Sukses

Ngaben, Menuntun Leluhur Menggapai Nirwana

Bagi penganut Hindu di Bali, orang yang masih hidup berkewajiban melaksanakan Ngaben atau membakar jasad anggota keluarga mereka yang sudah meninggal dunia. Ini sebagai tuntunan bagi arwah leluhur mencapai surga.

Liputan6.com, Karangasem: Kehangatan sinar matahari belum menyentuh Desa Ngis, Kabupaten Karangasem, Bali. Namun desa adat di Kecamatan Abang yang senantiasa sunyi ini, hari itu tampak berubah tidak seperti biasanya. Di sudut sebuah rumah tampak suatu kegiatan yang jarang dilakoni oleh segenap keluarga besar Jero Kubayan I Wayan Wita Raga. Suara gamelan pun mengalun ritmis dari kampung tersebut.

Kesibukan saban lima tahun ini bukannya tanpa alasan. Mulai dari meracik bumbu masakan hingga membakar sate mereka kerjakan dengan sukacita. Maklum, inilah saat yang paling istimewa bagi keluarga Jero Kubayan. Yakni, saat melaksanakan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben bagi sanak saudaranya yang sudah meninggal dunia beberapa tahun silam.

Keluarga Jero Kubayan adalah satu di antara 36 kelompok keluarga besar lainnya yang ada di Desa Ngis. Keluarga yang bakal melangsungkan upacara Ngaben. Lantaran itulah, keramaian mulai terlihat semenjak pagi di Desa Ngis.

Mereka berbondong-bondong menuju lokasi pekuburan sembari membawa bebanten (sesaji) dan cangkul. Setra atau kuburan yang menyerupai lapangan rumput luas tersebut dalam sekejap dipenuhi ratusan warga desa. Mereka berkerumun di sekeliling tanah tempat sanak saudara dan leluhur mereka dikebumikan.

Seperti ritual yang dijalani keluarga besar Jero Kubayan. Mereka bersiap menggelar upacara Ngaben terhadap delapan jasad keluarganya yang meninggal dunia beberapa tahun lalu. Seperti layaknya sebuah tradisi ritual di masyarakat Hindu Bali, sebelum menggali tanah kuburan mereka terlebih dahulu sembahyang. Ritual bersama ini bertempat di pengulum setra dipimpin para pemangku adat.

Mereka pun memohon doa kepada penguasa gaib kuburan, yakni Betari Durga alias Dewi Uma. Agar Sang Dewi memberi restu kepada arwah yang akan dibongkar kuburnya. Doa bertujuan pula agar keluarga yang melaksanakan Ngaben dijauhkan dari gangguan makhluk gaib lainnya.

Komunikasi batin dengan Dewi Durga pun usai. Kini tibalah saatnya para anggota keluarga menggali tanah tempat di mana sanak saudara dan leluhur mereka dikebumikan. Dan, dalam sekejap tulang belulang leluhur yang tertanam tidak begitu dalam ini diangkat. Mereka kemudian membersihkan tulang-tulang penuh gumpalan tanah itu dengan air.

Untuk menunjukkan rasa cintanya kepada mendiang leluhurnya, para keluarga berebut agar bisa mendapat bagian mencuci tulang belulang. Arwah leluhur diyakini senang mendapat perhatian oleh sanak keluarga yang masih hidup. Terlebih, arwah mereka dipercaya masih berada di seputar lingkungan keluarga masing-masing.

Memang, penganut Hindu di Bali pada umumnya mempercayai penggalian kubur merupakan awal mula prosesi untuk membebaskan arwah dari berbagai belenggu duniawi. Lantaran itulah, anggota keluarga yang masih hidup berkewajiban melaksanakan Ngaben atau membakar jasad keluarga yang sudah meninggal dunia. Dengan begitu, arwah yang diyakini masih berada di alam maya atau alam antara mati dan tidak ini perlu dituntun. Terutama dengan tahapan-tahapan ritual keagamaan untuk mencapai surga.

Ngaben dianggap sangat penting bagi masyarakat Hindu di Bali. Hanya saja, upacara ini menanggung beban biaya, tenaga, dan waktu yang sangat panjang. Karena itulah tidak semua orang mampu menggelar upacara Ngaben secara langsung. Namun dalam dua dasawarsa terakhir, masyarakat desa lebih memilih dengan cara Ngaben massal. Biayanya jelas menjadi murah lantaran ditanggung bersama oleh setiap kelompok keluarga besar yang hendak melaksanakan Ngaben.

Itulah yang dijalani penduduk Desa Ngis. Maklumlah, mereka begitu lama menunggu untuk bisa melaksanakan upacara Pitra Yadnya itu setelah kematian para sanak saudara dan leluhurnya.

Saat yang paling dinantikan pun tiba. Kebahagiaan terpancar dari setiap keluarga yang menggelar upacara Ngaben. Penggalian kubur leluhur pun berlangsung dengan penuh perasaan gembira. Tulang belulang leluhur yang sudah dibersihkan mereka diperlakukan secara hati-hati.

Tulang-tulang yang sudah tak putih itu diletakkan pada sebuah tempat, beralaskan kain putih sebagai simbol kesucian. Belulang leluhur ini kemudian ditata kembali sesuai dengan struktur tubuh manusia.

Barulah setelah itu Jero Kubayan menyiramkan air pada tulang-tulang leluhurnya. Penyiraman ini sebelum belulang dibungkus dengan kain putih. Hal serupa mereka ulangi setelah membungkus tulang-tulang dengan memercikkan tirta suci yang diambil dari Pura Dalem dan Praja Pati.

Sesaat kemudian, Jero Kubayan melanjutkan ritual di bekas lubang galian yang sudah diisi bebanten dan memercikkan tirta pada seekor ayam hitam. Ini menyimbolkan pelepasan mayat yang akan dibakar. Kini tibalah saat memindahkan tulang belulang terbungkus kain putih berlapis tikar daun pandan tersebut. Beberapa orang pun menggotong sisa-sisa jasad leluhur dengan diiringi para anggota keluarga mendiang. Mereka menuju ke tempat gerombong atau kotak pembakar mayat.

Sesuai tradisi Ngaben, bila sesaji dianggap kurang lengkap, biasanya pihak keluarga memberi pengganti berupa uang. Duit ini lalu diletakkan di jasad leluhur untuk ikut dibakar. Selain itu, pihak keluarga yang ditinggalkan harus pula melengkapi dengan beberapa lembar kain dan seperangkat pakaian serta wewangian bunga. Ini sebagai wujud persembahan keluarga atas hasil jerih payah mendiang semasa hidupnya.

Tak lupa, sebelum upacara pembakaran jasad berlangsung, para sanak saudara mendiang membacakan pujian kepada para dewata. Terutama agar dimudahkan dalam menjalani prosesi Pitra Yadnya tersebut. Selanjutnya, para pemangku adat menghampiri masing-masing jasad untuk memercikkan tirta suci. Itu melambangkan pelepasan para arwah disertai dengan hati ikhlas untuk menuju ke alam yang lebih sempurna.

Tibalah saatnya ritual pembebasan arwah dimulai. Nyala api yang berasal dari ikatan daun kelapa disulut ke tumpukan kayu bakar. Api pun mulai menyala, tepat di bawah kotak gerombong yang di dalamnya berisi jasad kasar tersebut. Dalam sekejap, gumpalan asap membubung tinggi seakan hendak memenuhi angkasa.

Boleh dibilang, warga Desa Ngis yang menunaikan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben cukup besar jumlahnya pada tahun ini. Ada sekitar 137 jenazah dari 36 kelompok keluarga besar. Walau begitu, jasad yang dibakar hanya 41 jenazah. Sisanya berupa Ngaben Sekah yang nantinya akan dibakar pada upacara esok harinya. Adapun upacara Pitra Yadnya kali ini juga dikuti 175 sawa (jenazah) dengan jenis nglungah (ngaben massal yang umum berlaku di pedesaan).

Aturan tradisi Ngaben memang patut dijalani. Misalnya, aturan terhadap jasad yang sudah dibakar, tapi belum melaksanakan Ngaben. Maka, arwahnya dianggap belum sempurna untuk menuju nirwana.

Tak mengherankan, bila upacara kali ini banyak diikuti oleh keluarga yang belum melaksanakan Pitra Yadnya. Dengan cara Ngaben kolektif inilah, mereka berharap segera bisa membebaskan arwah leluhur yang berada di alam maya menuju ke buwah atau alam gaib. Sebab, mereka meyakini kehidupan ini terbagi tiga alam. Yakni, alam nyata, gaib, dan nirwana.

Buat mencapai tahapan-tahapan itu, maka manusia yang masih hidup berkewajiban turut mengantarkan arwah untuk menuju alam swah atau nirwana. Tentunya melalui berbagai macam prosesi ritual. Membakar jenazah hanyalah merupakan salah satu cara untuk membebaskan arwah dari alam maya. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah jawaban satu-satunya untuk bisa mencapai ke alam nirwana. Lebih tepatnya dikembalikan pada hukum karma, dengan menghitung amal perbuatan mendiang semasa hidupnya.

Kepercayaan mengenai pembagian alam kehidupan itulah yang juga dipegang erat warga Desa Ngis. Dengan diiringi tatapan mata sukacita sanak saudara, tulang belulang mendiang dibakar hingga perlahan-lahan menjadi abu. Di tengah kebahagiaan ini, tiba-tiba suasana dipecahkan suara tangis pilu. Seorang bocah meratapi leluhurnya yang tengah dibakar.

Tak ayal, anggota keluarga maupun kerabat yang lainnya pun akhirnya ikut larut dalam duka. Mereka mengenang mendiang semasa hidupnya. Kejadian ini tak berlangsung lama. Sukacita pun kembali menyelimuti setiap keluarga yang mengadakan Ngaben. Sisa pembakaran tulang mereka pungut dengan cara mengais-ngais untuk mendapatkan abu jenazah keluarga masing-masing.

Abu dari tulang belulang tersebut kemudian dibungkus dengan kain putih. Tak ketinggalan diberi pula sesaji bunga dan wewangian. Ini sebagai perwujudan seolah-olah arwah bakal dikembalikan ke asalnya, ke Panca Maha Buta. Lima unsur pembentukan manusia berdasarkan kepercayaan Hindu, yakni tanah (pertiwi), air (apah), api (teja), angin (bayu), dan eter (akasa).

Berbagai macam sesaji yang dimasak sejak pagi hari itu lalu digelar di pelataran kuburan desa. Prosesi kali ini yaitu memberi suguhan kepada Sang Penguasa Kehidupan. Setelah prosesi suguhan berakhir, para anggota keluarga mulai berbondong bondong menuju ke Sungai Kuman Kuyang dengan membawa abu tulang yang sudah terbungkus kain putih. Sungai itu sengaja dipilih sebagai lokasi menghanyutkan abu jasad leluhur. Sebab airnya bermuara hingga ke laut.

Di tempat tersebut, pemangku adat Jero Mangku dan Jero Penyarikan kembali memimpin jalannya upacara dengan membacakan mantra-mantra. Kedua pemangku adat ini mengabarkan kepada Penguasa Kehidupan agar proses pengembalian unsur Panca Maha Buta dapat diterima dengan lancar.

Demikianlah prosesi panjang ini harus dijalani oleh segenap keluarga yang ditinggalkan mendiang. Ritual ini bukan akhir dari upacara Pitra Yadnya. Rangkaian panjang masih menanti untuk menghantarkan arwah leluhur ke nirwana dengan membakar sekah dan nglungah.(ANS/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.