Sukses

Ketika Suku Lio Kembali ke Huma

Lio adalah suku terbesar di Kabupaten Ende, Pulau Flores, NTT. Dan ketika bersiap kembali ke huma untuk bercocok tanam, mereka menggelar upacara yang disebut Tedo Pare Uma Nggua, suatu konsep keselarasan hidup.

Liputan6.com, Ende: Suku Lio di Tanah Persekutuan Lisa Tana Telu di Desa Wololele A, Kabupaten Ende, Nusatenggara Timur, masih memelihara keramahannya. Buktinya, sebuah upacara yang disebut simo ata mangulao atala jalawa, senantiasa digelar ketika mereka kedatangan seorang tamu dari jauh. Pun demikian sewaktu tim Potret SCTV menyambangi perkampungan mereka di Kecamatan Lio Timur.

Di antara tarian wa`do nggo wani, mereka mengalungkan selembar kain tenun khas Ende yang dinamakan luka. Keramahan ini adalah pertanda warga desa tersebut menerima dengan sukacita. Bila datang pada saat yang tepat, pengunjung dapat menyaksikan upacara penanaman bibit padi atau disebut Tedo Pare Uma Nggua.

Lantunan untaian kalimat sarat religi pun menyeruak. Mea nosi leka wangge mbete. Ka rue sai bobo wangge mbete ina. Tedo tembu wesa wela, gaga boo kewi ae peni nge wesi nuwa wee. Pati do ka ina tii do ru'e ina. Wii sia tedo kema uma ria. Hoe sai beu-beu rago sai. Bewa-bewa ana he tekuku. Untaian itu mengartikan bahwa mereka mempersilakan leluhur menerima sajian. Mereka sekaligus bersyukur karena musim tanam sudah dimulai. Mereka berharap pula agar tanaman tumbuh subur sehingga bisa dipanen.

Penghormatan terhadap tamu juga disimbolkan dengan pemberian sirih dan pinang atau paneka. Disajikan pula minuman khas suku Lio yang disebut mokke di Sao Ria atau rumah adat. Dan sembari menikmati mokke, pelaksana Ria Bewa yakni Solomon Weda Wangge bercerita banyak tentang kehidupan sukunya.

Desa Wololele A berada sekitar 80 kilometer dari pusat Kota Ende, tepatnya di tengah Pulau Flores, NTT. Perkampungan ini berada di tengah-tengah perbukitan. Tak aneh, bila sumber kehidupan warga sepenuhnya bergantung pada huma dan hutan.

Suku lio di tempat ini memang termasuk kelompok masyarakat peladang. Tepatnya, peladang berpindah. Mereka menebangi pohon-pohon di bukit-bukit curam, lantas mengubahnya menjadi deretan huma. Mereka bercocok tanam, persis seperti yang dilakukan nenek moyangnya di masa lampau.

Beberapa di antara warga suku Lio di Desa Wololele A juga masih berburu hewan. Terutama buat memenuhi kebutuhannya sendiri. Misalnya, berburu musang atau tikus.

Komunitas suku Lio di Desa Wololele A juga masih memelihara keaslian konsep pemerintahan tradisionalnya. Desa ini adalah pusat seluruh kegiatan suku Lio yang tergabung dalam Tanah Persekutuan Lisa Tana Telu. Kepala adat tertinggi di tempat ini disebut Ria Bewa dan di tingkat yang lebih rendah, mereka memiliki mosalaki, bogahage, bogeria hingga bogelo`o sebagai penjaga-penjaga kegiatan adat.

Dahulu kala, suku Lio menyebut Du`a Nggai sebagai Tuhan yang patut disembah. Setelah raja Lio pertama, Pius Rasi Wangge, memperkenalkan agama Katolik mereka pun memiliki keyakinan baru. Walau demikian, mereka tetap memelihara kebiasaan-kebiasaan untuk mengagungkan roh leluhur seperti yang dilakoni oleh nenek moyang di masa silam.

Pengagungan suku Lio di Desa Wololele A terhadap leluhur terlihat jelas dari ritual-ritual yang digelar. Mereka senantiasa menyiapkan seekor daging babi sebagai menu utama untuk dihidangkan kepada roh leluhur dan warga sendiri.

Khusus untuk tamu yang tidak memakan daging babi, mereka menyiapkan seekor ayam atau kambing yang mesti dipotong sendiri. Ini bertujuan agar sang tamu tidak ragu-ragu terhadap kehalalan makanan yang dihidangkan.

Dan di sebuah lereng bukit, Maksimus Mete dan kawan-kawan sedang menyiapkan pusat upacara penanaman bibit padi untuk esok hari yang disebut kawini. Sementara di malam kedua, upacara patika atamata dilangsungkan sebagai permohonan restu atas upacara Tedo Pare Uma Nggua atau upacara menanam bibit padi yang akan dilakukan esok.

Pelaksana Ria Bewa, Solomon Weda Wangge, mengenakan pakaian kebesaran suku Lio atau lambu gebi ditemani oleh mosalaki dan pemuka adat lainnya. Di depannya, beras merah dan daging babi telah terhidang untuk disantap bersama-sama. Suku Lio memang dikenal sangat menjunjung tinggi makna kebersamaan, namun adat istiadat tetap dijaga.

Misalkan soal aturan makan bersama. Kaum perempuan diperbolehkan makan setelah para pria selesai bersantap bersama pelaksana Ria Bewa. Setelah atabisa menyampaikan bosawaga atau mantra persembahan untuk roh Wangge Mbete, ia juga melakukan ritual serupa untuk nitupai atau roh halus yang dipercaya menjaga warga Wololele A.

Ritual menghidangkan beras merah dan daging babi juga diadakan di depan Sao Ria. Tepat di sebuah tonggak yang disebut Tana Watu yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh penjaga bumi. Selanjutnya, atabisa atau dukun ini pun mendatangi makam leluhur lainnya. Yakni, bapak, kakek, dan buyut dari Ria Bewa sendiri.

Akhirnya puncak acara Tedo Pare Uma Nggua atau upacara penanaman bibit padi pun tiba. Seluruh warga lelaki atau perempuan mengenakan pakaian adat untuk mengikuti upacara tahunan ini. Di dalam rumah adat, pelaksana Ria Bewa juga menunaikan persiapan upacara. Selain memohon restu kepada leluhur Wangge Mbete, mereka menyiapkan bibit padi laka gete dan kea teke mite yang dicampur dengan perhiasan emas atau ngawu gewu wini.

Dari dua bibit inilah mereka berharap bisa memperoleh hasil panen melimpah untuk bahan makanannya selama setahun. Tentunya tanpa adanya hama atau gangguan alam. Lantas, pelaksana Ria Bewa dan seluruh penduduk Desa Wololele A bersama-sama menuju lereng bukit.

Berdasarkan kepercayaan suku Lio, upacara Tedo Pare Uma Nggua digelar buat mengingat pengorbanan Bobi Nombi yang mengikhlaskan nyawanya untuk anak-anaknya. Pengorbanan ini dilakukan karena diyakini dalam tubuh Bobi Nombi terkandung berbagai bibit pangan.

Tak hanya itu. Upacara ini dilakukan sebagai konsep menjaga keseimbangan antara manusia dan Tuhan, serta antara warga suku Lio dan leluhurnya. Termasuk antara warga Desa Wololele A dan alam itu sendiri.

Nasi merah, sirih pinang, mokke, dan seekor babi adalah sajian utama untuk persembahan kepada Bobi Nombi dan roh leluhur. Kemudian, meanosi atau pemimpin upacara menutup ritual mantra persembahan untuk Bobi Nomi dan leluhur, pelaksana Ria Bewa mengajak seluruh warganya untuk bersantap bersama. Ikatan kebersamaan dan kerukunan begitu terasa di tempat ini.

Ketika seorang mosalaki menyenandungkan Nangi Ndale, warga pun satu per satu menuruni bukit dan mulai menanam. Nangi Ndale adalah nyanyian berupa ratapan atas kematian Bobi Nambi yang diyakini sebagai Dewi Sri-nya warga suku Lio.

Upacara Tedo Pare Uma Nggua bukan hanya mengajarkan warga suku Lio tentang konsep keseimbangan antara manusia dan Yang Maha Pencipta. Juga antara manusia dan leluhurnya atau antara manusia dan alam. Namun, melalui upacara atau ritual adat, mereka memperlihatkan keharmonisan hubungan antar manusia itu sendiri.

Dengan konsep kepemimpinan yang terpusat pada seorang Ria Bewa, mereka dididik untuk hidup rukun dan menjunjung makna kebersamaan. Tanpa berpikir soal materi atau keinginan duniawi yang berlebih. Dan mereka ternyata menikmati makna kerukunan dan kebersamaan itu.(ANS/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini