Sukses

Menanti Hukuman Mati 46 Tahun, Iwao Hakamada Akhirnya Bebas

Iwao yang mantan petinju profesional divonis hukuman mati pada tahun 1968 atas dakwaan membunuh bos dan keluarga korban.

Liputan6.com, Tokyo - Iwao Hakamada menua di dalam bui. Ia menanti eksekusi mati yang tak kunjung dilakukan selama lebih dari 4 dekade: 46 tahun. Kini, pengadilan Jepang mengabulkan permohonan persidangan kembali atas kasusnya.

Iwao yang mantan petinju profesional divonis hukuman mati pada tahun 1968 atas dakwaan membunuh bos beserta istri dan 2 anak korban di sebuah pabrik pengolahan kedelai di Shizuoka pada tahun 1966. Mereka ditemukan ditikam sampai mati setelah kebakaran.

Pria yang kini berusia 78 tahun itu awalnya memberikan pengakuan atas tuduhan membunuh dalam 20 hari masa interogasi. Belakangan, dalam persidangan, ia mencabut pengakuannya itu, dengan alasan ia memberi keterangan di bawah paksaan. Iwao mengaku dipukuli. Namun hakim kala itu tetap memutuskan ia bersalah.

Putusan hukuman mati terhadap Iwao dikuatkan oleh pengadilan pada tahun 1980.

Dalam pernyataannya, organisasi pembela HAM, Amnesty International mengatakan, Iwao Hakamada adalah orang berstatus terpidana mati terlama di dunia.

Putusan teranyar hakim yang memerintahkan pengadilan ulang dikeluarkan setelah pengacaranya menunjukkan bukti DNA dari noda darah yang ditemukan pada pakaian -- yang diduga milik pembunuh -- tak sesuai dengan bukti genetika Iwao. Demikian diungkap media Jepang, Kyodo.

"Pakaian itu bukan milik terdakwa," kata Hakim Hiroaki Murayama, seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Kamis (27/3/2014).

Hakim juga memerintahkan pembebasan Iwao. "Sangat tidak adil untuk menahan terdakwa lebih lanjut, karena terbuka kemungkinan ia tidak bersalah."

Salah satu dari tiga hakim juga bicara lantang kepada publik -- melanggar praktik umum -- mengaku yakin Iwao tak bersalah.

Sementara, kakak perempuan Iwao, Hideko (81) menganggap perkembangan ini adalah hasil kerja keras mereka selama bertahun-tahun.

"Ini terjadi berkat bantuan Anda semua. Aku sangat bahagia," kata dia di muka pengadilan. "Aku ingin menemuinya sesegera mungkin, dan mengatakan, ia akan segera bebas."

Sebaliknya, jaksa mengatakan pihaknya akan mengajukan banding atas tuduhan tersebut.

Sistem peradilan Jepang sebagian besar mengandalkan pengakuan dari tersangka. Sementara, kelompok pembela hak asasi manusia menuding, interogasi selama berjam-jam, kurangnya akses ke pengacara, dan penganiayaan fisik sebagai alasan mengapa tersangka akhirnya mengakui kejahatan yang sejatinya tak ia lakukan.

Hukuman mati di Jepang dilakukan melalui tiang gantung dan tahanan tidak tahu tanggal sampai pagi hari mereka dieksekusi.

(Shinta Sinaga)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini