Sukses

Keragaman di Kampung Jawa Tondano

Kampung Jawa Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara dibangun oleh Kiai Maja beserta 63 pengikutnya. Kini, pembangunan kampung itu menghasilkan kesenian-kesenian baru hasil perpaduan budaya Jawa dan daerah lainnya.

Liputan6.com, Minahasa: Berawal dari kekalutan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas perlawanan sengit yang dilakukan Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa pada tahun 1825-1830. Namun dengan siasat licik, mereka berhasil menangkap Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya. Mereka pun dibuang ke daerah pengasingan. Salah satu ulama dan pendukung setia Diponegoro adalah Kiai Mualim Muhammad Khalifah atau lebih dikenal dengan nama Kiai Maja.

Pada akhir tahun 1829, Kiai Maja beserta 63 pengikutnya tiba di Pelabuhan Bitung, Minahasa, Sulawesi Utara. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian menempatkan mereka di kawasan Ton Sialama Ton Tondano. Dengan peralatan seadanya, Kiai Maja dan pengikutnya membangun kawasan ini menjadi kampung Jawa pertama di Minahasa.

Agar bisa bertahan hidup, Kiai Maja memindahkan lokasi permukiman ke kawasan kaki bukit yang dekat dengan sumber mata air. Perhitungan geografis itu dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan lokasi permukiman yang lebih layak. Akhirnya kawasan ini menjadi lokasi tempat tinggal terakhir bagi Kiai Maja dan 63 orang pengikutnya. Dan hingga sekarang keturunan para pejuang itu bermukim di kawasan yang disebut Kampung Jawa Tondano (Kampung Jaton).

Salah satu keturunannya adalah Achmad Nurhamidin. Ia adalah generasi keempat pengikut Kiai Maja. Adapun nama belakangnya--Nurhamidin--menunjukkan identitas bahwa dirinya keturunan Mbah Nurhamidin. Di Kampung Jaton, setiap warga diikuti nama kakek buyutnya.

Sudah hampir 25 tahun Ahmad Nurhamidin menjaga dan merawat kompleks pemakaman Kiai Maja dan para pengikutnya. Karena itu ia tidak hanya hafal nama dan letak makam mereka. Namun Nurhamidin juga masih mengingat sejarah dan perkembangan Kampung Jaton dari masa ke masa. "Mereka yang datang ke sini pria semua. Setelah di sini mereka sempat menikah dan oleh-olehnya adalah Kampung Jawa Tondano," tutur dia.

Pernikahan antara para pengikut Kiai Maja dengan warga setempat membuat komunitas Jaton terus berkembang. Pada tahun-tahun berikutnya, perkampungan ini tidak hanya dihuni para pengikut Kiai Maja dan keluarganya. Akan tetapi juga para pejuang dari daerah lain seperti dari Palembang atau Padang.

Kondisi ini menyebabkan proses pernikahan antar keturunan para pejuang dari berbagai daerah pun terjadi. Walau demikian, cerminan budaya yang dominan di perkampungan ini adalah budaya yang dikembangkan oleh para pengikut Kiai Maja. Salawat Hadrah, misalnya. Instrumen musik serta senandungnya merupakan bentuk pengabdian kesenian kepada sang kiai. Namun tarian yang disisipkan di tengah-tengahnya adalah kesenian yang dibawa para leluhur dari daerah lain.

Di Kampung Jaton dengan mudah kita mendapati warga yang menggunakan sapi untuk aktivitas sehari-hari. Selain sebagai teman berladang, hewan ini juga jadikan sebagai alat transportasi untuk ke ladang serta membajak sawah. Warga setempat meyakini cara ini adalah berladang khas Jawa, buah warisan dari para leluhur mereka.

Kehidupan yang ngejawani dan bersandar syariat Islam membuat warga kampung ini berbeda dengan komunitas masyarakat di sekitarnya. Dulu, warga sekitar menganut paham aliran kepercayaan. Namun lambat laun mereka bisa menerima dan membaur dengan para pengikut Kiai Maja. "Kebudayaan-kebudayaan yang ada di Jawa seperti ziarah kubur menjelang puasa, peringatan tujuh bulanan, ini tetap kita pertahankan terus di sini," ungkap salah seorang sesepuh Kampung Jaton, Husein Assegaf.

Saat ini masyarakat di kawasan itu umumnya juga menganut agama di luar Islam. Meski demikian warga Kampung Jaton tetap mendapatkan tempat dan bebas menjalankan aktivitas keislaman mereka. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, adanya komunikasi perkawinan. Yang kedua, selalu hidup berbaur mulai dari pertanian serta sosial. Dan yang terakhir, daerah Minahasa memiliki badan kerja sama antara umat beragama.

Uniknya, perbedaan pendapat di kalangan sesepuh Kampung ini kerap terjadi. Kesenian Salawatan Jawa adalah salah satunya. Kesenian yang menggunakan bahasa Arabini di-lafaz-kan dalam lafaz Jawa. Meski demikian perbedaan prinsip-prinsip itu melahirkan kampung-kampung Jawa Baro. Setidaknya di Gorontalo sudah ada empat kampung jawa. Sehingga dengan sendirinya keturunan pengikut Kiai Maja semakin tersebar ke berbagai tempat dan membangun perkampungan baru.

Hingga saat ini warga Kampung Jaton pun tak mempedulikan apakah mereka dianggap sebagai warga pendatang, kelas dua, atau pinggiran. Karena saat ini mereka sudah benar-benar merasa menjadi orang Minahasa. "Dalam keseharian, justru yang menentukan status warga itu adalah prestasi orang Jaton itu sendiri. Dia berhasil di bidangnya," ucap salah satu warga Kampung Jaton, Abdul Karim.

Yang pasti, mereka kini hidup dengan damai dengan masyarakat di sekitarnya. Dan perbedaan itu telah menghasilkan kesenian-kesenian baru hasil perpaduan budaya Jawa dan daerah lainnya. Tentu saja, mereka pun tidak akan pernah lupa atas jasa yang telah diberikan oleh leluhurnya.(BOG/Syaiful Halim dan Budi Sukmadianto)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini