Sukses

Mimpi Calon Wakil Rakyat Bermodal Cekak

"Sebenarnya caleg ini berjudi, dia berjudi dengan kesempatan dan mimpi-mimpi dia. Dia berharap siapa tahu peruntungan saya di sini..."

 

Liputan6.com, Yogyakarta, Bogor, Jakarta, Medan, Jambi - Anri Syaiful

Laporan: Abdul Rahman Sutara, Bima Firmansyah, Fauzi Baldani, Bangun Santoso, dan Fathi Mahmud

Videografer/Fotografer: Dono Kuncoro, Andy Jatmiko, Gautama Adianto, dan Andrian Martinus

Pagi itu para penumpang bus jurusan Yogyakarta-Wonosari terkesiap. Sebelum berangkat, sang sopir dengan senyum ramah membagi-bagikan kartu nama. Siapa sangka, pengemudi bus bernama Wasdiya ini adalah calon anggota legislatif atau caleg DPRD Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Pemilu Legislatif 2014.

Lelaki berusia 55 tahun ini maju dari Daerah Pemilihan (Dapil) Paliyan, Saptosari, Panggang, Purwosari melalui Partai Persatuan Pembangunan. Caleg nomor urut 5 ini mengaku tak mempunyai banyak modal uang.

Hal terpenting bagi Wasdiya yakni membawa aspirasi daerahnya. Di antaranya tentang nasib para sopir dan petani yang ada di sisi selatan Gunungkidul.

"Akan saya perjuangkan. Angkutan umum dan petani di pesisir Pantai Selatan kurang diperhatikan oleh pemda (pemerintah daerah),” tutur Wasdiya kepada Liputan6.com di parkiran bus kawasan Ketandan, Yogyakarta, Jumat 7 Maret 2014.

Wasdiya telah berjanji baik kepada masyarakat di dapilnya maupun dirinya sendiri, ia akan bekerja maksimal jika terpilih. Ia akan perjuangkan nasib para petani di wilayahnya yang sangat terkendala pupuk.

Sopir Nekat

Dicap sebagai sopir nekat, ia mengakui persaingan caleg dalam Pemilu 2014 memang keras. Banyak caleg lain yang mempunyai modal jauh lebih besar ketimbang dirinya. Namun Wasdiya optimistis niat menjadi anggota Dewan dapat tercapai. Tanpa uang lebih, ia lebih mengedepankan kenalan atau jaringan pertemanan yang ada.

Wasdiya merogoh kocek pribadi sebesar Rp 50 juta untuk biaya kampanye. Uang ini dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil menyopir bus selama 5 tahun.

Ia pun melihat persaingan dalam pemilu legislatif atau pileg tahun ini sangat berat bila dibandingkan 2009 lalu. Tahun ini, menurut dia, ketergantungan terhadap uang dalam pileg lebih tinggi.

Ia merasa tak ada beban jika nantinya tidak terpilih menjadi anggota Dewan. Setidaknya ia telah berusaha berbuat baik untuk menjadi anggota Dewan. "Jika tidak [terpilih], saya akan balik lagi ke sopir,” pungkas lelaki kelahiran Dusun Warak, Kelurahan Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jadi Satpam Bukan Halangan

Dua stiker berukuran 5 x 10 centimeter terpampang di kaca jendela posko satpam toko bangunan di Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Di ruangan seukuran 2 x 1 meter itu, seorang satpam tampak serius memegang alat komunikasi.

Saat ditatap lebih dekat, stiker itu adalah bentuk sosialisasi kampanye seorang caleg.

Ya, siapa yang mengira, satpam bernama Irwanto ini berani mencalonkan diri bertarung di Pemilu Legislatif 2014. Pria berusia 41 tahun ini terdaftar sebagai calon anggota DPRD Tangerang Selatan dengan nomor urut 2 di Daerah Pemilihan (Dapil) Serpong Utara. [Lihat Video: Irwanto, Satpam yang Maju Menjadi Caleg]

Sudah 7 tahun, caleg yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini bertugas sebagai sekuriti di toko bangunan di kawasan Serpong, Tangerang Selatan.

Walau berprofesi sebagai satpam, Irwanto penuh percaya diri. Dengan modal kampanye sekitar Rp 2 juta ditambah uang urunan dari rekan-rekannya, ia yakin bisa terpilih duduk di kursi Dewan DPRD Tangerang Selatan.

“Insya Allah saya yakin bisa dapat suara minimum 4.000 suara,” ujar Irwan sembari tersenyum saat dijumpai Liputan6.com di tempat kerjanya kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa 18 Februari 2014 silam.

Wasdiya dan Irwanto termasuk 40 lebih caleg modal nekat atau modal cekak dari beragam profesi, terutama berlatar sektor pekerja informal yang di antaranya diwawancara Liputan6.com. [Lihat Infografis]

Selain Wasdiya dan Irwanto, ada pula Mursal Harahap, dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara . Hanya bermodal Rp 15 juta yang dikumpulkannya dari upah mengajar selama beberapa tahun, ia mencalonkan diri jadi calon legislator DPRD Kota Medan melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Suami seorang guru di SDIT Al Musabbihin ini mengaku modal Rp 15 juta yang dimilikinya sudah lebih dari cukup. Meski tergolong kecil dibanding caleg-caleg lain, ia tidak takut. Malah membuat ia makin bersemangat untuk mengalahkan caleg-caleg bermodal besar tersebut.

Tekad Tukang Bakso dan Penyandang Disabilitas

Modal minim sebagai caleg juga diungkapkan Rusdi Yusuf, seorang pedagang bakso tusuk di Jambi. Serta, dua caleg penyandang disabilitas dari Partai Bulan Bintang, yakni Saharuddin Daming dan Juni Astuti Budiwati.

Dengan modal kampanye sebesar Rp 10 juta, Rusdi yang berjualan bakso tusuk maju sebagai caleg DPRD Kota Jambi dari PDIP. Tekad Rusdi maju sebagai caleg mendapat dukungan rekan-rekannya, khususnya pedagang keliling yang biasa mangkal di sejumlah ruas jalan utama di Kota Jambi.

"Dan sampai saat ini saya baru keluar sekitar Rp 1 juta. Nggak bisalah macam caleg berduit lainnya yang bisa kasih ini, beri itu. Saya memang ingin mengajarkan kepada masyarakat, bahwa jadi caleg tidak harus bermodal banyak. Yang penting ketika memang jadi, harus bekerja sungguh-sungguh memajukan masyarakat," jelas Rusdi saat ditemui Liputan6.com di Kota Jambi.

Tekad serupa dilontarkan Saharuddin Daming. Walau menyandang tunanetra sejak remaja, tidak menyurutkan semangat Saharuddin memberanikan diri menjadi calon wakil rakyat. Saharuddin berprofesi sebagai dosen tetap Fakultas Hukum di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA), Bogor, Jawa Barat.

“Saya adalah calon anggota DPR RI dari Partai Bulan Bintang dengan nomor urut 1 untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan I yang mencakup Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kota dan Kabupaten Bantaeng, serta Kabupaten Selayar,” ungkap Saharuddin kepada Liputan6.com, Rabu 5 Maret 2014.

Saharuddin bertekad memperjuangkan orang-orang yang bernasib sama dengan dirinya sebagai penyandang disabilitas.

Perihal dana kampanye, Saharuddin mengaku seluruhnya berasal dari kocek pribadi, yakni di bawah Rp 50 juta. Ia menyadari pula partai yang mengusungnya tak memiliki dana dalam jangka yang memadai untuk biaya operasional dan masih dalam suasana kembang-kempis.

Tak jauh berbeda dengan Saharuddin, Juni Astuti Budiwati adalah penyandang disabilitas yang maju sebagai caleg. Perempuan yang mengidap polio ini mengaku hanya bermodal sekitar Rp 10 juta untuk maju sebagai caleg Partai Bulan Bintang untuk DPR RI Dapil Banten 2.

Wanita berusia 57 tahun ini mengandalkan pengalaman sebagai penggiat dan pengurus Persatuan Penyandang Cacat Indonesia. Seperti halnya Saharuddin, Juni Astuti juga bertekad memperjuangkan aspirasi sekitar 37 juta penyandang disabilitas di Indonesia.

Bukan Dominasi Caleg Berduit Lebih

Tak murah memang mendapat kursi anggota Dewan yang terhormat di Senayan. Modal maju sebagai calon legislator tak sedikit. "Untuk pemilihan langsung seperti sekarang ini. Kalau caleg itu benar-benar serius dibutuhkan paling sedikit Rp 1 miliar. Kecuali kalau hanya iseng-iseng berhadiah," tutur anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo kepada Liputan6.com.

Pengamat pemilu Silih Agung Wasesa bahkan punya hitungan lebih besar. “Untuk DPR pusat butuh Rp 2,5 miliar. Sedangkan DPRD Tingkat Provinsi sekitar Rp 1 miliar dan tingkat kota atau provinsi sekitar Rp 500 juta hingga Rp 700 juta,” ucap Silih, penulis buku Political Branding & Public Relations, saat dijumpai Liputan6.com di kantornya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 6 Maret 2014.

Apa sebenarnya motivasi caleg yang bermodalkan nekat tersebut?

"Sebenarnya caleg ini berjudi, dia berjudi dengan kesempatan dan mimpi-mimpi dia. Dia berharap siapa tahu peruntungan saya di sini (jadi anggota Dewan). Tapi, tidak semuanya serius untuk mencalonkan diri," kata Koordinator Nasional JPPR Mochammad Afifuddin saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, pertengahan Februari silam. [Lihat Video: Memantau Dana Kampanye Caleg, Menakar Transparansi]

Kemungkinan lainnya, menurut Afifuddin, partai hanya sekadar menutup kekosongan kursi atau kuota -- misalnya ada dapil yang membutuhkan jumlah sekian. "Kalau tidak bisa memenuhi, kan image (citra) partai yang mempunyai kader akan berkurang," pungkas dia.

Pendapat seperti itu boleh jadi benar. Yang jelas, apa pun motivasinya, para caleg punya impian sama: meraih kursi wakil rakyat.

>>> Lihat Infografis: Modal `Tipis` Mimpi Besar

Lihat Video Lipsus:

Irwanto, Satpam yang Maju Menjadi Caleg
Tren Blusukan Juga Melanda Para Caleg
Memantau Dana Kampanye Caleg, Menakar Transparansi
Moekhlas Sidik Gerindra: Kader Partai Harus Militan
MS Kaban: Caleg PBB Punya Keunikan Tersendiri
Sekjen PKB: Kesetiaan bagi Kami Nomor 1

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dari Sopir Taksi Bandara, Dayat Meraih Kursi Dewan

Dari Sopir Taksi Bandara, Dayat Meraih Kursi Dewan

Anri Syaiful

Laporan: Fathi Mahmud dan Abdul Rahman Sutara

Beragam cara ditempuh sebagian calon anggota legislatif atau caleg yang bermodal pas-pasan atau cekak. Walau dana kampanye terbilang minim pada kisaran jutaan rupiah hingga puluhan juta rupiah, sebagian caleg tersebut mencoba peruntungan dalam Pemilu Legislatif 9 April 2014. Ada yang berkampanye dari pintu ke pintu. Ada pula yang membagikan stiker di tempat umum.

Pemilu lalu memang `kejam` terhadap caleg modal nekat. Kendati demikian, ada beberapa caleg modal yang terbilang minim bisa lolos sebagai wakil rakyat.

Kisah Sukses Caleg Sopir Taksi

Pribadi penuh kesahajaan adalah kesan pertama Liputan6.com saat menyambangi kediaman Nurhidayat, anggota DPRD Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Walau berstatus wakil rakyat, rumah yang dihuni Nurhidayat saat ini di Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Sleman adalah milik orangtuanya. Anggota Komisi D DPRD Sleman ini dulunya adalah sopir taksi yang mangkal di Bandara Adisucipto, Yogyakarta.

Menurut Dayat – demikian ia akrab disapa, dirinya belum tentu jadi anggota Dewan jika tak berawal dari sopir taksi. Profesi antar-mengantar ini menjadi pintu awal ketika beberapa tokoh negeri yang pernah diantarnya menjadi inspirasi dirinya terjun ke dunia politik.

“Yang semakin membuat saya terjun ke politik karena pesan-pesan para tokoh seperti Pak Amien (Amien Rais), Hasyim Muzadi dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) membuat saya yakin berjuang mewakili suara para sopir,” ujar Dayat di Sleman, Minggu 9 Maret 2014.

Ia teringat pula pesan dari Gus Dur yang masih tersimpan di benaknya sampai saat ini, yaitu tentang kerja keras dan niat yang tulus akan membuat semuanya menjadi lebih mudah, tentu dengan doa yang khusyuk kepada Tuhan.

Waktu Pemilu 2009, Dayat didorong mencalonkan diri menjadi anggota Dewan oleh teman-temannya. Awalnya dirinya menolak karena tidak ada biaya untuk Pemilu Legislatif 2009. Namun, keinginan kuat masyarakat dan teman-temannya dengan membujuk kakaknya agar dirinya maju membuat hatinya luluh dan mau menjadi caleg.

Kampung ke Kampung

Saat itulah, Dayat mulai berkomunikasi politik dengan warga di daerah pemilihannya. Ia mulai membangun komunikasi politik di kampungnya terlebih dahulu. Lantas, ia mulai bergerak ke kampung-kampung lainnya sampai dengan tingkat kecamatan.

Masalah ongkos politik yang menjadi kendala utama saat itu akhirnya terpecahkan dengan dibantu pihak partai. "Nggak ada ongkos, Mas. Saya nggak punya apa-apa, atribut kampanye dan lain-lain itu aja dibiayai partai. Maka dari itu, caranya membangun kepercayaan masyarakat,” imbuh Dayat yang juga Ketua Fraksi PAN DPRD Sleman.

Salah satu pionir Komunitas Balerante ini memulai pergerakan menarik simpati warga dengan program pemberdayaan masyarakat dan kegiatan keagamaan. Ia beralasan, setiap caleg punya segmentasi yang berbeda.

Dayat berpesan agar para caleg yang bermodal pas-pasan seperti dirinya saat Pemilu 2009, meluruskan niatnya. Sebab menjadi anggota Dewan bukanlah pekerjaan gampang. Perlu proses yang lama dan keseriusan, sekaligus kepedulian masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

“Mereka juga harus siap nggak kaya. Kalau seperti saya yang awalnya sopir taksi, maka nggak mungkin jadi kaya. Kalau saya kaya, maka harus dicurigai,” kata bapak 3 anak yang kembali maju dalam Pemilu 2014.

Ia pun tak mempunyai strategi baru dalam pemilu legislatif tahun ini. Sebab, ia masih yakin dengan kepercayaan masyarakat kepada dirinya. "Ya, strateginya sama kayak dulu. Turun ke lapangan. Kita percaya dengan kepercayaan masyarakat,” pungkas lelaki berusia 46 tahun tersebut.

Peluang Caleg Modal Cekak

Banyak caleg bermodal minim berani bertarung di Pemilu 2014. Menurut pakar branding sekaligus konsultan politik Silih Agung Wasesa, kans mereka tetap ada meski tidak banyak. Sebab, menurut Silih, surat suara dalam Pemilu Legislatif 2014 tidak menyertakan gambar caleg.

“ Jadi kansnya ketika banyak pemilih susah menghapalkan nama (caleg), sehingga nyoblosnya asal saja. Bahkan jika namanya familiar atau pasaran, maka akan laku seperti nama Budi dan Anton,” ujar Silih.

Tingkat keterpilihan pun tetap ada. “Lumayan tinggi, sekitar 13 persen,” urai lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada itu saat dijumpai Liputan6.com di kantornya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 6 Maret 2014.

Komentar Parpol

Istilah `caleg modal nekat` ternyata tak nyaman di telinga kalangan elite parpol. Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Imam Nahrawi, misalnya.

Sekalipun mengakui wajar bila ada pandangan seperti itu, Imam menegaskan partainya saat merekrut para caleg tidak melihat latar belakang mereka. "Kesetiaan bagi kami nomor 1," tukas Imam saat ditemui Liputan6.com di kantornya, kawasan Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Kamis 6 Maret 2014. [Lihat Video: Sekjen PKB: Kesetiaan bagi Kami Nomor 1]

Sementara, Ketua Umum Partai Bulan Bintang MS Kaban lebih memilih menggunakan kata caleg unik. "Figur (caleg) punya keunikan dan segmen visi sendiri," ujar Kaban ketika diwawancara di kantornya, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. [Lihat Video: MS Kaban: Caleg PBB Punya Keunikan Tersendiri]

"Semua yang kita rekrut itu memiliki kesepahaman, pemahaman pengakuan pernyataan sikap terhadap apa yang menjadi ideologi partai," tandas Kaban, seraya menambahkan, para caleg tersebut membiayai sendiri. "Nah, kalaupun partai memberikan bantuan hanya sangat terbatas," pungkas Kaban.

Ketua Badan Pemenangan Nasional Pemilu Legislatif 2014 Partai Gerindra Moekhlas Sidik punya jawaban lebih simpel. "Kalau ketemu caleg yang punya uang, ya syukur. Tapi kalau tidak, asalkan dia mempunyai daya juang yang tinggi. Seorang kader harus mempunyai militansi pada partainya," ucap purnawirawan jenderal bintang 3 mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut tersebut ketika diwawancara di kantornya, kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis 6 Maret 2014.

"Kalau ada orang (caleg) hebat, jujur, cerdas, punya keberanian, apa salahnya kita bantu," pungkas Moekhlas yang berharap partainya mendapat 2 kursi untuk setiap dapil. [Lihat Video: Moekhlas Sidik Gerindra: Kader Partai Harus Militan]

Ongkos Politik Bisa Ditekan

Banyak pihak beranggapan biaya politik itu tinggi, terutama dikaitkan dengan konteks pencalegan. "Kalau bicara tren secara umum, biaya politik itu semakin naik, semakin mahal. Karena kesadaran para voter (pemilih) itu meningkat. Mereka tidak mau uang yang cuma dalam jumlah sekian,” papar Silih.

Namun, menurut Silih, sejumlah caleg dan juga beberapa penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah atau pilkada, biaya politik justru turun. “Ada fenomena bahwa dengan biaya kecil, mereka (para caleg) bisa juga jalan,” urai penulis buku Political Branding & Public Relations tersebut.

Ketika ditanyakan angka ideal dana kampanye agar caleg di berbagai tingkatan terpilih, menurut Silih, tergantung cara yang dipakai.

“Kalau pakai cara-cara konvensional seperti yang dihitung Pramono Anung (politisi PDIP) dalam disertasinya, yaitu untuk DPR pusat butuh Rp 2,5 miliar. Sedangkan DPRD Tingkat Provinsi sekitar Rp 1 miliar dan tingkat kota atau provinsi sekitar Rp 500 juta hingga Rp 700 juta,” beber Silih.

Silih pun punya kiat agar para caleg memangkas biaya dengan cara kampanye sehat, hemat, dan bermartabat. Bahkan bisa menghemat hingga 75 persen. [Lihat Infografis: Modal `Tipis` Mimpi Besar]

Dia menjelaskan, branding menjadi kebutuhan utama kampanye lantaran bisa menciptakan kampanye yang berbeda, serta efisien dalam penggunaan dana.

Branding membantu politisi atau partai menentukan positioning yang tepat untuk konstituen mereka, termasuk dalam hal kampanye dan melakukan engagement (perjanjian),” urai Silih.

Paling tidak, menurut Silih, ada 3 hal yang harus diperhatikan agar berkampanye secara hemat. Pertama, bagaimana politisi ataupun partai bisa memberikan solusi yang dibutuhkan, dan berbeda dengan yang diberikan oleh kompetitor.

Kedua, imbuh Silih, bagaimana menciptakan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Terakhir, menciptakan orang ke-3 yang mampu meng-endorse (menyokong) program-program politik mereka.

Kiat hemat berkampanye telah dipaparkan Silih, tapi semua berpulang pada diri setiap caleg. [Lihat Video: Tren Blusukan Juga Melanda Para Caleg]

Akankah mereka tetap mengandalkan politik uang dan sokongan dana besar pihak ketiga yang berujung konsekuensi tertentu? Kita lihat saja nanti. []

>>> Lihat Infografis: Modal `Tipis` Mimpi Besar

Lihat Video Lipsus:

Irwanto, Satpam yang Maju Menjadi Caleg

Tren Blusukan Juga Melanda Para Caleg
Memantau Dana Kampanye Caleg, Menakar Transparansi
Moekhlas Sidik Gerindra: Kader Partai Harus Militan
MS Kaban: Caleg PBB Punya Keunikan Tersendiri
Sekjen PKB: Kesetiaan bagi Kami Nomor 1

Profil Pengamat:



Mochammad Afifuddin, lahir 1 Februari 1980 di Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak mahasiswa aktif di lembaga intra dan ekstra kampus sampai terpilih sebagai presiden BEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2002. Semasa kuliah, ia juga aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan sempat menjadi Wasekjen Kaderisasi PB PMII (2005-2008) dan Bedahara Umum PB PMII (2008-2011).

Aktivitas kepemiluan ia mulai dari jadi relawan pemantauan di TPS pada 1999 sampai sekarang menjadi Koordinator Nasional JPPR. Setelah tamat dari UIN, ia mengabdi di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM UIN) sebagai Program Officer untuk program Islam dan Demokrasi sambil melanjutkan studi ke program Magister Manajemen Komunikasi Politik di UI (2005-2007). Ia menjadi Manajer Riset JPPR pada 2009-2011, dan sempat pula menjadi dewan pengarah (Sterring Group) JPPR pada 2011 sampai kemudian ditunjuk sebagai Program Manajer JPPR untuk program AGENDA, sebuah konsorsium yang memperjuangkan isu aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu. Ia juga mempunyai pengalaman memantau Pemilu baik di dalam maupun luar negeri. Saat ini ia menjadi Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Sejak mahasiswa ia aktif menulis artikel dan resensi di beberapa media nasional seperti Kompas, Republika, Gatra, Suara Pembaruan, dan Koran Jakarta. Ia juga menjadi salah satu penulis buku Membangun Demokrasi dari Bawah (PPSDM UIN-TAF; 2007),  Bersama Masyarakat Memantau Pemilu 2009 (JPPR-TIFA; 2009), Laporan Pemantauan 10 Daerah (JPPR-TAF; 2011), Aksesibilitas Pemilu bagi Penyandang Disabilitas; Pengalaman dari 5 Daerah.(JPPR-AGENDA; 2012)



Sebagai aktivis Senat Universitas Gadjah Mada tahun 1990-an, Silih Agung Wasesa akrab bersentuhan dengan dunia politik praktis. Kegemaran berpolitiknya berlanjut hingga ia menjadi pengurus pusat KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada) dan Staf Ahli Media Kepresidenan serta Staf Ahli Ibu Negara Republik Indonesia pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Namun berbeda dengan rekan-rekan aktivis semasa menjadi mahasiswa di UGM, seperti Anies Baswedan, Gandjar Pranowo, Refly Harun, Denny Indrayana, dan Priyo Budi Santoso, ia lebih memilih karier profesional dalam industri komersial. Ia menekuni dunia merek, pemasaran, dan public relations.

Mengawali karier di Toyota Indonesia, ia lalu bergabung dengan Group Bakrie, dan kemudian menangani beberapa merek global seperti National Geographic Channel, Perfetti Van Melle, World Bank, Unaids, dan Unicef. Saat ini, selain menjabat Managing Director AsiaPR, sebuah firma pencitraan merek, ia juga menjadi pengurus PR Society of Indonesia. Selain menjadi pembicara pada berbagai seminar nasional maupun internasional, pemegang sertifikat Crisis Management dari Institute of Public Relations of Singapore ini juga menjadi dosen tamu pada program pascasarjana UNDIP Semarang, Atmajaya Jogjakarta, dan mengajar di London School of Public Relations.

Di luar dunia akademis, ia dikenal luas melalui workshop Brand Public Relations yang telah diikuti oleh merek-merek papan atas seperti Toyota, Bodyshop, Sharp, Mazda, Aqua, XL, dan Garudafood. Penggemar masak-memasak ini memiliki beberapa perusahaan komunikasi yang secara khusus menangani kampanye pencitraan merek dan pengembangan CSR yang terintegrasi dengan visi perusahaan.(Political Branding & Public Relations; Gramedia, 2011)

3 dari 3 halaman

Caleg Modal Cekak dan Tren Ongkos Politik

Pengantar Infografis: Caleg Modal Cekak dan Tren Ongkos Politik

Abdul Rahman Sutara

Pada Pemilihan Umum 2014 nanti, pemilih Indonesia yang tersebar pada 519.920 Tempat Pemungutan Suara (TPS) akan memilih lebih dari 6 ribu calon anggota DPR RI, 16.270 calon anggota DPRD kabupaten/kota, dan 1.998 calon anggota DPRD provinsi. Para kandidat wakil rakyat pada semua tingkatan tersebut tersebar di seluruh daerah pemilihan Indonesia.

Muncul fenomena, sebagian kontestan calon anggota Dewan tersebut baik dari tingkatan DPR pusat hingga DPRD provinsi dan kota, justru mencalonkan diri hanya dengan `modal nekat`.

Caleg `modal nekat` merujuk pada materi yang minim atau cekak. Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, ada 40 calon legislator di berbagai tingkatan yang bermodal cekak.

Mereka dari kelompok masyarakat kelas menengah bawah. Sebagian besar bahkan berprofesi di sektor informal dan berpenghasilan rendah. Sebut saja satpam, tukang sayur, juru parkir hingga sopir angkot dan tukang ojek.

Tanpa persiapan dana yang besar sama sekali, hanya bermodal penghasilan gaji yang pas-pasan, mereka para calon anggota Dewan dari kelompok kelas menengah bawah tersebut `nekat` mencalonkan diri di daerah pemilihan tempat tinggalnya.

Stigma biaya besar yang umumnya harus dikeluarkan bagi mereka yang hendak terpilih menjadi anggota Dewan, sama sekali tak menyurutkan langkah mereka bertarung di arena pemilihan.

Pada sisi negatifnya, muncul pandangan skeptis atau meragukan dari masyarakat terhadap keseriusan para caleg dari kelompok menengah bawah tersebut. Sebab, mereka hanya dianggap sebagai kontestan `pemenuh kuota`.

Kehadiran para `caleg nekat` itu dinilai tidak sungguh- sungguh diperjuangkan partai politik pengusung mereka. Karena diduga mereka didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya untuk memenuhi syarat kuota tertentu. Misalnya, kuota 30 persen caleg perempuan dan kuota maksimum jumlah caleg dalam tiap dapil.

Tapi tak semua mencibir keberadaan `caleg nekat` tersebut. Ada juga yang melihat fenomena `caleg modal cekak`itu sebagai upaya partisipasi yang positif. Paling tidak, kehadiran dan pendekatan berbasis komunitas yang dilakukan para `caleg modal nekat` ini sebagai upaya antitesa dari tren politik high cost (politik berbiaya tinggi).

Pengamat sekaligus konsultan politik Silih Agung Wasesa mengatakan, “Tren biaya politik di Indonesia ini setiap tahunnya cenderung meningkat. Ini tak lain karena partai politik dan para kandidat sering menggunakan jalan pintas dengan memangkas 3 tahapan publikasi secara paksa.”

Dijumpai Liputan6.com di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 6 Maret 2014, penulis buku Political Branding: Save up to 75% of Your Campaign Budget ini melanjutkan, “Akibat dari upaya paksa tersebut, biaya politik meningkat menjadi 3 kali lipat, karena dukungan yang didapat berasal dari uang. Dan bukan karena adanya kesadaran politik dari masyarakat itu sendiri.”

>>> Lihat Infografis: Modal `Tipis` Mimpi Besar

Lihat Video Lipsus:
Irwanto, Satpam yang Maju Menjadi Caleg
Tren Blusukan Juga Melanda Para Caleg

Memantau Dana Kampanye Caleg, Menakar Transparansi
Moekhlas Sidik Gerindra: Kader Partai Harus Militan
MS Kaban: Caleg PBB Punya Keunikan Tersendiri
Sekjen PKB: Kesetiaan bagi Kami Nomor 1

Editor: Anri Syaiful

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.