Sukses

Nyanyian di Padang Garam

Para petani garam di pesisir Aceh harus berjuang lebih keras karena rendahnya kadar garam air laut. Namun, warisan turun-temurun tersebut tetap dijalani karena mereka adalah pribadi-pribadi yang ulet.

Liputan6.com, Sigli: Desa Ceubrek [baca: cibre] di Kecamatan Simpang Tiga, sekitar 10 kilometer dari Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, adalah salah satu perkampungan petani garam. Di antara tambak-tambak ikan dan lahan-lahan kosong, masih terlihat puluhan gubuk sederhana yang disebut lancang. Di tempat itulah warga Desa Ceubrek mengais nafkah dengan cara mengolah pasir laut menjadi kristal-kristal garam.

Radiah dan Mardiah adalah dua dari ratusan petani garam di kawasan Simpang Tiga, Pidie. Setiap hari mereka melakukan berbagai kegiatan pengolahan garam. Dulu, lancang tempat dua bersaudara ini bekerja dikelola oleh ayah dan ibu mereka. Setelah keduanya meninggal dunia, maka Radiah dan Mardiah pun menjadi penggantinya.

Sungguh, ini bukan pekerjaan yang ringan, karena selayaknya dilakukan oleh kaum lelaki. Namun, terdesak keadaan, mereka pun harus memilih jalan hidup sebagai petani garam.

Di dekat lancang milik Radiah dan Mardiah, terdapat lancang yang ditempati oleh Hasyim. Lelaki ini adalah paman kedua wanita ulet tersebut. Seperti kedua keponakannya, setiap hari Hasyim pun disibukkan dengan pasir laut, tempat penyaringan pasir (niri), sumur penampungan air mengandung garam (mon), serta belanga.

Pilihan pekerjaan ini merupakan warisan dari orang tua mereka. Sehingga, dia tak ingat lagi sudah berapa tahun menekuni pekerjaan ini. Yang pasti, bertani garam membuatnya mampu menghidupi istri dan delapan anak hingga saat ini.

Bertani garam merupakan satu dari beragam pekerjaan warga di pesisir Aceh. Bahkan, di beberapa wilayah, seperti Pidie dan Bireun, sebagian besar warga pesisirnya menekuni pekerjaan ini. Padahal, tidak mudah menjadi petani garam di Tanah Rencong.

Sebab, dibandingkan petani garam di pesisir Pantai Utara Jawa atau Pulau Madura, Jawa Timur, kadar garam di tempat ini terbilang rendah. Sehingga mereka harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan hasil melimpah.

Teknik bertani garam di Desa Ceubrek diawali dengan menjemur pasir laut di sebuah lahan terbuka. Mereka juga menyiramkan air laut ke hamparan pasir sebagai cara meningkatkan kadar garam. Berselang dua hari, pasir-pasir pun dikumpulkan kembali dan disimpan di dalam gudang. Atau biasanya mereka langsung memasukkan ke sebuah kotak saringan atau niri.

Proses pengolahan ini belum berakhir, karena ini baru separuh jalan. Untuk mendapatkan air berkadar garam tinggi, tumpukan pasir di dalam niri pun disiram air laut. Tetesan air laut ini pun menetes dan disalurkan ke sebuah sumur atau mon. Setelah terkumpul banyak, air berkadar garam ini dimasukkan ke dalam belanga untuk dimasak. Paling tidak mereka membutuhkan waktu sekitar enam jam guna mendapatkan kristal-kristal garam.

Kesulitan lainnya, para petani sering dihadapkan pada ancaman cuaca yang bisa mengganggu proses penjemuran pasir laut. Selain itu, harga kayu yang tidak murah membuat produksi garam kerap ikut terhambat. Untuk enam kali memasak yang per enam jam, paling tidak mereka membutuhkan ongkos kayu sebesar Rp 150 ribu. Angka ini sama dengan pendapatan mereka setelah tiga hari mengolah sekitar 160 kilogram garam.

Situasi ini sekarang menjadi kendala karena mereka baru saja bangkit dari keterpurukan akibat bencana tsunami. Dua tahun yang lalu, kawasan ini pun digilas tsunami hingga meratakan lancang dan rumah tinggal mereka. Setelah berbagai pihak membenahi lokasi permukiman dan lahan-lahan pengolahan garam, perlahan-lahan warga pun mulai berani melanjutkan usaha.

Geliat usaha di lahan-lahan dan lancang pengolahan garam pascabencana tsunami juga terlihat di wilayah Bireun, persisnya di Desa Aluba, Kecamatan Jangka. Para petani garam yang umumnya kaum perempuan kembali menyibukkan diri dengan kayu-kayu bakar dan belanga.

Petani garam di tempat ini juga memiliki teknik pengolahan garam tersendiri. Di sini mereka tidak mengangkut pasir dan menjemurnya hingga dua hari. Namun, mereka langsung mengolah air laut yang sudah dituang ke dalam belanga. Untuk mempercepat proses kristalisasi garam, mereka memasukkan bibit garam ke dalam belanga. Dengan modal 25 kilogram bibit garam, mereka akan memperoleh sekitar 50 kilogram garam siap jual.

Masalah permodalan akibat harga kayu yang mahal dan harga jual rendah juga terjadi pada petani garam di Desa Tano Ano, Kecamatan Jangka. Untuk menyiasati masalah ini mereka memiliki teknik bertani garam tersendiri. Yakni, selain memasak air berkadar garam, mereka juga kerap menjemur di sebuah petak-petak.

Pekerjaan ini dimulai dengan mengumpulkan pasir yang telah dijemur di atas niri berbentuk lubang di atas tanah. Setelah pasir terkumpul, mereka menyiramnya dengan air laut. Rembesan air yang terkumpul inilah yang akan dijemur. Namun, untuk meningkatkan hasil, proses kristalisasi dengan memasak air berkadar garam dicampur bibit garam juga mereka lakukan. Hasilnya, setiap petani garam paling tidak bisa mendapatkan sekitar 200 kilogram garam setiap hari.

Meski dihadapkan pada berbagai kesulitan, keceriaan tetap terpancar dari wajah para petani garam saat menjalani bentuk kehidupan lain di masyarakat. Di saat perayaan Maulid Nabi Muhammad hari ke-100 yang biasa digelar di desa ini, misalnya, Radiah dan Mardiah pun ikut bersuka-cita. Keduanya seolah lupa bahwa mereka yatim-piatu. Mereka juga melupakan kepenatan yang biasa dialami di padang garam.

Ketika pagi kembali datang, ketiga sepeda motor milik mogee atau agen berdatangan. Ketika itu pula kehidupan di lancang dimulai kembali. Kerja keras selama tiga hari adalah 120 kilogram garam, dengan harga jual Rp 1.800 per kilogram. Penghasilan ini tidak selalu tetap. Kerap mereka harus menjual garam dengan harga Rp 1.500 per kilogram. Bila hujan terus mengguyur kawasan ini, masa mendapatkan rezeki pun harus mundur beberapa hari.

Kendati demikian, entah Hasyim, Radiah atau Mardiah, serta petani garam lain, tidak terlalu menggubris soal hasil yang tidak menentu tersebut. Karena mereka adalah orang-orang yang terbiasa mengalunkan rasa syukur atas segala yang didapat dari yang memberi rezeki. Selain itu, mereka adalah bunga seulanga yang tidak pernah ingin layu di tangkainya.(ADO/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini