Sukses

Memanfaatkan Sampah Menjadi Kerajinan Bernilai Ekonomis

Kejelian dan kreativitas adalah kunci sukses dalam berbisnis. Kemampuan itulah yang ditunjukkan warga Subang, Tegal dan Merauke. Mereka mampu memanfaatkan sesuatu yang awalnya tak berguna menjadi barang menguntungkan.

Liputan6.com, Subang: Sebagian besar masyarakat membenci sampah karena menimbulkan bau tak sedap dan penyakit. Namun, hal itu tidak berlaku bagi warga Desa Cijambe, Subang, Jawa Barat. Mereka memanfaatkan sampah nonorganik seperti bungkus makanan dan minuman untuk produk kerajinan tangan. Selain mengurangi volume sampah, para ibu ini juga memetik keuntungan lantaran kegiatan itu menghasilkan uang.

Kepada SCTV belum lama ini, mereka mengaku terinspirasi memproduksi kerajinan tangan tersebut dari kegeraman warga dengan banyaknya sampah di lingkungan sekitar. Berbagai karya mampu dihasilkan seperti tas, taplak meja, dan benda-benda unik lainnya. Tanpa diduga, banyak orang tertarik dan membeli produk kerajian buatan Desa Cijambe ini. Produk-produk tersebut dijual seharga Rp 5.000 hingga Rp 10 ribu per buah. Lalu, bagaimana mereka membuatnya?

Pertama, bungkus makanan atau minuman dipilih sesuai jenisnya dan dibersihkan. Setelah terkumpul, mereka menentukan benda yang akan dibuat. Selanjutnya, bungkus-bungkus itu disatukan dengan cara dijahit. Guna mempercantik, kerajinan itu dapat diberi hiasan. Misalnya, untuk tas diberi sambungan memakai lis dari kain dan terakhir ditambahkan tali pegangan. Terbukti, dengan upaya dan kreativitas benda yang semula tidak berguna mampu diolah menjadi benda bermanfaat.

Selain sampah yang dijadikan kerajinan, sisa-sisa hasil laut juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Bahkan, setiap hari diekspor ke Jepang sebagai pupuk teh hijau. Bisnis itulah yang dijalani warga Desa Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah. Mereka memanfaatkan limbah laut bak mutiara. Butiran tepung limbah laut yang dihaluskan dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk teh hijau.

Usaha ekspor tepung limbah hasil laut digeluti warga Tegalsari sejak dua tahun silam. Salah satunya, Anton. Melalui jaringan pemasok pakan ternak, ia membuka akses ekspor pupuk teh hijau yang proses produksinya hampir sama dengan pembuatan tepung pakan ternak. Kini, total ekspor pupuk tersebut mencapai 30 hingga 50 ton dengan omzet mencapai Rp 90 juta per bulan.

Dalam sehari, Anton membutuhkan bahan baku limbah laut sedikitnya lima ton dan menghasilkan tiga ton pupuk teh hijau. Prospek usaha pengolahan pupuk teh hijau masih terbuka lebar. Pasalnya, Jepang menaruh kepercayaan yang besar dalam produksi pupuk nonkimia. Faktor terpenting dalam berusaha adalah kejelian dan kreativitas. Kemampuan itulah yang ditunjukkan Anton.

Kemahiran berbisnis juga ditunjukkan Ahmad Subagyo. Berawal dari sopir taksi, ia beralih menggeluti usaha kerajinan kulit buaya di Merauke, Papua. Perlahan tapi pasti, Ahmad meraih kesuksesan dalam bisnis ini.

Berbagai koleksi yang terbuat dari kulit buaya dipajang di sebuah galeri miliknya. Beberapa di antaranya adalah tas, dompet, sepatu, koper, sabuk, dan topi. Benda-benda ini dijual dengan harga yang cukup bervariasi. Dompet yang terbuat dari kulit buaya misalnya, dijual seharga Rp 250 ribu per buah. Sedangkan tas wanita dijual seharga Rp 2,5 juta, koper Rp 5 juta. Sementara tas golf dihargai Rp 10 juta.

Di balik hasil karya ini, Ahmad mempekerjakan 13 orang yang terus membuat beragam kerajinan dari kulit buaya yang dirintis sejak 1995. Dari usaha kecil-kecilan, industri ini berkembang pesat. Kerajinan kulit buaya ini mampu menembus pasar dunia seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Eropa. Omzet perjualan per hari yang diterima berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 10 juta.(RMA/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini