Sukses

Ketika Arwah Leluhur Disucikan

Adalah suatu kewajiban bagi sanak keluarga yang masih hidup untuk turut mengantar prosesi penyucian arwah mendiang. Dengan begitu, arwah leluhur yang selama ini berada di alam maya diharapkan bakal diterima Sang Penguasa Kehidupan.

Liputan6.com, Karangasem: Kesibukan luar biasa tampak di pelataran Banjar Kelodan milik Desa Adat Ngis di Kabupaten Karangasem, Bali. Di tempat inilah, hampir setiap orang tak ada yang menganggur. Mereka dengan senang hati bahu-membahu bekerja merangkai berbagai macam bahan untuk keperluan sesaji prosesi lanjutan upacara Ngaben atau Pitra Yadnya secara massal [baca: Ngaben, Menuntun Leluhur Menggapai Nirwana].

Kaum lelaki desa termasuk para pemangku adat Desa Ngis pun tak kalah sibuk. Hari ini tugas mereka membuat nglungah. Yaitu, merangkai kelapa gading yang berfungsi sebagai media atau simbol bagi yang meninggal dunia ketika masih dalam kandungan.

Gotong royong warga desa adat di Kecamatan Abang itu bukannya tanpa alasan. Soalnya begitu banyak ragam sesaji yang harus mereka persiapkan. Untuk upacara Ngaben massal ini saja, setiap kelompok keluarga besar setidaknya membutuhkan 60 hingga 70 jenis sesaji. Setelah siap, sajen yang dalam bahasa setempat disebut bebanten ini dikumpulkan dalam salu atau kotak kayu.

Sedangkan di luar banjar, sebagian kaum lelaki lainnya bertugas membersihkan Pura Segeh. Pura yang melambangkan empat arah penjuru datangnya kehidupan ini letaknya persis di perempatan jalan Desa Ngis. Di tempat inilah, seorang pemangku adat berdoa mohon restu kepada penguasa gaib penjaga persimpangan jalan itu. Terutama agar tak mengganggu jalannya upacara esok hari.

Seiring dengan itu, bertempat di pondok upacara, sebagian warga menggelar prosesi awal Pitra Yadnya. Sejumlah sekah (limas berisi abu jenazah) yang disimpan di dalam pondok diambil kembali oleh pemiliknya. Termasuk beberapa ganjaran seperti boneka berbentuk tubuh manusia. Sepintas ganjaran ini mirip jelangkung, orang-orangan yang dipergunakan untuk memanggil arwah.

Berbagai macam perwujudan badan kasar manusia ini kemudian dibawa menuju banjar. Di sana, sekah-sekah itu dilengkapi dengan sesaji serta diberi wewangian oleh para pemangku adat Desa Ngis. Setelah semua dianggap lengkap, maka berbagai perwujudan itu dipindahkan oleh setiap anggota keluarga menuju ke rumah masing masing.

Ritual kecil pun digelar menyambut para arwah yang sudah merasuk dalam setiap sekah yang dibawa. Inilah yang dijalani pula oleh pemangku adat Jero Kubayan I Wayan Wita Raga. Setelah ritual penyambutan selesai, berbagai bentuk perwujudan itu diletakkan ke dalam Balai Dangin untuk diinapkan semalam. Di tempat ini, Pak Jero Kubayan kembali menuliskan beberapa mantra di atas daun lontar.

Tak hanya itu, Jero Kubayan juga memberi sesaji untuk para arwah sanak saudara atau leluhur mereka yang sudah meninggal dunia beberapa tahun silam. Mereka meyakini, sebelum upacara Ngaben ditunaikan, roh para leluhur dianggap masih berada di seputar anggota keluarga yang masih hidup. Lantaran itulah, arwah yang hendak pulang ke rumah diberi perwujudan badan kasar yang berupa sekah dan nglungah.

Seperti lazimnya, ketika berbagai perwujudan ditempatkan di Balai Dangin, maka para sanak saudara yang masih hidup berkumpul di sekelilingnya. Mereka menunggui para arwah leluhur yang pulang ke rumah.

Dan saat sang purnama menyinari malam, tradisi menunggui arwah leluhur yang pulang ke rumah ini biasanya diselingi dengan alunan musik gamelan. Ini sekaligus untuk menghibur arwah leluhur serta para dewata. Kali ini keluarga Jero Kubayan memilih tembang dari Kakawin Ramayana, sebuah epos yang mengisahkan kehidupan Rama dan Shinta.

Menjelang pagi, hawa dingin yang merasuk seperti bukan menjadi halangan bagi penduduk Desa Ngis untuk memulai aktivitas. Hanya karena memiliki tanggung jawab besar mensukseskan hajatan massal upacara Ngaben, mereka rela pagi buta meninggalkan rumah masing-masing.

Pagi ini, warga Desa Ngis memotong dua ekor babi. Hewan peliharaan ini dikurbankan untuk menjadi menu utama bahan sesaji dalam setiap kali upacara keagamaan di Pulau Dewata. Buat membersihkan bulu-bulu binatang itu, masyarakat Desa Ngis memilih cara dengan menyulut tubuh hewan tambun ini dengan api dari daun pohon kelapa yang sudah kering.

Kehidupan penduduk desa adat itu memang senantiasa diselimuti suasana gotong royong. Mereka pun hidup secara rukun. Kerukunan di antara mereka bahkan telah terjalin begitu lama. Peran para pemangku adat tentunya tak dapat diabaikan.

Dalam struktur masyarakat desa di Bali, pemangku adat memang memiliki posisi begitu penting. Mulai dari menyelesaikan persoalan warga hingga urusan ritual keagamaan. Kini, mereka bertugas menjalankan fungsinya. Ini termasuk memotong dan membagi rata daging babi yang akan dipergunakan untuk keperluan sesaji pada upacara Ngaben nanti.

Kini, hari pun beranjak siang. Tibalah saatnya upacara penting digelar. Yakni, memanggil kembali arwah orang yang meninggal dunia. Untuk kemudian disemayamkan dalam badan kasar yang berwujud sekah dan nglungah.

Buat keperluan tersebut, berbagai macam perwujudan diambil oleh kelompok keluarga masing-masing dari ruang pondok upacara. Berbagai macam bentuk perwujudan seperti sekah, nglungah, rantasan, ganjaran, serta panuntun mereka bawa berbondong bondong menuju ke Pura Dalem. Semuanya bakal diikutsertakan dalam upacara sembahyangan.

Pura ini diyakini tempat bersemayamnya Betari Durga alias Dewi Uma. Dengan dipimpin seorang pemangku adat, mereka berdoa memohon restu agar para arwah yang masih di bawah pengawasan Sang Dewi bisa dilepas dan diizinkan untuk "mengikuti" upacara.

Setelah upacara di Pura Dalem selesai, kini ritual dilanjutkan ke Pura Praja Pati. Prosesi kali ini memintakan restu kepada Dewa Syiwa atas pelepasan arwah yang sudah mendapat izin dari Betari Durga. Permohonan ini penting agar prosesi penyucian arwah berjalan dengan lancar sesuai dengan tahapan kaidah agama Hindu Dharma.

Puncak prosesi pemanggilan arwah pun tiba. Berbagai macam perwujudan dibawa menuju Pura Segeh. Tempat ibadah ini melambangkan empat penjuru mata angin yang lokasinya berada di perempatan jalan desa. Tak lama kemudian, mantra-mantra dilafalkan oleh pemangku adat. Mantra itu ditujukan kepada penguasa kehidupan dan penguasa alam gaib penghuni desa agar menerima arwah-arwah yang bakal berdatangan.

Sebagai simbol kehadiran arwah tersebut, mereka mewujudkan dalam bentuk mobil-mobilan atau kapal-kapalan. Mobil merupakan perumpamaan kendaraan mereka. Ini mengingat arwah yang didoakan tersebut ada yang meninggal dunia jauh dari desanya.

Hari berganti hari. Tahapan demi tahapan upacara Pitra Yadnya telah dilalui oleh seluruh kelompok keluarga besar almarhum. Petang itu, setelah seharian menjalani serangkaian upacara ngaskare, mereka kembali ke pondok upacara untuk sembahyang.

Adapun inti dari ngaskare, yaitu menyucikan arwah yang didoakan agar mereka tersebut tidak mendapat hambatan menuju alam yang setingkat lebih tinggi. Penganut Hindu di Bali meyakini kehidupan ini terbagi tiga alam, yakni, alam nyata, gaib, dan nirwana.

Dan ritual kali ini dipimpin oleh pedande atau pendeta, bukan lagi oleh pemangku adat. Dengan demikian, upacara ini telah menginjak pada tahapan yang lebih tinggi. Diiringi sebuah genta berirama lembu aneledwe, para pedande melafalkan mantra-mantra dari Kitab Weda. Para petinggi agama itu memohon restu kepada Sang Hyang Widi Wasa. Sembahyang ini diikuti oleh 36 kelompok keluarga besar dengan khusyuk. Ritual ini bertujuan agar arwah para leluhur yang kini masih berada di alam maya (kehidupan di antara alam nyata dan gaib) merasa lebih tenang.

Selain dari itu, sembahyang kali ini sekaligus memohon kepada penguasa kehidupan Panca Maha Buta (lima unsur pembentukan manusia berdasarkan kepercayaan Hindu) agar memberikan berkah pada bebanten yang disuguhkan.

Setelah memimpin doa, pedande pun memercikkan tirta suci. Percikan air suci ini sebagai pertanda bahwa sesaji yang disuguhkan sudah memperoleh restu dari para dewa kehidupan. Ini berarti pula, berbagai macam sesaji yang digelar di altar pondok upacara diizinkan untuk diambil serta dinikmati bersama keluarga.

Dalam keyakinan mereka, babi guling yang menjadi menu utama bebanten ini selalu dibagi merata antara para dewa, arwah, dan manusia yang hidup. Kendati pembagian itu hanyalah secara simbolis. Sementara, sisa dari dari potongan daging babi guling mereka bawa pulang ke rumah. Untuk dijadikan santapan keluarga masing-masing.

Petang itu, prosesi ritual telah memasuki hari kedelapan. Saat inilah puncak upacara Ngaben. Walau melalui waktu yang sangat panjang dan melelahkan, tak seorang pun di antara mereka meninggalkan tradisi leluhurnya. Tepatnya, menunaikan suatu darma atau kewajiban terhadap anggota keluarga yang telah meninggalkan dunia nyata.

Tugas mulia itu pun mereka jalani dengan sungguh-sungguh. Tak aneh, saat yang dinanti tiba, mereka tampak lebih bersemangat mengikuti jalannya upacara. Dengan perasaan riang gembira serta diiringi tetabuhan musik tradisional Bali, para keluarga mendiang berbondong-bondong menuju kuburan. Mereka pun tak lupa membawa berbagai macam perwujudan badan kasar manusia yang hendak diaben.

Dalam sekejap suasana kuburan menjadi hiruk-pikuk oleh kehadiran para sanak saudara para mendiang. Mereka mengelilingi pengulum setra yang berada di bawah pohon asam. Sesaat kemudian, seorang pedande melaksanakan tugasnya dengan memercikkan tirta suci pada setiap sekah serta nglungah. Benda-benda yang menyimbolkan wujud badan kasar para arwah orang yang meninggal dunia.

Tahun ini, banyaknya sekah dan nglungah yang dibakar berjumlah 175 sawa (jenazah). Meski jasad orang yang sudah meninggal dunia sudah dibakar, sesuai tradisi, bila belum melakukan upacara penyucian maka arwahnya dianggap belum sempurna untuk menuju nirwana atau surga.

Sedangkan sekah dan nglungah yang sudah menjadi abu dikembalikan ke asalnya. Unsur air kembali ke air dan bayu ke udara, dan unsur kehidupan kembali ke brahma. Begitu pula unsur pembicaraan kembali ke iswara. Serta dari api kembali ke unsur keseluruhan hidup.

Lantaran itulah, sudah menjadi kewajiban bagi para sanak keluarga yang masih hidup untuk turut mengantar prosesi penyucian arwah leluhur. Dengan demikian, arwah leluhur yang selama ini berada di alam maya diharapkan akan diterima oleh Sang Penguasa Kehidupan, yaitu Panca Maha Buta.(ANS/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.