunggunya pulang..."Kita mungkin tidak bertemu di dunia, tapi pasti bertemu di akhirat."
(Elin Yunita Kristanti)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

`Habis-habisan` Harta Darsem

Oleh: Nadya Isnaeni, Zainal Arifin

Darsem binti Dawud Tawar duduk di depan rumah sekaligus warung kelontongnya di  Dusun Truntum, Desa Patimban, Subang, Jawa Barat. Menanti pembeli. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang, lehernya polos tanpa untaian kalung, tak ada gelang yang melingkari pergelangan tangan. Hanya ada sepasang anting-anting di cuping telinga. Mantan TKI itu tak lagi mirip ‘toko emas berjalan’.

Tiga tahun lalu Darsem kaya mendadak. Ia menerima rejeki nomplok Rp 1,2 miliar hasil sumbangan masyarakat yang dikumpulkan sebuah stasiun televisi swasta. Uang itu sejatinya untuk meloloskan lehernya dari tebasan pedang algojo pancung.

“Sudah habis semuanya, saya belikan dua perahu, buat beli sawah, buat beli rumah, buat perbaiki rumah orangtua, dan beli perhiasan,” kata Darsem soal uang yang pernah ia terima 2011 silam kepada Liputan6.com.

Dengan uang itu juga Darsem menggelar hajatan khitan anaknya secara besar-besaran. Tiga hari 3 malam, menanggap sandiwara kelompok Seni Klambi dari Indramayu. Pesta sunat yang konon menghabiskan puluhan juta rupiah tersebut terbilang mewah untuk ukuran dusun tepi laut beraroma ikan asin itu.

Darsem, yang bernama lahir Zulaika -- sebelum diganti nama oleh Mbah Jenggot karena sering sakit-sakitan -- juga  mengaku ditipu. “Namanya ada yang nawarin terus-menerus, akhirnya kebujuk juga, ya hilang Rp 400 juta dibawa kabur. Ketipu karena membeli sawah sengketa. Nggak tahu sampai sekarang prosesnya,” kata dia.

Namun, bukan berarti Darsem jatuh miskin. Ia masih punya warung kelontong yang pepak, lengkap. Ada banyak camilan murah meriah menggantung, etalase penuh produk kecantikan, juga lemari pendingin tempat menyimpan minuman kaleng aneka merek. Sawahnya yang lumayan luas menghasilkan beras kala panen, suaminya Sanudin pun masih melakoni profesinya sebagai nelayan dengan perahu milik sendiri.  Jadi juragan kapal.

Dengan kata lain, Darsem dan keluarganya masih sejahtera. Ia tak perlu lagi merantau jadi TKI. “Perekonomian sehari-hari lumayan, penghasilan dari laut, kan punya perahu, buat sehari-hari dari toko juga.”

Uang Darsem juga tak ludes. Masih ada di tangan pihak lain sebagai piutang. “Nggak habis. Masih sih. Cuma ya gitu di orang-orang, diutangin ke orang-orang, dipinjamin ke tetangga. Masih ada sih sedikit-sedikit, masih ada sisa,” kata dia.

Darsem yang beruntung bak kisah dongeng. Padahal, sebelumnya pengadilan Riyadh pada tahun 2009 memutusnya bersalah dan menjatuhkan hukuman mati atau qishas. Nyawa dibayar nyawa. Setelah 3,5 tahun tinggal dibui, ia akhirnya bebas dengan uang diyat  sebesar Rp 4,7 miliar yang dibayar pemerintah.

Kini, apa yang dialami Darsem di Arab Saudi kembali terulang. Menimpa TKI Satinah yang terancam hukuman mati karena dinyatakan terbukti bersalah membunuh majikannya. Kabar tersebut juga sampai ke telinga ibu satu anak itu.

 “Yah merasa prihatin juga sih mendengarnya. Saya juga dulu kayak gitu. Yah prihatin lah,” kata Darsem. “Yah, sabar-sabar aja lah. Tawakal.”

Darsem berharap, pemerintah bergerak menyelamatkan nyawa Satinah. Kalau perlu, kata dia, masyarakat juga bergerak mengumpulkan bantuan untuk membantu pemerintah membayarkan diyat. “Yah perlu lah buat mungkin nambah-nambah buat dana diyat yang majikannya minta. Kayak saya dulu, ngumpulin dana buat nebus saya,” kata dia.  

Jadi, Mbak Darsem mau menyumbang berapa untuk membantu diyat Satinah? Ternyata, tak sepeser pun.

“Saya mah cukup nyumbang doa aja biar cepat keluar. Kalau uang saya mah udah nggak ada. Saya berdoa dari sini biar dia cepat keluar, biar bertemu dengan keluarga lagi,” kata dia.

“Saran saya, solat 5 waktu jangan ketinggalan, berdoa yang banyak, berzikir, jangan lupa berdoa. Allah juga nggak akan tidur. Allah pasti akan ngasih jalan keluarnya buat dia. Tapi kalau dianya salah, yah mungkin bisa terjadi kayak gitulah (pancung).”

Perempuan 28 tahun itu juga tak berniat jadi pelopor penggalangan dana untuk Satinah. Mengaku sibuk berat.  “Yah maaf saja sekarang sih saya nggak bisa, soalnya repot ngurus anak, ngurus warung, suami pergi jadi nelayan, jadi nggak bisa bantu. Anak saya nakal, nggak bisa ditinggal,” tuturnya datar.

Meski begitu, Darsem kesal bukan main jika dituding dirinya ingkar janji untuk membagi uang miliaran rupiah itu dengan para TKI lain yang bernasib sama.

“Yah sakit hati lah. Orang sudah ngasih dana untuk yang di sana. Yang pertama Rp 80 juta, terus yang terakhir Rp 40 juta, tapi saya dibilang nggak nyumbang. Itu mah orang sirik aja yang ngomong,“ ucap Darsem.

Darsem juga mengaku menyumbang untuk keluarga almarhum Ruyati, TKI yang dihukum pancung tanpa mendapat pembelaan maksimal: Rp 20 juta.

Sumpah Keluarga Ruyati

Ikrar itu keluar dari bibir Een Nuraeni, putri sulung Ruyati.  “Saya bersumpah, keluarga saya 7 turunan, dimulai setelah Ruyati, nggak sudi jadi TKW ke Arab Saudi! Kecuali niat ibadah haji,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu 26 Maret 2014.

Sejurus kemudian, suaranya yang tegas melirih, tangis pun pecah.  “Saya jadi ingin nangis. Miris,” ujarnya, terisak.

Kisah TKI Satinah mengingatkan Een pada sang ibu. Pada Sabtu, 18 Juni 2011, pukul 15.00 waktu setempat, Ruyati meninggal dunia di tangan algojo di Mekah, Arab Saudi. TKI asal Bekasi, Jawa Barat tersebut dinyatakan bersalah membunuh majikan perempuannya, Khairiya Hamid binti Mijlid (64) dengan alat pemotong daging pada 12 Januari 2010. Tak ada maaf dari pihak keluarga.

Sama seperti Satinah, Ruyati sudah 3 kali merantau ke Arab Saudi. Mulai 1998, ia bekerja di Madinah selama 5 tahun demi membiayai sekolah anaknya sebagai perawat. Keberangkatan kedua untuk membelikan putranya mobil angkot, yang terakhir perempuan paro baya itu pergi dengan tekat tak ingin menyusahkan anak-anaknya di masa tua nanti. Tak disangka, ia tak bakal pulang.

Namun, rasa sakit di hati Een justru membuatnya bergerak.  Perempuan itu menggagas penggalangan dana, ’ Kotak Peduli Satinah. “Saya gerakkan teman-teman dan saudara. Apalagi di sini juga banyak yang pernah jadi TKI, se-Sukaderma. Kami kumpulkan receh pakai kotak,” ujarnya.

Di kampungnya di Desa Ceger, Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, Een dan rekan-rekannya mengedarkan kotak sumbangan untuk Satinah sejak Senin, 24 Maret 2014 lalu. 3 Hari mengedarkan kotak itu, sebanyak Rp 1.100.000 berhasil terkumpul.

“Namanya di kampung, cuma seribuan, receh, cuma ditaruh di plastik. Tapi nggak apa-apa . Biarin recehan yang penting ikhlas.” Uang itu kemudian diserahkan pada Migrant Care pada tanggal 31 Maret 2014.

Een tahu, seberapa pun berusaha, dana yang ia kumpulkan tak akan pernah mendekati angka Rp 21 miliar yang dimaui keluarga majikan Satinah. Tapi ia tak mundur. “Satinah harus selamat. Pulang kayak si Darsem. “ (Elin Yunita Kristanti)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini