Sukses

Dieng, Bumi Para Dewa

Konon, dataran tinggi Dieng diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa ketika turun ke bumi untuk berkomunikasi dengan para pemujanya. Dataran tinggi Dieng diyakini sebagai awal peradaban agama Hindu di Pulau Jawa.

Liputan6.com, Dieng: Ketika tata krama diabaikan dan kaum ningrat lupa tentang kewajibannya serta kawulo alit mulai berani menentang yang dititahkan oleh para bendaranya, sebuah bencana mulai terjadi. Kekisruhan, huru-hara serta murkanya alam akan mewarnai negeri yang selalu melupakan jati dirinya. Karena itu, manusia hendaknya selalu ingat dan waspada merenungi apa yang selama ini pernah diperbuat agar Tuhan menjauhkan azab malapetaka. Begitulah inti dari pesan yang disampaikan dalam pergelaran wayang kulit Ringgit Purwo yang mengambil lakon Semar Bangun Kahyangan. Sebuah pertunjukan yang menjadi bagian perayaan malam Satu Suro di dataran tinggi Dieng.

Dataran tinggi Dieng adalah gugusan pegunungan yang memiliki keindahan alam menakjubkan. Kawasan ini berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut yang memiliki sejarah panjang sejak berabad-abad lampau. Puncak dataran Dieng masuk dalam wilayah dua kabupaten, yaitu Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.

Ribuan atau mungkin jutaan tahun lampau, dataran tinggi Dieng ini terbentuk akibat amblesnya sebagian dari gunung api tua yaitu Gunung Perahu sehingga muncullah gunung-gunung baru. Tak heran, hingga kini di dataran tinggi Dieng banyak dijumpai tekanan air bawah tanah oleh magma yang memunculkan letusan letusan kecil. Berkah alam yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa ini memiliki unsur kimiawi yang menghasilkan tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Tak heran, jika sebagian besar dataran tinggi Dieng dipenuhi ladang penduduk yang ditanami berbagai macam jenis  sayuran.

Bangunan-bangunan kuno juga banyak dijumpai di daerah bukit di kawasan Dieng. Bangunan kuno yang dalam bahasa Jawa kuno disebut Di Hyang yang berarti tempat bersemayam para dewa. Berdasarkan catatan sejarah kawasan ini diyakini sebagai awal peradaban agama Hindu di Pulau Jawa yang berkembang di masa kejayaan Dinasti Sanjaya sekitar Abad ke-8. Pada masa itu, candi digunakan untuk memuliakan Dewa Syiwa. Dalam perkembangannya candi-candi ini oleh masyarakat setempat diberi nama tokoh-tokoh pewayangan dalam kisah Mahabarata.

Candi adalah bangunan yang pada masa lalu menjadi pusat kepercayaan agama Syiwa, tempat bersemayam para dewa ketika turun ke bumi untuk berkomunikasi dengan para pemujanya. Konsep candi ini mengadopsi dari konsep Mehru yang dibawa oleh para pendeta Hindu dari India. Mehru atau Mere adalah Gunung Kosmis bangsa India tempat bersemayam para dewa. Sejarah peradaban besar ini bisa dilihat dari peninggalan yang tersisa.

Hari ini, adalah awal bulan Suro, yakni awal tahun baru dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam Hijriah. Bagi sebagian masyarakat Jawa penganut aliran ilmu Kejawen meyakini bulan Suro memiliki arti yang sangat penting sama halnya dengan bulan suci yang dianut agama-agama Samawi. Di saat itulah, biasanya mereka membuat laku membersihkan diri dari segala kotoran yang menurutnya badan fisik dianggap sebagai belenggu roh atau jiwa manusia.

Pak Roesmanto, lelaki separuh baya adalah sesepuh penganut kepercayaan Tunggul Sabdo Jati Doyo Amongrogo di kawasan dataran tinggi Dieng. Sebagai penghayat, dirinya percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Betara Tunggal. Tapi, mereka juga percaya adanya roh-roh leluhur gaib. Karena itu, Roesmanto beserta asistennya menjalani ritual ke beberapa lokasi keramat ke gunung gunung dan gua yang diyakini tempat bersemayamnya para roh-roh gaib leluhur. Dalam ajarannya, Roesmanto meyakini adanya kehidupan setelah kematian. Roh leluhur yang banyak mendiami puncak-puncak gunung diyakini banyak membantu kemakmuran anak cucu turunannya.

Adanya roh leluhur gaib yang bersemayam di bumi Dieng dianggap memberi pengayom dan kemakmuran kepada para penghuninya. Bulan Suro, saat yang paling tepat untuk menyampaikan kabar kepada penguasa mistis perut bumi kawah sikidang yaitu eyang Pelangkah Jagad bahwa esok ruwatan bumi hendak dilakukan.

Sebagian masyarakat Jawa tak sekadar memaknai bulan Suro dengan laku membersihkan diri lahir maupun batin. Bagi yang mencintai benda-benda seni bertuah semacam keris, bulan Suro adalah saat yang paling tepat untuk dibersihkan dari kotoran agar pamor yang melekat pada keris muncul kembali. Keris dianggap sebagai Piyandel atau sebagai harapan, doa, dan kepercayaan bagi orang Jawa. Karena itu, di bulan suci Jawa itu semuanya diserahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Keris maupun pemiliknya harus dibersihkan mengingat keris adalah cerminan diri bagi pemiliknya.

Inilah puncak ritual di malam satu Suro. Sebuah tembang Mocopat Dandang Gulo Sabdo Utomo ciptaan Prabu Sri Aji Joyoboyo dilantunkan sebagai pembuka acara malam Suro. Tembang ini mengingatkan agar manusia selalu eling dan waspada. Kekeliruan tingkah laku bisa menimbulkan alam murka, huru-hara, dan kekisruhan akan terjadi di mana-mana.

Malam ini, guru raib roh leluhur Kaki Semar yang berjuluk Begawan Sampurno Jati, merasuk pada wadah seseorang sebagai media untuk memberi petuah kepada pengikutnya di paguyuban kebudayaan Jawa Tunggul Sabdo Jati. Kaki Semar mengingatkan, manusia supaya waspada hingga 2009. Kekisruhan akan melanda negeri ini, terutama di wilayah Jawa bagian timur. Karena itu, negeri ini perlu dibersihkan dengan cara melakukan ruwatan bumi. Memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, penguasa alam semesta supaya dijauhkan dari malapetaka.

Bibit ilmu Kejawen diperkirakan muncul semenjak berkuasanya kerajaan-kerajaan Mataram kuno. Kejayaan aliran ini mulai dirasakan ketika berdirinya kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aliran yang semula percaya pada roh-roh nenek moyang mulai dipengaruhi oleh Hinduisme dan Budhisme yang kemudian memunculkan faham baru yaitu aliran Kejawen.

Ilmu kejawen percaya adanya reinkarnasi atau hidup setelah kematian hingga sebanyak tujuh kali. Jika selama itu manusia gagal menebus karma yang diperbuat semasa hidupnya maka Tuhan yang Maha Kuasa memberi dua kehidupan lagi dalam wujud roh-roh gaib tanpa badan kasar. Mereka bertugas menolong manusia supaya rohnya diterima di alam nirwana menyatu dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dan malam ini, bertempat di Telaga Warna Gunung Dieng, Roesmanto melarung berbagai macam sesaji sebagai ungkapan rasa syukur kepada para leluhur gaibnya. Kini malam makin larut, gending-gending pertunjukan wayang kulit dengan lakon Semar Bangun Kahyangan akhirnya menjadi pamungkas ritual ruwatan bumi kali ini.(ORS/Soedjatmoko dan Budi Sukmadianto)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini