Sukses

Embusan "Angin Surga" Amalillah

Warga yang bosan hidup melarat mencoba peruntungan dengan menjadi makmum Yayasan Amalillah dan mendambakan dana Rp 15 juta. Para tersangka membantah dituduh sebagai penipu, namun tak bisa menjawab soal pencairan dana.

Liputan6.com, Tangerang: Kabar itu berembus begitu cepat. Dana hibah Rp 1,5 juta hingga Rp 15 juta akan dibagikan Yayasan Amalillah ke warga. Iming-iming dana hibah disambut gempita bak oase di tengah keringnya padang pasir oleh sebagian warga Tangerang, Banten. Maklum, tak mudah mencari uang sebesar itu di saat kondisi perekonomian yang serba sulit seperti sekarang. Warga yang bosan melarat pun mencoba peruntungan.

Mustofa, misalnya. Lelaki renta ini terbujuk janji gombal seorang petugas Yayasan Amalillah yang bergerilya di Cisauk, Tangerang. Pria yang akrab disapa Apa ini rela menyerahkan uang Rp 100 ribu dan selembar fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat menjadi makmum Yayasan Amalillah yang akan menerima dana hibah. "Bisa untuk Hari Raya [Idul Fitri]," kata Apa.

Lebaran telah lewat lama. Namun dana hibah yang ditunggu-tunggu Apa tak kunjung cair. Kini Apa tak tahu lagi apa yang harus diperbuat agar uang setoran itu kembali. Maklumlah, bapak tua ini harus menjual seekor kambingnya demi menjadi makmum Yayasan Amalillah. Walau demikian, Apa masih berharap dana hibah yang dijanjikan itu mengucur kelak. "Mudah-mudahan saja keluar," tambah dia tanpa kuasa menyembunyikan kekhawatirannya.

Selain Mustofa, setidaknya ada 536 warga yang tersebar di Kecamatan Cisauk, Tenjo, Cibogo, dan Pagedangan menjadi makmum yayasan itu. Pun demikian dengan warga Desa Banyuasih, Mauk, Tangerang. Sebanyak 315 orang menyerahkan Rp 35 ribu untuk membeli meterai. Mereka terbuai "angin surga" yang diembuskan para pengurus Yayasan Amalillah yang mendatanginya.

Makmum Yayasan Amalillah yang umumnya rakyat kecil ini mulai kalut karena tak ada kabar soal pencairan dana hibah itu. "Belum sampai sekarang," ungkap Eba, wanita yang sudah menjadi makmum yayasan yang diketuai Aiyon Suharis Restuningrat ini sejak tujuh tahun silam. Demikian juga dengan Sarkani. Dia mengaku menjadi makmum karena tergiur akan diberikan dana hibah sebesar Rp 24 juta.

Eba dan Sarkani mengaku menjadi makmum melalui Sobari yang tak lain tetangganya. Lelaki yang menjabat sebagai koordinator Yayasan Amalillah sejak tahun 1999 untuk kawasan Banyuasih ini setiap hari mengajak warga menjadi makmum. Sobari menolak dikatakan menipu warga. Bahkan Sobari akan menuntut pihak yayasan yang telah mempekerjakannya sejak tujuh tahun silam tersebut.

"Bisa dibakar Yayasan Amalillah kalau nggak bener," kata Sobari yakin. Lebih jauh dia mengatakan, yayasan sudah berbadan hukum, mempunyai kantor, serta ada karyawannya. "Walaupun bagaimana saya yakin adanya Yayasan Amalillah," ungkap Sobari. Kendati begitu dia tak tahu-menahu asal uang yang akan dibagikan kepada warga. "Itu urusan pimpinan," ujar Sobari enteng.

Warga yang kesal karena merasa ditipu langsung melapor ke jajaran Kepolisian Resor Tangerang. Tak susah bagi polisi mencari pengurus Yayasan Amalillah. Singkat cerita, empat pengurus yakni Sugiyaman alias Iman, Eko Surono, Kodir, dan Nurjaman dibawa ke kantor polisi. Eko Surono, Kodir, dan Nurjaman ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan, sedangkan Sugiyaman boleh menarik napas lega karena dibebaskan [baca: Polres Tangerang Membekuk Pengurus Amalillah].

Kodir berdomisili di Jatimauk. Ia tercatat sebagai anggota merangkap koordinator di wilayah Tangerang sejak 2004. Dia bertugas merekrut calon penerima dana hibah. Bapak empat anak ini telah menjual sebanyak 14.700 lembar meterai kepada 750 makmum. Setiap benda pos itu dijual dengan harga yang tak murah, yaitu antara Rp 30 ribu hingga Rp 60 ribu per lembar.

Selanjutnya dana diserahkan kepada Eko selaku pimpinan cabang B-03 yang membawahi Pulau Jawa. Menurut Eko, seluruh kegiatan yayasan bertujuan untuk kepentingan umat. Lelaki bertubuh subur ini menambahkan, program yayasan saat ini adalah perekrutan anggota yang akan menerima dana "sosial". Adapun Nurjaman bertugas mencatat dan mengumpulkan dokumen makmum di Cabang B-03.

Tiga tersangka itu membantah dituduh sebagai penipu. Namun mereka tidak bisa memberi jawaban pasti soal pencairan dana hibah. "Duit itu ada walaupun saya sendiri belum melihat di rekening mana," kata Eko masih optimistis. Keterangan itu pun diamini Kodir. "Ya, itulah dikembalikan lagi ke keyakinan kita," kata Kodir sembari menambahkan: "Suatu saat dana itu pasti turun."

Seribu satu macam dalih memang boleh dilontarkan mereka. Para tersangka pun boleh saja tidak mau dicap sebagai penipu. Tetapi, adanya pengaduan warga sudah cukup untuk memproses secara hukum mereka. Sebagai barang bukti, polisi menyita bukti penyerahan dana dari anggota dan surat keputusan pengangkatan pengurus. "Perkara ini tindak pidana penipuan," ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangerang Ajun Komisaris Polisi Adex Yudiswan. Mereka diancam hukuman empat tahun penjara.

Usut punya usut, ternyata yayasan yang didirikan pada tahun 1998 ini telah memiliki anggota sekitar 20 juta, 540 cabang, enam dewan pengurus pusat (DPP) dan 10 dewan pengawas keuangan dan perbankan (DPKP) di seluruh Indonesia. Selain program dana hibah, yayasan yang berkantor pusat di Jalan Jatimakmur Nomor 10, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat ini sering mengadakan kegiatan seperti khitanan massal dan bakti sosial.

Menurut Kepala Hubungan Masyarakat Yayasan Amalillah Pusat Usman Abdullah, belum lama ini sejumlah pengurus pusat menggelar pertemuan di kawasan Cikarang untuk membahas proses pencairan dana hibah kepada makmum. Selain itu, pertemuan juga membicarakan pembenahan organisasi.

Mengenai pembelian meterai, Usman menjelaskan, setiap makmum diharuskan membeli meterai Rp 6.000 sebanyak tiga lembar yang digunakan untuk mencairkan dana hibah. Dia mengimbau agar para makmum tenang karena sedang proses pencairan dana itu. Usman menambahkan, penarikan dana Rp 30 ribu hingga Rp 60 ribu ke setiap makmum bukan ketentuan yayasan. Namun ulah oknum semata.

Hal senada diungkapkan Puguh Wirawan, kuasa hukum Yayasan Amalillah. Kasus penipuan yang terjadi di sejumlah daerah murni dilakukan oknum pengurus yang menyalahgunakan kewenangan. "Dia [oknum] bersikap di luar ketentuan yang menjadi sikap DPP," kata Puguh.

Dana hibah yang akan dibagikan ke makmum menurut fotokopi dokumen Yayasan Amalillah yang disebarkan pada anggotanya adalah wasiat seorang berkewarganegaraan asing. Mr. Insinyur Ecollent Sultan Brodjocent. Dia menjabat sebagai direktur pertambangan di Afrika. Dalam surat wasiat tertanggal 27 Juli 1981 itu dicantumkan kalau keluarga almarhum Syekh E. Yusuf akan menyerahkan keuntungan dan kekayaan pribadi kepada Aiyon dari negara Indonecent.

Namun dalam fotokopi surat wasiat tersebut sama sekali tidak tercantum jumlah dan waktu harta kekayaan itu akan diwariskan. Hingga kini tak ada yang mengetahui jelas apa hubungan Aiyon dengan Ecollent. Aiyon selaku pemegang hak waris berniat membagikan harta warisannya itu kepada warga dengan membentuk Yayasan Amalillah.

Meski tak ada pengurus yang mengetahui total dana yang akan dibagikan, rencananya setiap anggota mendapat dana hibah sebesar Rp 24 juta. Adapun rinciannya adalah Rp 4 juta untuk fakir miskin dan anak yatim, Rp 5 juta untuk pengurus dan Rp 15 juta untuk makmum yang akan diberikan secara bertahap.

Pencairan tahap pertama sesuai dengan akta notaris yang dikeluarkan Notaris Titiek Lintang pada Juli 2006 di Surabaya, Jawa Timur, akan diberikan Rp 5,5 juta untuk masing-masing anggota. Rincian adalah Rp 3 juta untuk makmum, Rp 1 juta buat yatim piatu, Rp 1 juta untuk dana sosial, dan Rp 500 ribu menjadi hak kepengurusan.

Kontroversi Yayasan Amalillah bukan hanya kali ini saja terjadi. Tahun 2002, empat pengurus yayasan di Gresik, Jatim ditangkap polisi. Mereka diduga menggelapkan uang sebesar Rp 13,6 triliun yang dikumpulkan dari 528 ribu anggotanya. Mereka adalah Ketua DPP Gresik Abdul Kholiq, Ketua DPC Manyar H. Zuadi. Ketua DPC Cerme Abdul Rokhim, dan Bendahara Nurul [baca: Yayasan Amalillah Kembali Meniupkan "Angin Surga"].

Mereka dibekuk menyusul laporan warga yang merasa ditipu. Saat itu, pengurus menjanjikan pencairan dana hibah pada September 2002. Namun hingga kini dana itu belum juga cair. Namun Abdul Kholiq menyangkal tindak penipuan yang dituduhkan kepadanya. Hanya saja, Pengadilan Negeri Gresik tetap menjatuhkan vonis penjara empat bulan 20 hari kepada keempat pengurus tersebut.

Yayasan Amalillah Cabang Gresik berkantor di Jalan dokter Wahidin Sudirohusodo. Akan tetapi, sejak serbuan massa yang mempertanyakan dana hibah yang tak kunjung cair pada September 2002, pengurus memindahkan kantor mereka ke Desa Metatu di Kecamatan Benjeng, Gresik. Namun kondisi kantor tak seperti dulu. Kantor ini sekarang tampak sepi.

Menurut Damin, pria yang bertugas sebagai penjaga keamanan kantor sekaligus makmum Amalillah, sudah sejak lama tak ada aktivitas lain di kantor ini. Yang ada hanya menanti kabar pencairan dana hibah dari kantor pusat di Pondok Gede. Meski tetap masih harus menunggu, Damin yakin dana hibah itu pasti cair. "Sampai kapan pun yakin," kata lelaki berbadan kurus tersebut.

Keyakinan Damin juga masih melekat dalam dada Anis Koto, pemilik rumah makan yang tepat berada di sebelah Kantor Amalillah yang lama. Sejumlah dokumen terkait dana hibah masih disimpan. Dia berharap suatu saat dana itu benar-benar cair. "Menunggu dana cair," kata Anis.

Apa yang terjadi di Gresik dan sejumlah daerah lain hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi warga masyarakat agar lebih berhati-hati. Contohnya, Dedi Jayadi. Warga Cisauk ini tak langsung percaya dengan janji manis pengurus Yayasan Amalillah yang akan memberikan uang hibah yang berjumlah jutaan rupiah. Keyakinan Dedi satu: uang harus dicari dengan bekerja.(JUM/Tim Derap Hukum)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini