Sukses

"Bertemu" Leluhur di <i>Toba Na Sae</i>

Sebagian warga suku Batak menganggap Guru Tatea Bulan adalah leluhur yang suci. Berada di rumah persembahan Guru Tatea Bulan di Pusuk Buhit di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, Sumut, diibaratkan sebagai sebuah pertemuan antara nenek moyang dan para cucunya.

Liputan6.com, Samosir: Pemandangan di sekitar Danau Toba, Sumatra Utara, memang teramat memanjakan mata. Namun di balik keindahan itu, perbukitan sekeliling wilayah yang menjadi andalan pariwisata Provinsi Sumatra Utara ini menyimpan kisah tersendiri bagi etnis Batak. Tepatnya di perbukitan Pusuk Buhit di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir.

Berdasarkan legenda setempat, Pusuk Buhit merupakan asal mula leluhur orang Batak. Syahdan pada abad XII keturunan pertama kali orang Batak yang bernama Siraja Batak singgah di wilayah Toba Samosir. Siraja Batak memiliki anak yang bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Daftar Silsilah atau garis keturunan menunjukkan, Guru Tatea Bulan juga merupakan leluhur tua dari Raja Sisingamangaraja.

Bertolak dari silsilah situlah, saban tahun di bulan tertentu sesuai penanggalan setempat, sebagian orang Batak yang percaya akan keberadaan leluhurnya menapak tilas di Pusuk Buhit. Napak tilas ini dianggap penting buat mengingat kembali asal-muasal mereka.

Untuk menuju rumah persembahan Guru Tatea Bulan, orang Batak yang tinggal di perantauan maupun penduduk setempat harus menapaki ketinggian bukit yang mencapai 1.000-1.800 meter di atas permukaan laut dengan berjalan kaki. Walau cukup melelahkan, mereka menganggap menelusuri jejak leluhur adalah suatu kebanggaan tersendiri.

Sebagian warga suku Batak menganggap Guru Tatea Bulan adalah leluhur yang suci. Berada di rumah persembahan Guru Tatea Bulan diibaratkan sebagai sebuah pertemuan antara nenek moyang dan para cucunya.

Diriwayatkan, Guru Tatea Bulan mempunyai empat anak, yakni Saribu Raja, Limbong Maulana, Sagala Raja, Malau Raja, dan Raja Uti. Di puncak Pusuk Buhit, patung-patung perlambang silsilah Guru Tatea Bulan dan anak-anaknya tersebar. Terkadang, para peziarah menghaturkan doa di hadapan patung persembahan. Melalui patung Guru Tatea Bulan dan Raja Uti, doa dipanjatkan kepada Mulajadi Na bolon yang dipercaya sebagai Tuhan dalam kepercayaan leluhur orang Batak. Maka, ziarah dan berdoa adalah kegiatan awal sebelum mereka menggelar ritual Tatea Bulan, sebuah upacara adat untuk menghormati sang leluhur.

Salah satu anak Guru Tatea Bulan yang paling memiliki kesaktian adalah Raja Uti. Konon pada abad pertengahan, Raja Uti berhasil menguasai Tanah Batak dan wilayah Barus, Sumatra. Itu berlangsung sebelum kerajaan Islam berkuasa di sana. Tak mengherankan, bila Raja Uti saat itu dianggap sebagai reinkarnasi dari Tuhan atau yang lazim disebut Mulajadi Nabolon.

Sebagian orang Batak percaya bahwa Raja Uti sering singgah di lokasi yang bernama Batu Sawan. Di Batu Sawan-lah diduga mengalir air yang sering dijadikan pemandian dan ritual kepercayaan adat Batak. Orang Batak yang tinggal di daerah itu menyebutnya sebagai air berkah. Rangkaian ziarah ini dilakukan sebagian orang Batak, sebelum mereka melaksanakan ritual Tatea Bulan.

Menjelang upacara Tatea Bulan, aktivitas warga di Pasar Pagi Limbong, Desa Siputidai, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Amani Marna Limbong, seorang pambuhai atau tetua dalam acara adat Tatea Bulan pun menjalankan rutinitas sebagai petugas retribusi di pasar seperti biasa.

Pak Marna, demikian penduduk desa adat tersebut menyapa dirinya. Kendati cukup terpandang, lelaki berperawakan sedang itu tetap berusaha mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Sehari-hari dia bisa mengantongi uang sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu.

Walaupun sudah enam tahun berperan sebagai pambuhai, Pak Marna tetap bergaul dengan warga biasa. Ia memang tak tinggi hati meski memiliki status sosial di atas sebagian besar penduduk. Dan, setelah menyelesaikan tugasnya di pasar, Pak Marna pun bergegas pulang ke rumah.

Sesampai di kediamannya, dia segera mempersiapkan alat-alat untuk upacara Tatea Bulan. Sementara di dalam rumah, istri dan keluarga Pak Marna pun menyiapkan tali sulaman. Tali ini dinamakan bonang manalu, berfungsi untuk mengikat batu ajimat pada saat upacara nanti.

Kendati demikian, ada beberapa hal yang harus dilakukan Pak Marna sebelum memimpin upacara. Ia pun kemudian mengenakan pakaian pambuhai. Tak lupa, sebuah pengiring atau ikat kepala dikenakannya. Pak Marna percaya, melalui pengiring, sang leluhur akan menuntun dan melindungi jiwa seseorang. Pria berusia 60 tahun ini tampak agung dalam pakaian sakralnya.

Pak Marna kemudian menyiapkan daun tujuh rupa. Antara lain sipilit, ropu, sirih, silinjuang, alum-alum, dan siritak. Sesajian dedaunan ini dipercaya dapat membuat upacara Tatea Bulan berlangsung dengan baik dan jauh dari godaan dan gangguan. Setiap daun dianggap memiliki kekuatan. Sipilit, misalnya, digunakan untuk menjauhkan diri dari amarah. Sedangkan ropu atau rotan sebagai perlambang perekat atau kesatuan untuk menghindarkan warga dari perpecahan.

Tak ketinggalan daun sirih. Inilah yang paling sering digunakan oleh orang Batak untuk menghaturkan penghormatan kepada Tuhan Mulajadi Nabolon. Adapun sirih dan jeruk purut diyakini sebagai syarat perwujudan doa agar permohonan mereka dapat dikabulkan oleh Mulajadi Nabolon.

Sudah enam tahun terakhir, Pak Marna berdoa dengan ritual tersebut. Melalui sesajen yang dibuat itulah, Pak Marna menghaturkan kebaikan dan menjauhkan hal yang negatif saat upacara Tatea Bulan akan dilaksanakan. Tak lupa, Pak Marna menyiapkan pelengkap utama dalam upacara Tatea Bulan, yakni Tombak Jurung Buhit. Tombak dari sang pambuhai itu adalah pamungkas bagi upacara sakral tersebut. Tombak ini nantinya digunakan untuk mengurbankan seekor kerbau sebagai perwujudan korban bagi Mulajadi Nabolon.

Saat yang ditunggu tiba, upacara Tatea Bulan pun digelar. Di tengah terik matahari, warga berkumpul untuk mengikuti upacara Tatea Bulan. Lokasi pertemuan itu bernama Batu Hobon, sebuah tempat suci yang diyakini sebagian orang Batak sebagai tempat harta kekayaan dari Guru Tatea Bulan.

Setiap tahun, warga Batak yang menghormati leluhurnya tersebut mendatangi batu persembahan itu. Tentunya, sembari membawa bekal sesajian. Para peziarah tak lupa membawa sirih, telur, dan jeruk purut. Seluruh sesajen itu dihaturkan di tengah Batu Hobon.

Konon, makna telur sebagai tanda kesuburan dan cikal bakal penerus bagi generasi selanjutnya. Sedangkan sirih merupakan tanda penghormatan dan penghaturan doa kepada Guru Tatea Bulan. Mereka meletakkan keranjang berisi hasil tani di atas Batu Hobon, sambil memohon permintaan agar hasil panen selalu diberkahi sang leluhur.

Dalam upacara Tatea Bulan ini dipersembahkan pula seekor kerbau. Para pemuka adat di Tanah Batak Toba mempercayai kerbau sebagai hewan kurban persembahkan bagi Mulajadi Nabolon atau Tuhan. Setelah dihias dengan hiasan lambe atau janur kuning dari daun pohon nira, kerbau itu dipindahkan ke borotan. Borotan adalah kayu tambatan sebagai pusat pelaksanaan upacara.

Pak Marna pun tiba di Batu Hobon dengan tombak pambuhainya. Tombak tradisional Jurung Buhit ini adalah warisan leluhur dan telah diberikan ropu atau simbol kekerabatan. Tombak Pambuhai segera ditegakkan menjurus ke langit, seakan menyebar mantra untuk menghindari pengaruh buruk.

Diiringi musik pargondang, para pendoa mulai menari dan melangkah kecil untuk mengitari borotan. Tarian ini dinamakan Tor Tor Mangliat. Gerakannya dipercaya sebagai bentuk doa dan rasa syukur. Dalam upacara ini, terkadang para peserta kerasukan. Dalam keadaan tak sadar, mereka memakan telur dan jeruk persembahan. Ini menandakan bahwa Raja Uti, anak dari Tatea Bulan, ikut menghadiri upacara.

Setelah proses pembuktian akan kehadiran leluhur mereka, sang pambuhai segera menarikan Gondang Tatea Bulan. Pak Marna menari dengan lincah dan gesit mengikuti tabuhan gendang, berputar mengelilingi delapan penjuru mata angin. Gerakan tarian ini diyakini sebagai penghaturan pembuka agar doa dan permintaan anak cucu Tatea Bulan dapat terkabul.

Pambuhai pun merapalkan mantra dan mengelilingi borotan sebanyak tiga kali. Saat tarian pambuhai tengah ditabuhkan ke delapan penjuru, Tombak Jurung Buhit menjadi pamungkas persembahan bagi para leluhur Tanah Batak.

Pambuhai memiliki kewajiban menusukkan tombak sebanyak tiga kali ke arah kerbau. Ketiga hunusan terkait dengan Dalihan Na Tolu atau bentuk tali kekerabatan di dalam marga Batak. Setiap hunusan merupakan ungkapan permintaan terhadap leluhur dan Tuhan Mulajadi Nabolon. Terutama agar memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan abadi bagi seluruh keturunan orang Batak.

Usailah upacara Tatea Bulan di Pulau Samosir, pulau di tengah Danau Toba yang indah atau Toba Na Sae. Tahun depan, ritual itu pun bakal digelar kembali. Dan, penghormatan leluhur ini bakal terus berlangsung hingga keturunan Mulajadi Nabolon yang terakhir berada di muka bumi.(ANS/Hardjuno Pramundito, Bambang Triyono, dan Bondan Wicaksono)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini