Sukses

Salawat Jawa di Kampung Jawa Tondano

Sekitar 700 warga yang mendiami Kampung Jawa Tondano, Minahasa, Sulut, masih melaksanakan tradisi yang dibawa Kiai Maja dan 63 pengikutnya. Generasi mudanya sudah mulai menyelidiki keaslian sejarah.

Liputan6.com, Minahasa: Salawat Jawa berkumandang di Kampung Jawa Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, selama Ramadan. Warga Kampung Jawa Tondano meyakini tradisi lisan yang diwariskan para leluhurnya Kiai Maja dan 63 orang pengikutnya. Karena itu, salawat Jawa juga senantiasa diperdengarkan di setiap pertemuan warga Kampung Jawa Tondano.

Salawat Jawa adalah syair puji-pujian untuk Allah dan Rasul Muhammad yang disampaikan dalam irama dan bahasa Jawa. Warisan kesenian dari Jawa ini tetap dipertahankan meski mereka tinggal di luar Pulau Jawa.

Awalnya, Kampung Jawa Tondano hanya dihuni oleh Kiai Maja dan 63 pengikutnya. Mereka membangun masjid dan rumah-rumah sederhana persis di dekat sumber air. Proses perkawinan antara para pengikut Kiai Maja dengan warga setempat terus berkembang dan menambah anggota komunitas mereka. Mereka juga menikah dengan para pejuang asal daerah lain, membuat perkampungan ini kian semarak.

Kini, ada sekitar 700 jiwa warga bermukim di tempat ini serta sekitar 21 ribu jiwa lainnya tersebar di berbagai daerah. Meski begitu, identitas ngejawani yang diwariskan para leluhur tidak dengan segera tergusur akibat penambahan populasi dan pembauran dengan warga di sekitar Kampung Jawa Tondano. Karena itu, selain salawat Jawa, warga masih mengabadikan beberapa ritual Jawa yang dikembangkan oleh para leluhurnya. Antara lain, peringatan tujuh bulanan dan berziarah ke makam leluhur atau pungguan [baca: Pungguan, Tradisi Ramadan Warga Kampung Jawa Tondano]. "Sampai saat ini kita pertahankan terus," kata Husein Assegaf, sesepuh Kampung Jawa Tondano.

Selain kesenian, warisan terbesar yang didapat warga Kampung Jawa Tondano dari para leluhur adalah penataan kehidupan. Warga Kampung Jawa Tondano bukan hanya komunitas bersyariat Islam tapi mereka juga merupakan komunitas yang terampil mengolah kekayaan alam.

Di sisi lain, kalangan generasi muda merasakan ketidakakuratan data dan sejarah keturunan para pengikut Kiai Maja. Sebab, hingga generasi keenam dan ketujuh ini mereka mendengar sejarah dan tradisi hanya berdasarkan cerita dari orang tua. "Kami generasi muda mulai berpikir tentang kevalidan dan keaslian dari data itu," kata Abdul Karim Salamon.

Perkembangan Kampung Jawa Tondano pun di hadapkan pada persoalan-persoalan lain. Misalnya perbedaan prinsip dalam pengamalan syariat Islam. Sebab, para leluhur dianggap mewariskan tata cara ibadah yang bernuansa adat tradisional. Sementara kalangan lain telah mendapat wawasan baru mengenai pelaksanaan syariat Islam yang murni berdasarkan Alquran dan Hadis.

Hingga kini, warga Kampung Jawa Tondano masih dianggap kaum pendatang, warga kelas dua, dan tentu saja penduduk minoritas. Karena itu, mereka pun harus senantiasa ikhlas menjadi bayang-bayang warga Minahasa. Konsekuensinya warga Jawa Tondano harus terbuka dan siap menerima pembauran adat istiadat, tata cara kehidupan, dan kesenian dari daerah lain. Karena itu, selain salawat Jawa, kesenian yang dihadirkan di Kampung Jawa ini umumnya adalah perkawinan kesenian warisan para leluhur dan kesenian daerah lain.

Menurut mereka, marawis sebagai salah satu kekayaan seni mereka. Padahal, dentum tetabuhan adalah khas Betawi dan rentak tari zappin yang dimainkan adalah khas Melayu. Perpaduan ini bisa jadi adalah cerminan kondisi masyarakat Jawa Tondano yang harus menerima pengaruh dari luar komunitasnya. Bahkan, termasuk juga pengaruh modernitas dan globalisasi.(TNA/Syaiful Halim dan Budi Sukamadianto)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini