Sukses

<i>Dangai</i>, Ungkap Syukur Dayak Bahau Busang

Kesibukan sehari-hari seperti berburu dan mencari ikan tidak membuat Suku Dayak Bahau Busang lupa bersyukur pada Sang Pencipta. Ritual Dangai merupakan ungkapan syukur dan untuk meneguhkan mereka dalam menjalani kehidupan.

Liputan6.com, Kutai Barat: Pedalaman Kalimantan yang dibelah beberapa aliran sungai besar menyimpan berbagai kisah peradaban anak manusia. Dalam kelembaban hutan lebat di tepi-tepi sungai, hidup kelompok masyarakat adat yang menyebut dirinya Suku Dayak. Tubuh mereka biasanya bertato dan memakai anting hingga membuat panjang daun telinga.

Masyarakat Dayak telah menjaga hidupnya dari ancaman kehancuran alam dengan berbagai kearifan sejak ratusan tahun silam. Salah satunya menganggap semua benda di alam memiliki roh dan perasaan seperti manusia. Karena itu, mereka tidak menganggap lebih tinggi dari pada alam. Manusia serta alam saling menjaga dan menyelamatkan.

Aliran sungai yang menjadi jantung kehidupan dan jalur untuk berhubungan dengan masyarakat luar dijaga dan dibiarkan tetap apa adanya. Contohnya, Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sejak ratusan silam, aliran air dan hutan di tepiannya tak pernah berubah. Padahal lebih dari satu masyarakat adat menggunakan jalur sungai ini.

Masyarakat asli Pulau Borneo ini seakan sangat hafal setiap denyut Sungai Mahakam. Hal itu tampak saat bertemu jeram atau riam. Mereka sudah tahu cara menghindarkan diri dari bahaya arus Sungai Mahakam. Salah satu Suku Dayak yang mendiami hulu Sungai Mahakam di kawasan Long Pahangai, Kutai Barat adalah Bahau Busang.

Suku Bahau Busang sempat menjalani hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan. Mereka bertahan hidup dengan bercocok tanam dan berburu hewan. Pola hidup ini mulai ditinggalkan Suku Dayak Bahau Busang sejak abad ke-19. Mereka memilih menetap di Kampung Long Pahangai. Perubahan pola hidup ini tidak serta merta menghilangkan adat kebiasaan suku ini.

Berburu babi dan ikan masih dijalani. Menjalankan kegiatan ini berarti juga harus melaksanakan semua ritual dan norma yang melekat sebelumnya. Saat kaum pria telah menemukan lokasi perburuan, yang pertama dilakukan ialah memohon izin kepada roh leluhur. Mereka memohon agar terbebas dari petaka saat berburu.

Mereka melarang menggunakan bom atau racun ikan. Hanya senjata rakitan dengan anak panah yang diperbolehkan sebagai alat berburu. Tak hanya ikan tembilang yang didapat kaum pria saat berburu. Hiu Mahakam sering menjadi sasaran mata anak panah para pemburu Suku Dayak Bahau Busang.

Kesibukan sehari-hari untuk mencari makan tidak membuat Suku Dayak Bahau Busang lupa bersyukur kepada Sang Pencipta. Mereka beranggapan Amay Tingai yang menjadi Tuhan mereka akan menjauhkannya dari berbagai musibah. Salah satu upacara sebagai wujud syukur Bahau Busang adalah ritual Dangai. Selain ungkapan rasa syukur, upacara ini untuk meneguhkan mereka dalam menjalani kehidupan.

Upacara Dangai selalu diiringi tetabuhan musik tradisional. Bersamaan dengan suara gendang bertalu-talu, sejumlah wanita dengan pakaian adat keluar satu per satu dari sebuah rumah. Ini merupakan awal ditandainya ritual Dangai. Mereka berjalan beriringan mengikuti irama musik untuk menggelar ritual tanah, prosesi awal Dangai.

Sedikit tanah sebagai simbol media yang telah memberi kesuburan dan kemakmuran, pohon berikut akarnya, dan potongan kecil papan lantai dikumpulkan. Bahan-bahan yang diambil dari suatu tempat yang dianggap suci itu lalu ditaruh di lamin besar. Selanjutnya para wanita itu mengitarinya 16 kali yang merupakan simbol kebersatuan alam.

Prosesi selanjutnya adalah ritual di bawah atap janur. Ritual ini ditandai dengan pemanjatan doa dan mantera oleh para dayung atau pemuka agama yang semuanya perempuan untuk meminta izin pada roh leluhur agar Dangai berjalan lancar.

Dua prosesi ini disebut dengan ngetalun. Pada upacara ini dominasi wanita begitu kental. Namun bukan berarti kaum pria tak berperan. Peran kaum adam Suku Dayak Bahau Busang mulai tampak saat mendirikan pondok lamin, bangunan kecil di depan lamin besar. Mereka bekerja sama membuat bangunan yang akan digunakan sebagai sentral ritual Dangai.

Setelah pondok lamin selesai dibangun, upacara tegerang lepau mulai digelar. Inti upacara Dangai ini dimulai dengan dipanjatkannya kembali mantera ke leluhur oleh pemuka adat. Selanjutnya warga menghadap dayung. Para ibu juga membawa anaknya kepada dayung yang tidak lain agar tunas-tunas Suku Dayak Bahau Busang dapat mengarungi hidup kelak.

Hari pertama Dangai ditandai penyembelihan anak babi dan anak ayam. Hati babi dipercaya mampu menangkap sinyal kehidupan yang akan dihadapi suku ini. Baik buruknya masa depan suku ini dapat dibaca dari warna hati babi yang dipotong. Bila hasilnya masa depan suku ini buruk, hati anak ayam akan ditempelkan pada hati babi sebagai upaya menangkal bencana yang akan muncul di kemudian hari.(JUM/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini